Senin, 20 Juni 2022 09:52 WIB

Bukan Kebiasaan Baru

Responsive image
296
Joko Sunoto, S.TR.KES - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pandemi COVID-19 sudah 2 tahun menerpa kita semua, segala kebijakan pemerintah dari pusat sampai daerah telah diterbitkan untuk menanggulangi dampak pandemi ini, bahkan tingkat RT dan RW pun membuat aneka kebijakan dari memasang palang di setiap gang masuk kampung dan berbagai tulisan larangan. Hingga pada pertengahan tahun 2020 Presiden RI Joko Widodo dalam pidato resminya di Istana Merdeka tepatnya pada tanggal 15 Mei 2020 menyatakan bahwa: “Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai “new normal” atau tatanan kehidupan baru.”

Tujuan dari new normal adalah agar masyarakat tetap produktif dan aman dari COVID-19 di masa pandemi. Selanjutnya agar new normal lebih mudah diinternalisasikan oleh masyarakat maka “new normal” dinarasikan menjadi “adaptasi kebiasaan baru”. Maksud dari adaptasi kebiasaan baru adalah agar kita bisa bekerja, belajar dan beraktivitas dengan produktif di era Pandemi COVID-19.1

Adaptasi kebiasaan baru ini sebenarnya bukanlah kebiasaan baru, kebiasaan inilah yang memang seharusnya sudah kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun sering kita sepelekan bahkan kita acuhkan. Seperti lagunya Ebit.

G. Ade, “...mungkin Tuhan mulai bosan dengan tingkah kita...” Dari situ menjadi sebuah pemikiran bahwa saat ini Tuhan telah memaksa kita untuk berperilaku sebagaimana seharusnya dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di kantor, atau di tempat publik. Memaksa kita melalui sebuah wabah virus yang begitu masif penyebaran dan penularannya. Wabah yang menghantam segala aspek kehidupan manusia di dunia.

Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan pedoman adaptasi kebiasaan baru dengan Motto “Berubah Usir Wabah”. Ada 10 hal yang harus dilakukan dalam adaptasi kebiasaan baru yaitu : jika sedang flu di rumah saja, sedia hand sanitizer kemana mana, tidak lupa pakai masker, tetap jaga jarak, sering cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, setibanya di rumah langsung mandi, tidak bersalaman dulu, gunakan uang elektronik, jaga jarak di kendaraan umum, balita dan lansia di rumah saja.2

Sebenarnya kebiasaan-kebiasaan tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya baru, namun sering tidak dihiraukan. Terutama kita sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di lingkungan rumah sakit. Memakai masker sudah seharusnya dilakukan sejak dulu oleh semua pegawai. Mengapa demikian? Karena rumah sakit adalah area pelayanan kesehatan, tempat orang sakit melakukan pengobatan. Penyakit bisa ada dimana saja di sekitar kita bahkan di tempat yang seharusnya sterilpun masih dapat dijumpai bakteri jika tidak di-treatment dengan benar.

Kebiasaan mencuci tangan setelah aktifitas apapun di lingkungan rumah sakit sudah sejak jauh hari di gelorakan oleh Tim PPI sebelum pandemi COVID-19 melanda. Segala daya upaya menggalakkan cuci tangan dengan 5 moment dan 6 langkahnya telah dilakukan. Namun sepertinya upaya teman-teman Tim PPI masih belum optimal. Setiap tahun diselenggarakan in house training mencuci tangan masih saja ada yang belum memahami dan taat melaksanakannya. Dahulu kala nenek moyang kita selalu menyediakan bejana berisi air di depan rumah untuk bisa digunakan mencuci tangan siapapun yang akan bertamu, namun kebiasaan ini sudah hilang di zaman ini.

Itu hanya contoh saja dari sekian kebiasaan baru yang sebenarnya sudah SEHARUSNYA menjadi sebuah kebiasaan sejak dahulu. Namun apa hendak dikata, Tuhan sudah berkehendak seperti saat ini, dengan cara-Nya memaksa kita untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik demi mejaga kesehatan kita semua.

Dengan menyadari ini semua, maka berawal dari keterpaksaan dalam beradaptasi, mestinya kita harus mampu berubah dari keterpaksaan menjadi sebuah kesadaran diri. Kesadaran adalah hal yang paling logis untuk kita lakukan saat ini. Dengan kesadaran diri menjalani kebiasaan yang sebenarnya tidak sepenuhnya baru ini tentu menjadi lebih mudah. Kesadaran diri yang berujung pada kesehatan kita, keluarga kita dan masyarakat sekitar juga menjadi tanggung jawab kita juga.

Melalui tulisan ini, penulis mengajak rekan sejawat dan seluruh civitas hospitalia RSUP dr Soeradji Tirtonegoro untuk menjalankan kebiasaan baru ini dengan kesadaran bukan dengan keterpaksaan demi kesehatan kita, keluarga kita, orang terdekat kita, masyarakat dan tentu saja pasien kita. Kita laksanakan di manapun kita berada terutama di ruang publik. Dengan harapan bahwa dengan kesehatan yang terjaga kita tetap mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab kita sebagai tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Jadi, kesadaran dalam melaksanakan kebiasaan baru yang sebenarnya bukan kebiasaan baru ini adalah sebuah keharusan ada atau tidak ada COVID.

Referensi :

1. Theresia Irawati, SKM, M.Kes. 2020. Menuju Adaptasi Kebiasaan Baru Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

2.  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Adaptasi Kebiasaan Baru.