Selasa, 26 Juli 2022 10:28 WIB

Pengaruh Kerokan Amankah Bagi kesehatan Lansia

Responsive image
1716
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Kerokan mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita, sebagian besar masyarakat tentunya juga pernah kerokan sebagai alternatif dalam pengobatan ringan misalnya karena masuk angin, badan terasa pegal, mual, perut kembung, pusing ataupun badan terasa menggigil. Hal tersebut biasanya dilakukan sebagai upaya penanganan utama karena tidak enak badan.

Pada dasarnya prinsip dari kerokan merupakan meningkatkan temperatur dan energi pada daerah yang dikerok dengan memberikan rangsangan pada kulit. Sehingga kerokan dapat dikatakan upaya untuk menghilangkan rasa tidak enak badan atau masuk angin dengan meningkatkan panas bukan mengeluarkan angin dari pori-pori kulit.

Selain di Negara Indonesia, di Asia juga memanfaatkan pengobatan ini seperti Vietnam menyebut kerokan sebagai Cao Gio, Kamboja menyebutnya Goh Kyol, dan di China sendiri menyebut kerokan dengan istilah Gua Sha namun orang China memakai batu jade sebagai alat pengerok. dalam sebuah survey pada penelitian yang diadakan 390 responden di Kota Solo menyebutkan 87% pernah melakukan kerokan, dan 64% responden menyakini bahwa kerokan sangat bermanfaat untuk masuk angin dan nyeri otot.

Dalam sebuah penjelasan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2003 menjelaskan bahwa pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, yang banyak dimanfaatkan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan. Dan menurut penelitian, masyarakat Jawa memanfaatkan kerokan digunakan sebagai upaya untuk ketika tidak enak badan karena caranya mudah, manjur dan tidak memerlukan banyak biaya. Namun dampak pemanfaatan kerokan yang dilakukan terus menerus akan menimbulkan efek kecanduan sehingga pelayanan kesehatan banyak yang tidak dimanfatkan secara efektif. Meskipun saat ini belum ada kebijakan yang khusus keterkaitan kerokan sebagai metode pengobatan terkait pemanfaatnya meskipun sudah terdapat penelitian bahwa kerokan tidak berdampak serius. Namun tentunya pemanfaatan kerokan pada lansia akan berisiko terhadap kesehatan akibat adanya fisiologis.

Kerokan sendiri tdak akan berdampak buruk apabila tidak dilakukan secara terus menerus. Namun, apabila kerokan dijadikan terapi utama akan mengakibatkan banyak pembuluh darah kecil dan halus pecah serta menimbulkan kecanduan bagi akibat dari pengeluaran hormon endophrin.

Dengan demikian, dari beberapa uraian di atas tentunya kerokan boleh dilakukan tetapi hal tersebut bukan sebagai hal yang utama, meskipun kerokan sekedar dilakukan dalam mengobati masuk angin. Namun pada dasarnya dalam dunia medis menolak istilah masuk angin dalam tubuh penderita. Dalam dunia medis masuk angin disebut sebagai kumpulan gejala seperti flu, batuk, ISPA (Inspeksi Saluran Pernafasan Atas), maag, gangguan pencernaan, penyakit jantung atau gangguan penglihatan bagi penderita yang sudah tua.

Sebagian besar masyarakat khususnya usia dewasa sampai lansia tentunya pernah melakukan kerokan, tetapi dalam sebuah penelitian kekhawatiran pada kelompok lansia yang melakukan kerokan,tentunya dalam usia lansia banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi dalam lansia :

  • Perubahan perubahan fisik yang terjadi pada lansia diakibatkan oleh terjadinya proses degeneratif yang meliputi :
  • Perubahan jumlah sel yang lebih sedikit, ukuran sel lebih besar dan berkurangnya jumlah cairan jumlah cairan di dalam intraseluler.
  • Sistem persyarafan terjadi perubahan respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya syaraf panca indera yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa, dan penciuman sehingga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan misalnya glukoma dan sebagainya.
  • Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas mengerti kata-kata, 50% terjadi pada lansia usia 65 tahun dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketengan jiwa dan stres. Hilangnya kemampuan pendengaran meningkat sesuai dengan proses penuaan.
  • Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan, hilangnya daya akomodasi, meningkatnya ambang pengamatan sinar, menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangannya berkurang.
  • Sistem kardiovaskuler, terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume pembuluh darah karena kurangnya efektifitas pembuluh darah ferifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk, duduk ke berdiri bisa mengakibatkan tekanan darah menurun yang mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembulih darah perifer.
  • Sistem integumen mengalami perubahan akibat proses penuaan secara fisiologis. Perubahan yang terjadi di antaranya adalah fungsi lapisan kulit berkurang, kulit menjadi atrofi akibat vaskulerisasi pada lapisan kulit. Penurunan fungsi kulit seperti ekskresi, proteksi, sekresi, termoregulasi, dan persepsi sensori terjadi akibat penurunan keratonosit, dan fibroblast. Selain itu penurunan produksi sebum dan kemampuan stratum komeum untuk mengikat air juga menurun sehingga kulit menjadi kering.

2.      Perubahan mental

Meliputi perubahan dalam memori secara umum, cenderung disebut kerusakan memori berhubungan dengan peningkatan usia atau penurunan kognitif berhubungan dengan proses menua.

3.      Perubahan psikososial

Meliputi nilai seseorang sering diukur produktifitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan sebelumnya serta merasakan sadar akan kematian.

4.      Perubahan psikologis

Masalah psikologis yang dialami oleh lanjut usia ini pertama kali mengenai sikap terhadap proses menua. Dalam hal ini dikenal dengan sebutan diri pribadinya. Pemisahan diri dilakukan pada masa-masa akhir kehidupan saja. Pada lansia yang realistik dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Karena lanjut usia sering terlalu disebut lamban dengan gaya reaksi yang lamban dan kecepatan bertindak serta proses berfikir yang menurun.

Meskipun demikian banyak faktor yang mempengaruhi lansia untuk melakukan kerokan, namun tentunya kerokan bukan hal yang utama untuk dilakukan oleh lansia. Dikarenakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan lansia, oleh karenanya sebaiknya lansia mengurangi kerokan agar tidak terjadi gangguan atau risiko kesalahan pada penanganan penyakit.

 

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------                             

Referensi                :

1.      Didik T. 2004. Budaya Kerokan Sebagai Pengobatan Tradisional. Bulettin UNS. Surakarta , PP 9 - 14.

2.      Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

3.      Misbahatori, D. 2013. Penyakit Tapi Bukan Penyakit (Bagian 4) : Masuk Angin. Wordpress.

4.      Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.

5.      Suryani, M. dan Sianturi, M. 2013. Pengalaman Kerokan Sebagai Terapi Komplementer. Karya Ilmiah S 1 Ilmu Keperawatan (1).

6.      Tanjung, F. 2012. The Effect of Scrapping Treatment Techiniques.

7.      Nevia Ratri Indriani, Program Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya. 2018. Analisis Faktor Pemanfaatan Kerokan pada Lansia Berbasis Keperawatan Transkultural di Posyandu Lansia Sukmajaya Kelurahan Kertajaya, Surabaya