Istilah rematik identik dengan penyakit yang menyerang sendi, namun tahukah Anda, terdapat jenis penyakit jantung rematik yang memakan banyak korban setiap tahunnya, terutama dari negara-negara berkembang?
Bila penyakit rematik menyerang sendi, penyakit jantung rematik (PJR) menyerang katup-katup jantung. Katup jantung adalah engsel satu arah yang berfungsi menjaga agar darah dari satu ruang jantung tidak bercampur dengan darah dari ruang jantung lainnya. Bila engsel ini terlalu kaku atau terlalu lemah, akan terjadi gangguan aliran darah di jantung yang menyebabkan berbagai gejala.
Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi dari penyakit demam rematik akut. Demam rematik akut adalah penyakit akibat infeksi bakteri Streptococcus pyogenes dari kelompok streptokokus beta-hemolitikus grup A (Group A Streptococcus/ GAS) yang menyebabkan radang tenggorokan (faringitis), namun tidak mendapatkan tatalaksana yang adekuat. Setelah kurang lebih 3 minggu dari infeksi GAS, dapat muncul gejala demam rematik akut. Pada sebagian kelompok pasien yang rentan, infeksi GAS berulang ini memicu reaksi peradangan autoimun yang menyerang berbagai jaringan tubuh, terutama jaringan katup jantung, menyebabkan katup menjadi kaku, berubah bentuk, fusi atau penyatuan komisura katup, atau pemendekan dan fusi dari korda tendinea, jaringan yang mengikat katup jantung. Mayoritas kasus menyerang katup mitral, katup di sisi kiri jantung yang menghubungkan atrium dengan ventrikel kiri.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit ini sangat khas ditemui di negara berkembang, sehingga tak heran jumlah pasiennya di Indonesia cukup tinggi. Selain Indonesia, negara dengan prevalensi PJR tinggi adalah negara-negara di sub-Sahara Afrika, Timur Tengah, negara-negara Asia Tenggara lainnya, dan Pasifik-Oseania. Perbandingannya dengan negara maju pun cukup tinggi: bila di negara endemik terdapat 444 kasus per 100.000 penduduk, maka di negara maju angka ini hanya 3,4 kasus per 100.000 penduduk. Diperkirakan terdapat lebih dari 40 juta pasien dengan angka kematian mencapai 300.000 jiwa per tahunnya di seluruh dunia. Di negara endemik, PJR adalah penyebab 15-20?ri seluruh kasus gagal jantung. Kelompok yang termasuk rentan terkena PJR di antaranya anak-anak yang mengalami infeksi radang tenggorokan berulang, wanita hamil, dan orang dengan kerusakan katup jantung. Dikarenakan mayoritas pasien berusia produktif, sakitnya mereka tentu berefek buruk pula bagi ekonomi negara. Faktor risiko lingkungan dan sosioekonomi yang identik dengan PJR di antaranya kondisi tempat tinggal yang terlalu padat atau kurang layak, status gizi kurang, dan kemiskinan.
Penyakit jantung rematik diawali oleh demam rematik akut, yang dicirikan dengan demam, nyeri sendi terutama di lutut, siku, dan lengan; nyeri sendi yang berpindah-pindah, mudah lelah, gerakan menyentak yang tidak bisa dikontrol, munculnya nodul yang tidak nyeri di dekat area persendian, serta ruam di kulit berwarna kemerahan dengan bagian tengah yang kosong. Antara demam rematik akut dan awitan gejala penyakit jantung rematik dapat berjarak bertahun-tahun. Gejala yang umum dikeluhkan oleh pasien PJR mencakup nyeri dada, sesak nafas memberat dengan posisi berbaring dan beraktivitas, bengkak pada perut, tangan, dan/atau kaki, mudah lelah, dan irama jantung yang cepat atau tidak teratur. Gejala terparah adalah karditis atau inflamasi jantung, baik di bagian selaput jantung (perikardium), otot jantung, hingga katup jantung. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan suara jantung pericardial friction rub bila ada perikarditis dan suara jantung tambahan tergantung katup jantung yang terkena, umumnya murmur pansistolik akibat gangguan katup mitral. Selain itu, ditemukan juga tanda gagal jantung seperti bengkak pada kaki dan perut. Dokter akan melakukan pemeriksaan tambahan seperti elektrokardiogram (EKG) atau rekam jantung untuk mengevaluasi kemungkinan gangguan irama, foto rontgen dada, hingga ekokardiogram jantung untuk menilai derajat kerusakan katup jantung. Hasil ekokardiografi paling umum adalah gangguan katup mitral, baik yang berupa penyempitan (stenosis) maupun kebocoran (regurgitasi). Meskipun demikian, di fase awal PJR dapat tidak bergejala. Sebuah tinjauan sistematis menunjukkan bahwa prevalensi PJR yang tidak bergejala adalah 21,1 per 1000 jiwa, tujuh kali lipat lebih tinggi daripada PJR yang bergejala (2,7 per 100 jiwa).
Kerusakan katup akibat PJR sayang bersifat permanen, sehingga terapi difokuskan pada tindakan bedah atau intervensi untuk mengganti atau memperbaiki katup yang rusak, tentunya bila memenuhi indikasi. Gejala yang muncul juga akan diatasi dengan pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejala gagal jantung, aritmia, dan/atau pengencer darah bila diperlukan. Dikarenakan opsi terapi yang terbatas, tatalaksana PJR hendaknya berfokus pada upaya pencegahan.
Pencegahan PJR hendaknya dimulai dari sejak fase demam rematik akut. Di fase ini, pencegahan penyakit dilakukan dengan tujuan menghindari faktor risiko infeksi tenggorokan dengan mengatasi kemiskinan, meningkatkan standar rumah tinggal, dan memastikan masyarakat rentan memiliki akses ke fasilitas kesehatan yang adekuat. Strategi ini terutama penting diterapkan di negara-negara endemik penyakit jantung rematik. Pencegahan primer dilakukan dengan terapi demam rematik akut dengan antibiotik yang adekuat, yaitu penisilin, sesuai dosis yang dianjutkan. Pencegahan sekunder, untuk pasien dengan demam rematik, bertujuan untuk mencegah rekurensi infeksi streptokokus dengan pemberian antibiotik jangka panjang. Antibiotik yang terbukti paling efektif dalam mencegah infeksi berulang adalah benzatin-penisilin G yang diberikan melalui otot (injeksi intramuskular) setiap 3-4 minggu dalam periode beberapa tahun. Oleh karenanya, stok antibiotik yang tepat dan selalu ada penting untuk memastikan upaya pencegahan dapat berjalan optimal.
Dapat dilihat, pencegahan PJR tidak hanya memerlukan tenaga medis, namun memerlukan komitmen dari berbagai departemen dalam suatu negara agar prevensi bertahap ini dapat terwujud. Terlebih mengingat, mayoritas pasien PJR baru terdiagnosis pada pada stadium akhir atau saat kerusakan katup jantung sudah sangat parah. Di fase ini, selain memerlukan terapi yang lebih mutakhir, pasien juga memerlukan akses ke fasilitas kesehatan untuk melakukan kontrol berkala yang tentunya sulit dilakukan bila akses ke fasilitas kesehatan di negara tersebut masih terbatas.
Oleh karenanya, penting untuk meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat dan stakeholders terkait untuk menurunkan insidensi, mortalitas, dan morbiditas akibat PJR di Indonesia.
Referensi:
World Heart Federation. Rheumatic Heart Disease [Internet]. World Heart Federation. 2023 [cited 2024 Oct 14]. Available from: https://world-heart-federation.org/what-we-do/rheumatic-heart-disease/
Dass C, Kanmanthareddy A. Rheumatic Heart Disease [Internet]. National Library of Medicine. StatPearls Publishing; 2023. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538286/
Kumar RK, Antunes MJ, Beaton A, Mirabel M, Nkomo VT, Okello E, et al. Contemporary Diagnosis and Management of Rheumatic Heart Disease: Implications for Closing the Gap: A Scientific Statement From the American Heart Association. Circulation. 2020 Nov 17;142(20).
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-photo/angry-young-man-suffering-throatache_998103.htm#fromView=search&page=1&position=0&uuid=b86bc75a-b0b5-4773-baec-642dcc6c519b