Rabu, 27 Juli 2022 14:54 WIB

Efektivitas Pelayanan Gawat Darurat Berdasarkan Emergency Response Time

Responsive image
24520
Yunus, S.Kep.,Ns.,MARS - RS Ortopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta

Salah satu pengukuran layanan penanganan sebagai standar tindakan penanganan untuk melayani pasien menurut Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor : HK.02.03/I/2630/2016 yaitu ukuran waktu yang relatif singkat yang segera dilakukan tindakan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang kurang dari 120 menit yaitu saat pasien datang dari mulai mengurus kebutuhan administrasi dahulu kemudian baru dilakukan pemeriksaan dan tindakan.

Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN dengan akumulasi kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat  yang tinggi. Data menunjukkan jumlah pasien yang berkunjung ke Instalasi Gawat Darurat mencapai 4.402.205 pasien pada tahun 2017 (Kementrian Kesehatan RI, 2019). Angka tersebut merupakan akumulasi dari 12% kunjungan Instalasi Gawat Darurat yang berasal dari rujukan RSU yaitu 1.033 unit dan 1.319 unit RS lainnya. Kemudian, pada tahun 2018, di Jawa Tengah terdapat kunjungan pasien ke RS sebanyak 1.990.104 Pasien (Kementrian Kesehatan RI, 2019).

Waktu tanggap yang tepat dan efesien memiliki peran yang besar pada pengambilan keputusan dimulai pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat hingga dipindahkan dari Instalasi Gawat Darurat. Keberhasilan waktu tanggap dibagi dalam beberapa kategori. Kategori P1 (Prioritas 1) response pelayanan dengan waktu 0-5 menit, kategori P2 (Prioritas 2)   response pelayanan 45 menit, kategori P3 (Prioritas 3) response time pelayanan 60 menit, kategori P4 (Prioritas 4)   dengan response time pelayanan 120 menit dengan meningkatkan sarana dan prasarana serta performa dari manajemen Instalasi Gawat Darurat rumah sakit sesuai standar (Mercier et al., 2013)

Kegawatdaruratan Patah Tulang  berdasarkan Kondisi sebagai berikut :

1.      Pendarahan pada Arteri Besar

Trauma arteri dapat terjadi karena adanya trauma tumpul maupun tajam yang merusak tulang atau sendi yang berada di sekitar pembuluh darah arteri. Trauma yang terjadi pada pembuluh darah arteri dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif dan terbuka pada luka atau pada jaringan lunak. Gangguan aliran darah arteri dapat ditunjukkan dengan gejala ekstrimitas dingin, dan menghilangnya pulsasi ekremitas. Trauma vascular dapat ditunjukkan dengan pembesaran hematoma yang cepat. Kondisi cedera ini dapat menjadi berbahaya jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik pasien (Diwan et al., 2018b)

2.      Crush Syndrome

Rhabdomyolysis atau crush syndrome dapat terjadi karena adanya kerusakan otot yang dapat menyebabkan kegagalan ginjal akut apabila tidak segera ditangani. Crush syndrome diakibatkan oleh crush injury di sejumlah otot, bagian betis dan paha sering mengalami kejadiaan ini (Rajagopalan, 2010).

Crush syndrome dapat mengakibatkan komplikasi antara lain adalah Disseminated Intravaskular Coagulation, hyperkalemia, asidosis metabolik, hipovolemi dan gagal ginjal akut (Blom et al., 2018b).

Crush syndrome memerlukan tindakan manajemen kegawatdaruratan cepat dan tepat untuk mencegah munculnya komplikasi. Hal yang dapat dilakukan di Instalasi Rawat Darurat adalah (Zutt et al., 2014):

a)      ABC Evaluation (Evaluasi ABC)

b)   Resusitasi cairan dengan pemberian cairan IV yang dibutuhkan pada kasus hipovolemia. Menghindari cairan dengan kandungan potassium dan lakat karena dapat memperburuk asidosis dan hiperkalemia.

c)      Bikarbonat diberikan untuk meredakan asidosis

d)      Melakukan terapi definitif setelah keadaan hemodinamik stabil.

3.      Sindrom Kompartemen

Kejadian ini merupakan kondisi dimana otot dibatasi oleh rongga fasia dengan keadaan tertutup. Lengah bawah, tungkai bawah, tangan, kaki, paha dan region glutea adalah bagian tubuh yang rentan dan sering terdampak oleh sindroma kompartemen (Gardner et al., 2008b).

Tanda-tanda khusus dari sindroma kompartemen adalah :

a)      Adanya asimetris pada daerah kompartemen

b)      Terdapat penurunan sensasi fungsi saraf

c)      Bertambahnya nyeri dengan gerakan pasif yang melibatkan peregangan otot

Pengembalian patahan ke posisi awal atau semula dan mempertahankan posisi pada masa penyembuhan patah tulang merupakan prinsip utama dalam menangani fraktur. Terdapat 8 cara / metode dalam melakukan penanganan fraktur.

1.       Proteksi menggunakan mitela tanpa melakukan reposisi

2.      Melakukan imobilisasi keluar tanpa melakukan reposisi

3.      Melakukan reposisi menggunakan manipulasi diikuti imobilisasi.

4.      Melakukan reposisi secara bertahap dan terus menerus dengan traksi dalam rentang waktu tertentu.

5.      Reposisi dengan melakukan imobilisasi diikuti dengan fiksasi luar. 

6.      Melakukan prosedur reposisi yang non operatif yaitu melalui penggunaan fiksator tulang melalui tindakan bedah.

7.      Reposisi yang dilakukan secara operatif kemudian diikuti dengan prosedur Open Reduction Internal Fixation (ORIF) atau fiksasi tulang pada bagian interna.

8.      Melakukan  eksisi fragmen patah tulang menggunakan prosthesis (Schlickewei et al., 2019).

Terdapat beberapa hal terkait dengan penatalaksanaan medis antara lain adalah :

1)      Penilaian dan diagnosis

2)      Reduksi

3)      Retensi

4)      Rehabilitasi

Emergency Response time merupakan sebuah prinsip penanganan pasien dalam keadaan gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat  rumah sakit yang dinilai dari pasien datang sampai pasien mendapatkan bantuan medis dari tim medis. Penanganan memiliki peranan sangat penting dalam prinsip penyelamat pasien, perlu juga dipertimbangkan dalam penanganannya bagaimana penyakit pernyerta pasien dan derajat keparahan penyakit atau cidera pasien. Dalam penanganan kasus gawat darurat perlu dilakukannya klasifikasi prioritas sehingga dapat segera dilakukan pertolongan pasien dalam emergensi (Lulie and Hatmoko, 2017).

Penanganan kasus emergensi mempunyai motto: Time Saving it’s Live Saving, yang memiliki arti secara harfiah bahwa dalam penanganan kasus gawat darurat harus dilakukan pertolongan secara efektif dan efisien untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Perlu menjadi perhatian bahwa, dalam keadaan gawat darurat, nyawa pasien sangatlah krusial untuk menjadi prioritas tim medis, misalkan pasokan oksigen yang terlambat beberapa menit saja dapat mengakibatkan hipoksia kronis dan bahkan kematian pasien. Sehingga dalam hal ini emergency response time menjadi suatu prinsip penting dalam penangan kasus emergensi di Instalasi gawat darurat rumah sakit (Haryatun and Sudaryanto, 2009).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menjelaskan bagaimana pentingnya pelaksanaan pertolongan pertama dalam kasus emergensi yang tertuang dalam konsep Basic Life Support, dimana layanan darurat medis harus memiliki prinsip pertolongan secara efektif dan efisien dalam menangani penyakit dan cidera dan dapat menyediakan layanan medis yang berkualitas demi keselamatan pasien. Emergency response time adalah hal yang mendasar dalam faktor perawatan sehinggaperlu adanya kontrol untuk meningkatkan peluang bertahan hidup dan mengurangi bertambahnya derajat keparahan suatu penyakit (Cabral et al., 2018).

Emergency Response Time dibagi menjadi 2 yaitu Pre Decision Time dan Emergency Response Time 2. Pre Decision Time adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan tindakan operasi cito sejak diputuskan oleh dokter spesialis anestesi (setelah seluruh pemeriksaan penunjang dilakukan) sampai dimulainya insisi dikamar operasi (from decision to incision) (Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.03/I/2630/2016), dalam pelaksanaannya waktu pre decision ini agar sesuai dengan SPO waktu maksimalnya adalah selama 90 menit sejak pasien datang IGD sampai mendapatkan keputusan  tindakan (DPJP Ortopedi, Spesialis Anestesi dan keluarga). Pre decision time ini diusahakan juga secepat mungkin, jadi lebih cepat lebih baik dengan waktu maksimal jika dimungkinkan adalah 90 menit.

Emergency response time 2 adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan tindakan operasi cito sejak diputuskan oleh dokter spesialis anestesi (setelah seluruh pemeriksaan penunjang dilakukan) sampai dimulainya insisi dikamar operasi (from decision to insision) (Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.03/I/2630/2016). Triage merupakan sebuah usaha dalam melakukan prioritas terhadap pasien berdasarkan derajat kegawat daruratan atau penyakit sehingga dapat dilakukan skala prioritas dalam penanganan pasien gawat darurat di IGD (Hull et al., 2014). Sesuai dengan pendapat AHCA (America Hospital Association) tahun 2017 mengatakan bahwa masyarakat bergantung pada pelayanan IGD sebagai pusat pertolongan pertama dalam kasus emergensi yang membutuhkan penanganan medis secara cepat sehingga dapat mengurangi kesakitan dan menyelamatkan nyawa (Harper et al., 2018).

Layanan kegawatdaruratan menurut Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.03/I/2630/2016, perlu adanya kriteria dalam menentukan pasien tersebut termasuk dalam pasien gawat darurat (Cito) atau tidak yaitu berdasarkan:

1.      Tatalaksana pasien gawat darurat sesuai dengan prioritas kegawatan

2.      Pasien yang diputuskan mendapatkan tindakan operasi cito dilakukan operasi dalam waktu 120 menit dihitung dari saat pengambilan keputusan (decision DPJP) sampai dengan insisi.

3.      Kriteria inklusi: pasien IGD yang diputuskan tindakan cito

4.      Kriteria ekslusi: kasus patah tulang terbuka yang melebihi golden period (8 jam). Pasien disertai kegawatan organ lain yang memerlukan regulasi / perbaikan kondisi dan pasien yang diputuskan memerlukan puasa lebih dari 2 jam.

Tatakelola pelaksanaan Emergency Response Time ( ERT) :

1.      Persiapan pra operasi meliputi pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang (radiologi, laboratorium), konsultasi DPJP (Ortopedi, Anestesi, Spesialis lain) dan informed consent dilakukan selama 90 menit

2.      IGD berkoordinasi dengan IBS untuk pendaftaran rencana operasi cito

3.      IBS melakukan penjadwalan dan persiapan sarana prasarana serta SDM dengan prioritas operasi cito

4.      Persiapan saran prasarana cito minimal 2 set operasi bedah dasar, seta aktifasi SDM siaga apabila diperlukan

5.      Emergency Response Time (ERT 2) operasi cito yaitu 120 menit dimulai dari saat pengambilan keputusan operasi cito sampai dengan insisi di meja operasi (from decision to incision)

6.      Pengumpulan data dilakukan satu bulan, dilaporkan kepada Direktur Medik dan Keperawatan

7.      Sumber data dari catatan rekam medis pasien

8.      Formula Emergency Response Time 2 yaitu jumlah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapat tindakan operasi cito (numerator) dibagi jumlah seluruh pasien IGD yang diputuskan operasi cito (denumerator)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 856/MENKES/SK/IX/2009 mengenai Standar Pelaksanaan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Rumah Sakit, pasien dalam kasus emergensi yang di IGD wajib mendapat pertolongan medis kurang dari 5 menit. Ketika pasien diterima oleh perawat di triase IGD harus segera di lakukan pertolongan setelah pasien datang sampai dilakukan triase untuk melihat derajat gawat darurat dan akan dilakukan prioritas pasien sesuai dengan kasusnya.

Kebutuhan untuk penerapan waktu tanggap respon emergensi yang efektif dan efesien sangat krusial dalam memutuskan pemberian pertolongan tindakan medis dimana sejak pasien datang di IGD sampai pasien masuk ke ruang operasi atau bangsal rumah sakit. Pelaksanaan waktu respon yang cepat dan tepat dan sesuai dengan standar operasional akan sangat membantu proses perawatan  dan pelayanan medis sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Keterlambatan dalam pelayanan dan penanganan medis di IGD dapat mengakibatkan derajat keparahan luka atau pe