Setiap orang pasti tentu akan menjadi lansia, namun tentunya menjadi lansia yang sehat adalah sebuah dambaan bagi setiap orang, dimana kesehatan adalah tujuan utama dari setiap orang termasuk ketika akan memasuki lansia. Namun tentunya dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatannya. Di antaranya penerapan pola hidup bersih sehat, selain itu juga asupan gizi perlu diperhatikan, kaitannya dengan hal ini dalam kesehatan benarkah lansia kebanyakan terkena Osteoporosis.
Kita ketahui Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang lubang atau keropos. Jadi, Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat, Osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, 1 (satu) di antara 2-3 wanita post-menopause dan lebih dari 50% penduduk di atas umur 75-80 tahun. Sekitar 80% penderita penyakit Osteoporosis adalah wanita. Berdasarkan data dari Depkes, jumlah penderita Osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dan merupakan negara dengan penderita Osteoporosis terbesar ke 2 setelah Negara Cina.
Dari sebuah jurnal dikatakan bahwa setiap 20 detik Osteoporosis menimbulkan patah tulang, hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari WHO yang menyatakan bahwa Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya masa tulang dan ada perubahan mikroarsitektur jaringan tulang, mengakibatkan menurunnya kekuatan tulang, meningkatnya kerapuhan tulang, dan risiko terjadinya patah tulang. Dan menurut WHO Osteoporosis menduduki peringkat kedua, di bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Menurut data internasional Osteoporosis Foundation, lebih dari 30% wanita di seluruh dunia mengalami risiko patah tulang akibat Osteoporosis, bahkan mendekati 40%. Sedangkan pada pria, risikonya berada pada angka 13%. Angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat Osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun 2050.
Dari beberapa ulasan di atas tentunya ada faktor yang mempengaruhi terjadinya Osteoporosis, sebagai penyakit degeneratif yang berpengaruh pada tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang. Dalam hal ini beberapa faktor yang mempengaruhi di antaranya :
1. Usia
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang. Tetapi setelah usia 30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada yang dibuat. Tulang mempunyai 3 (tiga) permukaan, atau bisa disebut juga dengan envelope, dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang yang menghadap lubang sumsum tulang disebut dengan endosteal envelope, permukaan luarnya disebut periosteal envelope, dan di antara keduanya terdapat intracortical envelope. Ketika masa kanak-kanak, tulang baru terbentuk pada periosteal envelope. Anak-anak tumbuh karena jumlah yang terbentuk dalam periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena meningkatnya produksi hormon seks. Seiring dengan meningkatnya usia, pertumbuhan tulang akan semakin berkurang. Proporsi Osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan dengan kejadian Osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara Osteoporosis dengan peningkatan usia.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya Osteoporosis. Pada Osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya Osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan. Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1.
3. Ras
Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara anak Afrika-Amerika dan anak kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot memiliki kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga tulang semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras tersebut. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa wanita yang berasal dari negara-negara Eropa Utara, Jepang, dan Cina lebih mudah terkena Osteoporosis daripada yang berasal dari Afrika, Spanyol, atau Mediterania.
4. Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang Osteoporosis rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat adanya Osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang.
5. Indeks Massa Tubuh
Berat badan yang ringan, indeks massa tubuh yang rendah, dan kekuatan tulang yang menurun memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa tulang pada semua bagian tubuh wanita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek berat badan terhadap massa tulang lebih besar pada bagian tubuh yang menopang berat badan, misalnya pada tulang femur atau tibia. Estrogen tidak hanya dihasilkan oleh ovarium, namun juga bisa dihasilkan oleh kelenar adrenal dan dari jaringan lemak. Jaringan lemak atau adiposa dapat mengubah hormon androgen menjadi estrogen. Semakin banyak jaringan lemak yang dimiliki oleh wanita, semakin banyak hormon estrogen yang dapat diproduksi. Penurunan massa tulang pada wanita yang kelebihan berat badan dan memiliki kadar lemak yang tinggi, pada umumnya akan lebih kecil. Adanya penumpukan jaringan lunak dapat melindungi rangka tubuh dari trauma dan patah tulang.
6. Aktifitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi Osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat sedang dan rendah.
7. Penggunan Kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya Osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya Osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 (tiga) bulan. Kortikosteroid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal, sehingga akan terjadi hipokalsemia. Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium, kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan menghambat kerja osteoblas, sehingga penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi Osteoporosis yang progresif.
8. Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh terhadap kondisi ini adalah tulang trabekular karena tingkat turnover yang tinggi dan tulang ini sangat rentan terhadap defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya berlubang atau terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang terlepas, tulang trabekular akan melemah.
9. Kebiasaan Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen, sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini (kira-kira 5 tahun lebih awal), daripada non-perokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya Osteoporosis dibandingkan wanita yang tidak merokok.
10. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Kebiasaan meminum alkohol lebih dari 750 mL per minggu mempunyai peranan penting dalam penurunan densitas tulang. Alkohol dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau mengurangi massa tulang karena adanya nutrisi yang buruk. Hal ini disebabkan karena pada orang yang selalu menonsumsi alkohol biasanya tidak mengkonsumsi makanan yang sehat dan mendapatkan hampir seluruh kalori dari alkohol. Di samping akibat dari defisiensi nutrisi, kekurangan vitamin D juga disebabkan oleh terganggunya metabolisme di dalam hepar, karena pada konsumsi alkohol berlebih akan menyebabkan gangguan fungsi hepar.
11. Riwayat Fraktur
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko Osteoporosis, namun demikian dilihat dari beberapa faktor diatas, tentunya Osteoporosis di samping membutuhkan perhatian dan sebuah penanganan yang pas, dalam hal ini Osteoporosis pada beberapa keadaan, Osteoporosis sulit untuk dicegah. Akan tetapi, kita bisa mengurangi risiko terkena Osteoporosis dengan berhenti merokok, berhenti konsumsi alkohol, serta melakukan pemeriksaan tulang berkala jika sudah menopause, berolahraga secara teratur, dan mengonsumsi makanan yang kaya akan vitamin D dan kalsium, misalnya susu sapi dan susu kedelai, atau suplemen kalsium sesuai dengan arahan dokter.
Referensi :
Soke, Yasinta Ema, dkk. 2016. Hubungan Pengetahuan Lansia tentang Osteoporosis dengan Perilaku Mengkonsumsi Makanan Berkalsium di Panti Wredha X Yogyakarta. Jurnal Keperawatan Respati, Vol. 3, No. 1.
Tandra, Hans. 2017. Segala Sesuatu yang Anda Ketahui tentang Osteoporosis Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Seth Mart Cristian Siahaan. 2019. Faktor-faktor Terjadinya Osteoporosis pada Lansia di Puskesmas Pancur Batukab. Deli Serdangtahun. Jurusan Keperawatan Poltekkes Negeri Medan.