Setelah menjalani libur panjang masa pandemi seperti ini, anak biasanya akan merasa sudah nyaman dengan kondisi pembelajaran jarak jauh atau daring. Hal itu dapat menyebabkan anak kesulitan beradaptasi dengan kondisi kembali ke sekolah. Akhirnya anak akan melakukan berbagai cara untuk dapat menghindari hal tersebut dengan berpura-pura sakit. Tentunya sebagai orang tua, kita harus memastikan apakah anak benar-benar sakit atau hanya berpura-pura. Keadaan berpura-pura sakit untuk menghindari kembali ke sekolah dengan beberapa alasan terkait dapat disebut dengan sindrom munchausen.
Sindrom munchausen merupakan kondisi gangguan psikologis dimana penderita akan berpura-pura sakit dan dengan sengaja menciptakan suatu gejala mengenai penyakit tersebut. Pengidap sindrom munchausen akan dengan segaja membuat, mengeluh, atau membesar-besarkan gejala suatu penyakit. Biasanya penderita akan melakukan ini agar mendapat perhatian, rasa iba, hingga simpati dari orang terdekatnya. Sindrom munchausen dibuktikan dengan tipe perilaku berpura-pura mengalami gejala psikologis, gejala fisik serta melakukan hal yang dapat menyebabkan sakit.
Berikut gejala yang mungkin muncul pada penderita sindrom munchausen:
Penyebab Sindrom Munchausen:
1. Trauma pada masa kecil
Trauma tersebut diaibatkan oleh orangtua yang menelantarkan anak sehingga berakibat kurangnya perhatian orangtua pada anak. Hal ini membuat anak menjadi berpura-pura sakit untuk mendapat perhatian
2. Gangguan Kepribadian
Upaya pengobatan pada pasien dengan sindrom munchausen dilakukan dengan psikoterapi maupun konseling. Penobatan tersebut berfokus pada perubahan pola pikirdan perilaku dengan CBT (cognitie-behavioral therapy). Setelah itu dapat dilakukan perawatan untuk menyelesaikan masalah psikologis yang dapat menjadi pemicu munculnya sindrom munchausen. Perlu diketahui bahwa tidak ada obat yang dapat menyembuhkan sindorm muchausen, karena obat-obatan hanya digunakan pada pasien dengan penyakit kejiwaan seperti depresi atau gangguan kecemasan. Selain itu penggunaan obat-obatan perlu dipantau, pasalnya penderita juga dapat berisiko melakukan penyalahgunaan obat.
Sumber Foto: https://www.google.co.id/amp/s/www.wikihow.com/Identify-Factitious-Disorder-%2528Munchausen-Syndrome%2529%3famp=1
Referensi:
Prabhu A, Abaid B, Sarai S, Sumner R, Lippmann S. 2020. Munchausen Syndrome. Southern Medical Journal. DOI: 10.14423/smj.0000000000001079. PMID: 32239233. https://europepmc.org/article/med/3223923