Selasa, 28 Maret 2023 09:20 WIB

Gizi dan Penyakit Autoimun

Responsive image
6949
Hasri Ndaru Kusumawati, S.Gz - RS Ortopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta

Dalam kondisi normal, sistem kekebalan tubuh mampu mengenali dan memerangi benda asing yang berpotensi membahayakan tubuh seperti virus, bakteri atau zat kimia tertentu. Namun pada autoimun, sistem imun tidak mampu membedakan antara “self” dan “non self”. Autoimun adalah sekumpulan penyakit yang ditandai dengan respon imun tubuh yang menyerang jaringan tubuh normal, sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh sendiri dan mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Penyakit autoimun ini menyebabkan kerugian bagi organ tubuh manusia karena dapat merusak sel-sel organ yang masih sehat. Penyakit autoimun belum teridentifikasi secara pasti penyebabnya.

Bebarapa faktor yang berkontribusi terhadap autoimun antara lain respon imun bawaan, faktor genetik, faktor lingkungan (merokok dan sinar UV), gaya hidup yang tidak sehat, termasuk perubahan hormon dan infeksi. Autoimun lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, hal ini memungkinkan hormon seks seperti estrogen dan progesteron juga berperan dalam autoimun. Selain itu, penelitian juga menghubungkan antara beberapa faktor lingkungan seperti vaksinasi, antiseptik, dan detergent. Peningkatan  penggunaan vaksin, detergen dan antiseptik memungkinkan sistem imun cenderung lebih kecil terpapar antigen asing, hal ini akan meningkatkan sensitivitas sitem imun terhadap unsur yang tidak berbahaya dan mendorong reaksi autoimun.

Penyakit autoimun terbagi menjadi 2 berdasarkan organ yang diserang, yaitu spesifik jaringan/ organ dan sistemik. Spesifik organ berati sistem imun menyerang satu organ tertentu, sedangkan sistemik yaitu sistem imun menyerang beberapa organ atau sistem tubuh yang lebih luas. Autoimun spesifik organ diantaranya multiple sclerosis, diabetes tipe 1, inflammatory bowel disease. Sedangkan autoimun sistemik diantaranya lupus erythematosus, Sjogren’s syndrome dan Rheumathoid arthritis. Autoimun umumnya disertai dengan peradangan sebagai akibat dari produksi sitokin pro inflamasi.

Nutrisi dan diet berperan penting dalam perkembangan kondisi autoimun. Diet tinggi kalori (kaya lemak jenuh atau pangan olahan dan rendah serat) dapat menggangu sistem kekebalan tubuh dalam membedakan jaringan tubuh sendiri yang mengarah pada autoimunitas.  Zat gizi anti peradangan atau anti inflamasi seperti Vitamin D, antioksidan, dan zinc dapat secara efektif mengurangi resiko autoimunitas melalui penurunan sitokin proinflamasi. Sebaliknya diet kaya lemak jenuh, kolesterol, gula, garam  dan pangan olahan yang biasa dikenal dengan “Western diet” mendorong terjadinya peradangan.

 

Nutrisi pada Penyakit Autoimun

Makanan Tinggi Kalori

Makanan tinggi kalori terutama pangan olahan dapat menyebabkan kenaikan berat badan dan kerusakan pada sistem imunitas. Penimbunan lemak pada tubuh dapat meningkatkan resiko beberapa komplikasi seperti resistensi insulin, obesitas, hipertensi dan dapat meningkatkan risiko autoimunitas. Penimbunan lemak dapat mempengaruhi sistem imun baik secara langsung maupun tidak langsung dikarenakan sitokin pro inflamasi yang merupakan mediator pada proses peradangaan dihasilkan oleh jaringan lemak.

Lemak

Asam lemak omega-3 terbukti efektif dalam mencegah dan menyembuhkan gangguan autoimun. Diet tinggi asam lemak omega-3 meningkatkan kelangsungan hidup dan menurunkan tingkat keparahan autoimun pada hewan penetian. Ada bukti yang menunjukkan bahwa penurunan kensumsi lemak jenuh dan disertai peningkatan konsumsi sayuran yang mengandung omega-3 dan omega-6 dapat memperlambat perkembangan penyakit. Sebaliknya makanan tinggi asam lemak jenuh meningkatkan keparahan penyakit. Namun sumplementasi dosis tinggi asam lemak omega-3 dalam jangka panjang tidak direkomendasikan karena dapat menggangu sistem imunitas tubuh. Yang penting disini adalah rasio optimal antara asam lemak omega-6: omega-3 seharusnya adalah 1-4 : 1.  Omega-6 terkandung dalam daging binatang, kacang-kacangan, biji-bijian, minyak kedelai, sedangkan sumber kaya omega-3 adalah ikan, minyak ikan dan sayuran seperti bayam, kubis, selada, kentang.

Multiple Sclerosis

Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat. Biasa terjadi pada orang usia 20-40 tahun dan prevalensi lebih tinggi pada wanita. Gejala klinis sangat bervariasi, namun pada umumnya mencakup kelelahan, depresi dan kecemasan, nyeri kronis, gangguan kognitif, disfungsi usus dan kandung kemih, gangguan penglihatan dan bicara, gangguan sensorik dan gangguan mobilitas. Penyebabnya sulit dipahami, namun seperti penyakit autoimun lainya bersifat multifaktorial antara lain genetik, faktor lingkungan, dan gaya hidup.

Faktor risiko terkait diet dan nutrisi seperti asupan vitamin D yang rendah, tinggi lemak/asam lemak jenuh dan obesitas pada masa kanak-kanak. Status vitamin D berhubungan denga risiko multiple sclerosis, oleh sebab itu suplementasi vitamin D sangat direkomendasikan. Asam lemak omega-3 dan omega-6 memiliki efek antiinflamasi dan berperan protektif terhadap multiple sclerosis. Pada penelitian, gejala sedang ditunjukkan pada pasien yang mendapat diet rendah lemak yang diikuti peningkatan asupan ikan atau olive oil. Selain itu komponen bioaktif (fitokimia) yang berasal dari tumbuhan dapat menunda onset penyakit dan memperbaiki gejala. Fitokimia didapatkan dari sayur dan buah seperti beta-karoten dan likopen yang terkandung dalam wortel, labu, tomat, ubi merah dan flavonoid yang bisa didapatkan dari apel, bawang bombay, kacang-kacangan, jahe dan teh.

Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis lebih sering terjadi di wanita dari pada pria (2-3 : 1). Penyakit ini meskipun terutama melibatkan sendi, namun sebenarnya merupakan autoimun sistemik karena terjadi pada berbagai jaringan atau sistem organ seperti kulit, mata, paru-paru, jantung, pembuluh darah, dan ginjal. Penyakit ini dipercaya karena adanya faktor genetik yang disertai dengan paparan faktor lingkungan seperti merokok, polusi udara, asupan garam tinggi, serum vitamin D yang rendah dan obesitas.

Diet dan nutrisi diketahui berdampak pada progresivitas penyakit. Penelitian menunjukkan bahwa status gizi berdampak pada keparahan penyakit. Pasien dengan malnutrisi memiliki perkembangan penyakit yang lebih aktif dibandingkan tanpa malnutrisi. Diketahui pasien dengan rheumatoid arthritis memiliki kadar serum almbumin, prealbumin, transferin, zinc dan asam folat yang rendah. Beberapa mineral seperti zinc dan selenium berperan protektif terhadap penyakit. Pasien dengan penyakit ini dianjurkan untuk mengkonsumsi jumlah yang cukup untuk kalsium, asam folat, vitamin E, zinc, dan selenium. Konsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, olive oil, dan ikan terbukti menurunkan risiko onset penyakit. Asam lemak omega-3 diketahui dapat memperbaiki gejala. Sedangkan konsumsi lebih banyak minuman tinggi gula dikaitkan dengan peningkatan resiko berkembangnya penyakit.

 

Inflammatory Bowel Diseases

IBD terutama Crohn’s desase (CD) dan ulcerative colitis (UC) adalah gangguan inflamasi kronis dan berulang yang mempengaruhi saluran gastrointestinal. Penyebab IBD belum jelas, namun kedua faktor genetik dan lingkungan berperan penting terhadap perkembangan penyakit. Faktor paparan lingkungan antara lain asap rokok, stres, obat-obatan dan diet yang dikonsumsi. Diet tinggi lemak hewani, rendah sayur dan buah-buahan serta kadar serum vitamin D yang rendah berkaitan dengan peningkatan resiko IBD. Interaksi antara faktor genetik, respon imun dan paparan lingkungan inilah yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada saluran gastrointestinal. Proses inflamasi ini menghambat kemampuan tubuh untuk mencerna makanan dan menyerap nutrisi sehingga memicu terjadinya malnutrisi. Malnutrisi yang terjadi dapat berupa kekurangan energi protein dan mikronutrien. Untuk mencegah terjadinya malnutrisi dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan gizi yang optimal. Kebutuhan energi berkisar antara 25-45 kkal/kg BB per hari.

Pasien IBD mengalami peningkatan kebutuhan protein karena gangguan metabolisme dari protein. Rekomendasi protein yang dibutuhkan bila tanpa gangguan ginjal sebesar 1-1,5 g/kg dan 0,8 g/kg bila dengan gangguan ginjal. Diet yang dapat diterapkan untuk mengurangi proses inflamasi yaitu anti infalmmatory diet. Diet ini mengurangi beberapa karbohidrat seperti makanan bebas gluten yang dapat merangsang pertumbuhan bakteri inflamasi di saluran pencernaan. Diet ini juga menambahkan prebiotik dan probiotik dalam komposisinya untuk membantu mengurangi inflamasi. Beberapa makanan yang dianjurkan antara lain sayuran dengan tekstur yang lembut dan dimasak matang, ikan, telur, dan daging bebas lemak. Sebaliknya perlu dihindari daging dengan tinggi lemak dan biji-bijian yang mengandung gluten.

Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis, dapat kambuh dan mengenai semua umur, ditandai dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik tebal berwarna putih keperakan dan berbatas tegas. Pasien psoriasis memiliki prevalensi sindrom metabolik lebih besar dibandingkan orang-orang dengan kondisi penyakit kulit lain. Sebuah laporan kasus pasien psoriasis dan sindrom metabolik menunjukkan bahwa program modifikasi diet dan pegobatan penyakit penyerta dengan memperbaiki kadar glukosa darah, kolesterol dan indeks masa tubuh (IMT) bersamaan dengan perbaikan klinis psoriasis. Diet mempunyai peranan penting dalam penanganan psoriasis. Beberapa pasien menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas terhadap gluten, sehingga dengan gluten free diet diharapkan memberikan efek yang baik juga. Gluten adalah protein nabati yang terdapat dalam berbagai jenis gandum seperti terigu dan gandum hitam. Beras tidak mengandung gluten. Selain itu diet rendah kalori dan menghindari junk food menunjukkan perbaikan lesi kulit. Pasien dapat disarankan mengkonsumsi ikan yang kaya asam lemak tak jenuh, ayam, buah-buahan, sayur-sayuran serta vitamin karena memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Dan menghindari daging merah atau daging dengan kandungan lemak tinggi serta makanan dengan kandungan gula yang tinggi tinggi.

 

Referensi :

S. Arabi, M. Mozaladeh, N. Rezaei. Nutrition, Immunity, and Autoimmune Disease. Springer Nature switzerland. 2019

Mazzucca CB, et al. How to Tackle the Relationship between Autoimmune Diseases and Diet: Well Begun Is Half-Done. Nutrients. 2021

Setawan, G. Halim, MC. Pengaruh Asam Lemak Omega-3 terhadap Penyakit Kardiovaskuler. CDK-302/ vol. 49 no. 3 th. 2022

Meydani SN, et al. Nutrition and Autoimmune Disease. Volume 2. 2020

Tadeschi et al. Diet and Rheumatoid Arthritis Symptoms: Survey Results From a Rheumatoid Arthritis Registry. Arthritis Care Res (Hoboken) ,69(12). 2017

Nurina YI, Purbayu H. Nutrisi pada Inflammatory Bowel Disease, 123-141. UM Surabaya. 2022

Mustifah EF dkk. Peranan Diet pada Tatalaksana Psoriasis. Continuing Professional Development. Vol. 44, No. 10. 2017

Klack K, Bonfa E, Borba Neto EF. Diet and Nutrition aspects in Systemics Lupus Erythematosus. Review article. 2012

Sumber Gambar :

https://asset.kompas.com/crops/uFwSRHzTmy1JMv3kaYtN1unE2Yc=/0x0:1000x667/750x500/data/photo/2020/08/14/5f3649c01c3bf.jpg

https://www.cmihospital.com/cmiadministrator/assets/gambar_artikel/401autoimun2.jpg

https://d324bm9stwnv8c.cloudfront.net/article/20181016111128.7061034561142.jpg

https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2021/06/29/1329548619.jpg

https://www.harapanrakyat.com/wp-content/uploads/2019/12/Makanan-Tinggi-Asam-Lemak-Omega-3-yang-Baik-untuk-Tubuh.jpg