Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan imunologi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap allergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap allergen yang di uji (reaksi tipe 1). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan tetapi masa sentisisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE mempunyai masa sentisisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam.
Ada 3 cara untuk melakukan uji kulit yaitu cara intradermal, uji tusuk (prick test), sel uji gores (stratch test). Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat. Uji kulit intradermal sejumlah 0,02 ml ekstrak allergen dalam 1 ml semprit tuberculin disuntikkan secara superficial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi allergen pada kulit.
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak allergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superficial kulit di tusuk dan di cungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak allergen yang digunakan 1000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah.
Daftar Pustaka:
Munasir Z. Uji kulit terhadap alergen. Editor: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi kedua. IDAI; Jakarta 2010;443-5.