Senin, 04 Juli 2022 10:53 WIB

Uji Provokasi Obat

Responsive image
1410
DR.Dr. Novie Homenta Rampengan, SpA(K), DTM&H, - RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado

Uji provokasi biasanya dilakukan untuk pembuktian alergi obat dengan gejala klinis tidak berat, misalnya demam obat atau erupsi obat fikstum. Bila gejala klinisnya berat maka uji provokasi harus dilakukan dengan secara hati-hati.

Sebelum dilakukan uji provokasi di buat daftar urut obat yang akan diuji, mulai dengan obat yang paling tidak dicurigai. Biasanya diberikan obat mulai dengan dosis rendah secara oral. Dosis awal dapat sampai 1% dari dosis terapeutik, tetapi untuk reaksi alergi obat hebat dosis awal harus 100-1000 kali lebih rendah. Dosis tersebut dinaikkan 10 kali setiap 15-60 menit (tergantung dari cara pemberian obat). Bila terjadi reaksi maka uji provokasi dihentikan, atau dilanjutkan dengan desentisisasi bila obat tersebut dianggap sangat penting dan sulit digantikan. Pada uji provokasi dan desentisisasi harus selalu tersedia peralatan resusitasi untuk mengatasi kedaruratan yang mungkin terjadi.

Desentisisasi adalah perluasan tindakan uji provokasi dengan tujuan untuk melanjutkan pengobatan, bukan hanya diagnosis. Tindakan ini antara lain telah berhasil mengatasi sensitivitas terhadap antituberkulosis ketika belum tersedia obat alternative untuk tuberculosis. Umumnya desentisisasi tersebut dilakukan sangat perlahan, dan dosis diturunkan setiap kali timbul reaksi sebelum dinaikkan kembali. Desentisisasi terhadap obat lain umumnya dilakukan lebih cepat. Desentisisasi berhasil pada obat anti inflamasi non steroid (OAINS) yang biasanya tercapai dalam waktu beberapa jam. Dosis awal adalah dosis terkecil yang menimbulkan gejala (biasanya paling rendah 10 mg), kemudian dinaikkan bertahap setiap 3 jam. Toleransi akan terjaga terus bila obat di makan setiap hari, tetapi akan menghilang bila tidak di makan lebih dari 2 hari.

 

Daftar Pustaka:
Akib AAP. Uji provokasi obat. Editor: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi kedua. IDAI; Jakarta 2010;451-3.