Selasa, 09 Agustus 2022 09:40 WIB

Gula Si Manis Yang Menyebabkan Ketergantungan

Responsive image
5784
dr. I wayan Gede Sutadarma, MGizi, SpGK - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Ketika kita mendengar kata “gula”, maka pikiran kita akan langsung tertuju dengan kata “manis”. Rasa gula dalam makanan atau minuman manis memang identik dengan rasa manis. Rasa ini akan memberikan sensasi yang menyenangkan apabila dikonsumsi. Sebagian besar anak-anak sampai lansia, sangat mengemari rasa manis bahkan sampai menimbulkan ketergantungan yang tidak disadari.

Kandungan gula dalam makanan dan minuman manis, banyak terdapat dalam bentuk olahan sehingga bentuk asli gula sudah tidak lagi terlihat. Gula dalam makanan manis terutama dalam bentuk olahan tepung seperti roti, jajan, kue, mie, bolu, cake, donat, pisang goreng, kerupuk, keripik, martabak, terang bulan, bronis, pie, resoles, nastar dan lain-lain. Sedangkan, gula dalam minuman manis terutama dalam bentuk kemasan seperti teh kemasan, kopi kemasan, jus kemasan, minuman ringan, es krim, permen, susu kental manis, gula jagung, sirup dan lain-lain. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2018, tingkat konsumsi makanan manis (87,9%) dan minuman manis (91,49%) di Indonesia sangat tinggi.

Pemerintah Indonesia melalui Permenkes nomor 30 tahun 2013, telah mengatur kewajiban badan usaha untuk mencantumkan kandungan gula dalam bentuk label gizi makanan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan konsumen mengetahui berapa jumlah asupan gula harian yang telah dikonsumsi. Namun sayangnya, keinginan masyarakat untuk membaca dan memahami label gizi makanan ini masih rendah.

Konsumsi harian makanan dan minuman manis berlebih dapat menyebabkan peningkatan berat badan atau kegemukan. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, prevalensi kegemukan di Indonesia cenderung mengalami peningkatan mulai 10,5% (2007) menjadi 14,8% (2013) dan 21,8% (2018).

Selain kegemukan, konsumsi gula harian yang berlebih, dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh lain seperti kerusakan gigi (karies), sulit menghentikan keinginan makan akibat gangguan sensitivitas hormon leptin, peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) akan meningkatkan risiko penyakit diabetes melitus, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, dan meningkatkan risiko keganasan.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk mengatur tingkat konsumsi gula harian. Rekomendasi konsumsi gula harian dalam bentuk makanan dan minuman manis menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah kurang dari 10 persen asupan energi total harian. Artinya, jika rerata asupan energi total harian adalah 2000 kalori, maka batasan asupan maksimal gula per orang per hari adalah 50 gram atau setara dengan 4 sendok makan.

Gula bukan untuk dihindari, tetapi konsumsinya tetap harus dibatasi. Jika kita tidak mengkonsumsi gula, maka tubuh (terutama saraf pusat) akan kekurangan energi sehingga kita akan sulit berkonsentrasi dan mudah kelelahan. Berikut beberapa tips yang bisa dipakai untuk mengurangi konsumsi gula agar tidak berlebihan antara lain 1) perhatikan label gizi makanan dengan baik, 2) jika membeli makanan atau minuman pastikan tanpa pemanis tambahan, 3) kombinasikan gula dengan protein, lemak sehat dan serat, 4) tambahkan lebih banyak rasa selain manis, 5) jadikan mengurangi gula menjadi sebuah kebiasaan yang sehat. 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes.

Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 30 tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak, Serta Pesan Kesehatan Pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.

Guideline: Sugars intake for adults and children. Geneva: World Health Organization; 2015