Penyakit jantung rematik (PJR) adalah masalah yang masih sering ditemui di negara-negara berkembang, dan tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada anakanak dan dewasa muda di usia produktif. Studi Global Burden of Disease (GBD) melaporkan bahwa secara global, PJR menyebabkan sekitar 305,000 kematian dan mempunyai beban penyakit sebesar 10,7 juta disability-adjusted-life-years (DALYs) setiap tahunnya. Menariknya, beban kesehatan akibat PJR dilaporkan telah berkurang di negara-negara maju, akibat kemajuan dalam pencegahan serta diagnosis dan tatalaksana dini. Namun demikian, PJR tetap menjadi beban yang cukup tinggi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, akibat kurangnya upaya pencegahan serta diagnosis dan tatalaksana dini.
Apa itu penyakit jantung rematik?
Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi dari penyakit demam rematik akut dan ditandai oleh kerusakan pada katup jantung. Demam rematik akut merupakan penyakit demam yang disebabkan oleh infeksi berulang oleh bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, atau juga dikenal sebagai Group A Streptococcus (GAS). Insiden demam rematik akut mencapai puncaknya pada usia 5-15 tahun, dan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi menengah kebawah, seperti kepadatan penduduk, kondisi perumahan yang buruk, pengetahuan kesehatan yang rendah, serta kurangnya akses ke pelayanan kesehatan. Infeksi GAS berulang memicu respons autoimun yang dapat merusak jaringan pada tubuh, dan salah satu target dari kerusakan jaringan ini adalah katup-katup jantung, sehingga menyebabkan PJR. Pasien-pasien dengan PJR memiliki gejala sesuai dengan tingkat kerusakan katup jantung yang dialami, sehingga pasien-pasien dengan kerusakan katup pada fase awal mungkin tidak mengeluhkan gejala apapun. Namun, dengan berjalannya waktu, kerusakan pada katup jantung dapat bersifat progresif dan menyebabkan komplikasi seperti gagal jantung dan kelainan irama jantung, sehingga pasien baru mengeluhkan gejala seperti sesak nafas, berdebar-debar atau cepat lelah. Pada tahap ini, kerusakan jantung bersifat permanen dan dapat menurunkan kualitas hidup serta level produktifitas pasien.
Apa upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan beban penyakit jantung rematik?
Selain dengan upaya kuratif seperti tindakan definitif terhadap katup jantung yang rusak dengan tindakan bedah ataupun non-bedah, upaya untuk menurunkan beban penyakit jantung rematik juga dapat dilakukan di level kesehatan promotif dan preventif. Contohnya, upaya promotif dapat dilakukan dengan mengedukasi masyarakat mengenai gaya hidup sehat secara umum, seperti menjaga kondisi tempat tinggal dan mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang. Sementara itu, upaya preventif dibagi menjadi pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tertier. Pencegahan primer mencakup diagnosis infeksi GAS yang tetap diikuti pemberian antibiotik yang tuntas. Sementara itu, pencegahan sekunder mencakup pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah demam rematik berulang, sebab demam rematik yang terjadi secara berulang dapat menyebabkan kerusakan berulang dan kumulatif terhadap katup-katup jantung, sehingga diasosiasikan dengan prognosis PJR yang lebih buruk. Selain itu, pencegahan sekunder PJR juga dapat dilakukan melalui skrining dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) jantung atau ekokardiografi, khususnya untuk mendeteksi PJR yang belum menimbulkan gejala, sehingga memungkinkan untuk dilakukan intervensi dini dengan harapan mencegah terjadinya progresivitas penyakit yang akan menurunkan kualitas hidup pasien.
Apa peran pelayanan primer dalam pencegahan penyakit jantung rematik?
Pelayanan primer adalah ujung tombak dari pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang belum mempunyai fasilitas pelayanan kesehatan tersier maupun sekunder. Dengan demikian, peran pelayanan primer sangatlah penting, termasuk dalam pencegahan PJR, dimulai dengan aktivitas-aktivitas edukasi mengenai PJR. Kebanyakan masyarakat selalu mengaitkan penyakit jantung dengan penyakit jantung koroner yang hanya dapat terjadi pada usia dewasa hingga lansia. Karenanya, diperlukan edukasi oleh kader-kader di tingkat layanan primer mengenai PJR yang justru terjadi pada remaja dan dewasa muda, serta pencegahan dan penanganan dini yang dapat dilakukan.
Selain itu, pelayanan primer juga dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan dengan fasilitas kesehatan yang lebih tinggi untuk melakukan skrining berkala dengan pemeriksaan ekokardiografi. Dengan majunya teknologi, ekokardiografi untuk kebutuhan skrining sekarang dapat dilakukan dengan alat USG portabel. Oleh karenanya, salah satu upaya pencegahan sekunder PJR dapat dilakukan dengan kolaborasi antara pelayanan primer dengan dokter spesialis jantung yang berasal dari tingkat fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Contohnya, puskesmas-puskesmas di daerah yang belum memiliki dokter spesialis jantung dapat mengumpulkan anak-anak dan dewasa muda di wilayah kerjanya untuk diberikan edukasi mengenai PJR dan dilanjutkan dengan skrining ekokardiografi oleh dokter spesialis jantung. Jika didapatkan hasil pemeriksaan yang menunjukkan kerusakan katup, walau tidak disertai gejala, pasien tersebut dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan lebih tinggi untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan hingga intervensi dini.
Hal ini sangatlah penting karena kesadaran masyarakat mengenai PJR masih cukup rendah, dan kebanyakan masyarakat hanya akan mencari pertolongan ke fasilitas layanan kesehatan jika sudah terjadi gejala. Sementara itu, kerusakan katup yang disebabkan oleh PJR seringkali tidak memunculkan gejala, sampai terjadi komplikasi. Maka dari itu, kolaborasi antara pelayanan primer dan dokter-dokter spesialis jantung adalah kunci untuk meningkatkan diagnosis dan intervensi dini, supaya tidak terjadi kerusakan katup yang lebih lanjut dan permanen. Terlebih lagi, pemerintah pusat dan daerah serta kolegium dokter spesialis jantung terus berkolaborasi untuk memperbaiki persebaran dokter spesialis jantung di seluruh daerah Indonesia, sehingga memungkinkan untuk dilakukan skrining PJR di seluruh daerah di Indonesia.
Referensi:
Ghamari, Seyyed-Hadi et al. “Rheumatic Heart Disease Is a Neglected Disease Relative to Its Burden Worldwide: Findings From Global Burden of Disease 2019.” Journal of the American Heart Association vol. 11,13 (2022): e025284. doi:10.1161/JAHA.122.025284
Dougherty, Scott et al. “Rheumatic Heart Disease: JACC Focus Seminar 2/4.” Journal of the American College of Cardiology vol. 81,1 (2023): 81-94. doi:10.1016/j.jacc.2022.09.050
Bennett, Julie et al. “Early diagnosis of acute rheumatic fever and rheumatic heart disease as part of a secondary prevention strategy: Narrative review.” Journal of paediatrics and child health vol. 57,9 (2021): 1385-1390. doi:10.1111/jpc.15664
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/heart-attack-concept-illustration_197101417.htm#fromView=search&page=1&position=0&uuid=b0f466b6-06a2-442b-b854-b28d7e39a567