Senin, 04 Juli 2022 12:31 WIB

Ensefalitis Autoimun

Responsive image
6461
dr. Mieke A. H. N. Kembuan, Sp. N(K) - RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado

Ensefalitis autoimun (AE) adalah jenis peradangan otak di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel dan jaringan sehat di otak atau sumsum tulang belakang. Ensefalitis autoimun merupakan salah satu penyakit kompleks yang langka yang dapat menyebabkan perubahan cepat pada kesehatan fisik dan mental. Menurut penelitian kasus tersebut menyerang 1 dari 100.000 orang dan banyak berusia dibawah 18 tahun. Beberapa penderita memiliki antibodi dalam darah atau cairan serebrospinal (CSF) mereka yang diketahui terkait dengan ensefalitis, sementara lainnya tidak ditemukan antibody namun memiliki gejala yang khas pada kasus ensefalitis autoimun. Ensefalitis autoimun dapat dikatakan salah satu penyakit baru. Oleh karena itu, beberapa dokter mungkin tidak mengetahui kondisi ini, dan mungkin salah didiagnosis sebagai gangguan psikiatri atau neurologis. Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk meminimalkan komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dari penyakit ini. Peradangan di otak dapat menyebabkan berbagai gejala, termasuk masalah neurologis dan kejiwaan. Gejala sering bervariasi dari pasien ke pasien. Mereka dapat mencakup penurunan performa kerja atau sekolah secara tiba-tiba, kehilangan kemampuan berbicara, gerakan atau kejang tubuh yang tidak normal, kehilangan penglihatan, kelumpuhan pada lengan atau tungkai, dan masalah tidur. Manifestasi psikiatri juga sering didapatkan mulai dari kecemasan dan perubahan suasana hati hingga psikosis dengan halusinasi, delusi atau katatonia. Gejala biasanya berkembang dengan cepat selama berminggu-minggu hingga beberapa bulan. Perlu diingat, masalah kejiwaan yang berlangsung lama (selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun) bukanlah tanda ensefalitis autoimun. Diagnosis ensefalitis autoimun paling baik dibuat oleh tim kesehatan multidisiplin yang terdiri dari spesialis penyakit dalam di bidang reumatologi (atau ahli reumatologi anak), spesialis saraf, dan spesialis lainnya. Diagnosis memerlukan riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik, serta studi laboratorium dan pencitraan. Jika seseorang dicurigai ensefalitis, tindakan pungsi lumbal dapat dilakukan untuk mengevaluasi antibodi pada cairan tulang belakang serebral, termasuk antibodi NMDA. Ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan tumor terkait karena sering ditemukan pada pasien dengan ensefalitis autoimun memiliki penyakit penyerta seperti tumor ovarium, testis dan small cell lung cancer. Pengujian diagnostik juga biasanya mencakup MRI otak, dan tes electroencephalogram (EEG), yang mengukur gelombang otak. Penyebab lain dari peradangan otak, seperti infeksi, harus disingkirkan sebelum diagnosis ensefalitis autoimun dapat dibuat. Perawatan bervariasi tergantung pada penyebab dan tingkat keparahan penyakit. Kortikosteroid dan obat imunosupresif lainnya biasanya digunakan untuk mengontrol peradangan di otak. Beberapa pasien mungkin juga memerlukan obat untuk kejang atau gejala kejiwaan. Setelah ensefalitis yang mendasari dikendalikan, rehabilitasi jangka panjang, termasuk terapi fisik, pekerjaan dan wicara, dapat membantu pasien mendapatkan kembali fungsinya.

 

Daftar pustaka
1. Ansari. A.Al & Robetlson.N.P. (2019). Autoimmune encephalitis: frequency and prognosis. Journal Of Neurology. doi: https://doi.org/10.1007/s00415-019-09273-5
2. Granerod, J., Ambrose, H. E., Davies, N. W., Clewley, J. P., Walsh, A. L., Morgan, D., & Ward, K. N. (2010). Causes of encephalitis and differences in their clinical presentations in England: a multicentre, population-based prospective study. The Lancet infectious diseases, 10(12), 835-844.doi: https://doi.org/10.1016/S1473-3099(10)70222-X