Senin, 08 Agustus 2022 14:30 WIB

Mengenal Toxic Masculinity

Responsive image
6454
Yosua A. Simamora, S.Tr.Sos - RS Jiwa dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor

Topik mengenai konstruksi sosial dirasa semakin dibahas lebih mendalam sejalan dengan kesadaran akan kesehatan mental. Bisa dilihat dari sosial media instagram, di mana banyak akun terkait kesehatan mental yang membahas isu-isu di masyarakat di berbagai kalangan. Konstruksi sosial yang diyakini masyarakat terkadang membawa arus budaya yang memberikan dampak buruk. Salah satunya terkait toxic masculinity.

Toxic masculinity adalah hasil dari seperangkat aturan yang menentukan seperti apa seharusnya (standar) menjadi seorang pria. Indonesia dengan budaya masyarakat patriarkis yang kuat memberi andil dari konstruksi sosial ini. Contoh pandangan toxic masculinity:

·         Seorang pria tidak dapat mengekpresikan emosi secara terbuka

·         Seorang pria harus tangguh setiap waktu

·         Seorang pria seharusnya tidak mencari kehangatan, kenyamanan, atau kelembutan

·         Seorang pria tidak boleh bergantung pada orang lain. Meminta bantuan adalah kelemahan

·         Seorang pria harus menang atau dominan dalam olahraga, pekerjaan, hubungan, dan sex

·         Tindakan berisiko (rokok, balapan, obat terlarang) membuat pria lebih keren

Istilah Toxic masculinity berasal dari seorang psikolog bernama Shepherd Bliss pada tahun 1990 yang digunakan untuk membedakan dan memisahkan nilai positif dan nilai negatif dari gender laki-laki.

Tiga komponen inti Toxic masculinity :

·         Toughness (ketangguhan): Seorang pria harus kuat secara fisik, tidak berperasaan, perilaku agresif

·         Anti Feminity: Seorang pria harus menolak apapun berbau feminim

·         Power (Kekuasaan): Seorang pria harus berjuang mendapatkan kekuasaan dan status

Mengapa toxic masculinity berbahaya?

Dapat meningkatkan resiko:

·         Enggan pergi ke bantuan profesional

·         Memendam emosi

·         Gangguan mental

·         Kekerasan seksual

·         Empati rendah

·         Merasa sendirian

·         Penyalahgunaan obat-obatan, dll.

Dampak toxic masculinity bisa menyebabkan depresi hingga bunuh diri pada korban yang mengalami, stigma maskulin di masyarakat yang didukung budaya patriarki.

Di sisi lain, perkembangan zaman membawa perubahan pada gaya hidup dan cara pandang. Misalnya saja, penampilan dan perawatan kulit (skin care) bukan hanya diperhatikan wanita, tapi juga laki-laki. Produk skin care laki-laki semakin beragam dan digunakan kepada kalangan anak muda dan pria pekerja, terlebih jika penampilan menjadi hal penting dalam menunjang pekerjaan. Para penggiat kesehatan mental pun mendorong pria untuk bisa mengekspresikan emosi secara terarah, memperhatikan kebutuhan diri, dan mengurangi pandangan yang salah di masyarakat. Toxic masculinity sudah membudaya di masyarakat dan membutuhkan upaya agar menurunkan dampak buruk di masa depan.

 

Referensi:

https://yunoya.id/lifestyle/life/mengenal-toxic-masculinity/

https://www.psychologytoday.com/us/blog/talking-sex-and-relationships/202103/what-is-toxic-masculinity

https://www.instagram.com/p/CQ54Rc_MknS/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/4897/7/UNIKOM_41816263_ELI%20CHANDRA%20IKA_BAB%20I.pdf