I. PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner (PJK) telah berkembang sebagai istilah operasional yang berguna yang mengacu pada spektrum kondisi yang kompatibel dengan iskemia miokard akut dan/atau infark yang biasanya disebabkan oleh pengurangan tiba-tiba aliran darah koroner.1,2
Insiden penyakit jantung koroner (PJK) meningkat di negara berkembang akibat dari peningkatan panjang umur, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup. Beban PJK diproyeksikan meningkat dari 47 juta DALYs secara global pada tahun 1990 menjadi 82 juta DALYs pada tahun 2020, dimana 60% akan berasal dari negara berkembang. Hal ini menyebabkan kita harus mendapatkan satu cara untuk dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.3,4
Olahraga memang menjadi salah satu cara untuk selalu menjaga kesehatan kita, tapi tidak semua orang dengan kondisi tubuhnya dapat melakukan olahraga. Meskipun belum ada panduan resmi mengenai aturan olahraga pada penderita penyakit jantung koroner, sebagian besar ahli menyarankan para penderita penyakit jantung koroner tetap berolahraga. Tentu bergantung pada berat dan ringannya penyakit jantung koroner yang dialami. Para ahli di Amerika Serikat merekomendasikan olahraga ketahanan atau endurance training ringan sampai moderat bagi para penderita penyakit jantung koroner pada umumnya.5
Latihan olahraga untuk pasien dengan PJK umumnya disebut sebagai rehabilitasi jantung. Program ini bertujuan untuk mengembalikan pasien penyakit jantung ke kondisi fisik, psikologis, sosial, emosional dan ekonomi yang optimal. Tujuan jangka pendek termasuk rekondisi fisik, pendidikan tentang proses penyakit, dan dukungan psikologis selama fase pemulihan awal. Tujuan jangka panjang termasuk mengelola faktor risiko dan mengajarkan gaya hidup sehat yang meningkatkan prognosis dan kondisi fisik untuk kembali lebih awal ke aktivitas kerja.3
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan istilah operasional yang mengacu pada spektrum kondisi yang kompatibel dengan iskemia miokard akut dan/atau infark yang biasanya disebabkan oleh pengurangan tiba-tiba aliran darah koroner. Elevasi segmen ST (elevasi ST) atau blok cabang bundel kiri yang baru pada elektrokardiogram (EKG) merupakan indikasi angiografi koroner.1
Penyakit jantung koroner dibagi atas unstable angina pectoris (UAP), infark miokardium akut (IMA) baik dengan peningkatan segmen ST (STEMI) maupun tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI). Pasien dengan PJK mengalami kondisi berkurangnya suplai darah ke jantung secara tiba-tiba bahkan terhenti akibat penumpukan kolesterol sehingga memicu angina pektoris serta infark miokard, dimana terjadi kerusakan pada jantung.1
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama dari penyakit tidak menular (PTM) sekitar 17,5 juta kematian atau 46% dari seluruh kematian penyakit tidak menular, 80% terjadi di negara dengan pendapatan menengah ke bawah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 23,6 juta di tahun 2030. Data tersebut memperkirakan 7,4 juta kematian adalah serangan jantung akibat PJK dan 6,7 juta adalah stroke.5
Secara garis besar faktor risiko PJK dapat dibagi dua. Pertama adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable), yaitu dislipidemia (LDL meningkat, HDL menurun), merokok, hipertensi, diabetes melitus, sindrom metabolik, kurang aktivitas fisik. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki diantaranya usia lanjut, jenis kelamin, dan herediter.5
Arteri merupakan pembuluh darah yang berfungsi membawa darah dari jantung ke seluruh tubuh. Arteri memiliki lapisan tipis di bagian dalamnya yang disebut endothelium. Lapisan ini bertugas untuk menjaga agar bagian dalam arteri tetap sehat dan halus, sehingga darah bisa mengalir dengan lancar.4,6
Dislipidemia dapat menimbulkan PJK karena terjadi peningkatan konsentrasi kolesterol LDL, trigliserida, kolesterol total, dan penurunan kolesterol HDL yang bersifat anti-aterogenik, anti oksidan, dan anti inflamasi, dimana keseluruhan proses tersebut akan mengurangi cadangan anti oksidan alamiah. Kondisi kekurangan anti oksidan ini akan membuat pembuluh darah lebih rentan mengalami cedera endotel, yang merupakan cikal bakal terjadinya aterosklerosis pada PJK.4,6
Apabila telah terjadi cedera pada endotel, maka akan terjadi peningkatan paparan molekul adhesi pada sel endotel dan akan terjadi penurunan kemampuan endotel tersebut dalam melepaskan nitric oxide dan zat lain yang membantu mencegah perlekatan makromolekul, trombosit, dan monosit. Setelah itu monosit dan lipid (kebanyakan berupa LDL) yang beredar mulai menumpuk di tempat yang mengalami kerusakan, lalu terbentuklah plak ateroma pada pembuluh darah tersebut.4,6
Aterosklerosis mulai terjadi saat dinding arteri yang mengalami cedera menghasilkan sinyal kimia yang membuat sel-sel darah putih jenis tertentu (monosit dan sel T) melekat pada dinding arteri. Sel–sel darah putih ini kemudian masuk ke dalam dinding arteri dan membentuk sel–sel busa. Sel ini akan menarik kolestrol dan material lemak lainnya, serta memicu pertumbuhan sel–sel otot polos pada dinding arteri. Pada waktunya, akan terbentuk plak (ateroma) yang diliputi oleh lapisan fibrosa (fibrous cap) pada dinding ateri, dan seiring dengan berjalannya waktu, kalsium akan tertimbun di dalam plak tersebut.4,6
Plak bisa terbentuk di sepanjang arteri yang berukuran sedang dan besar, tetapi biasanya mulai terbentuk pada daerah percabangan. Perlahan-lahan plak bisa terbentuk semakin besar ke dalam lumen arteri, sehingga arteri menyempit. Akibatnya, jaringan tidak mendapatkan suplai darah dan oksigen yang cukup. Plak juga bisa tumbuh ke dalam dinding arteri, dimana plak tidak menghambat aliran darah. Namun, kedua jenis plak tersebut bisa terpecah dan membuat material di dalamnya terpapar aliran darah. Kondisi ini memicu terbentuknya bekuan darah, yang bisa dengan tiba-tiba menyebabkan aliran darah tersumbat. Hal ini merupakan penyebab utama terjadinya serangan jantung atau stroke.4,6
Sebagian besar PJK adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan lapisan fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus kaya trombosit (white thrombus). Trombus akan menyumbat pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial.4,6
Pelepasan zat vasoaktif juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Disisi lain, sebagian pasien PJK tidak mengalami pecah plak seperti di atas. Mereka mengalami PJK karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipertensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya PJK pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.4,6
Salah satu faktor risiko PJK adalah dislipidemia yaitu gangguan metabolisme lipid berupa peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida (TG), low density lipoprotein (LDL), dan penurunan kadar high density lipoprotein (HDL). Apabila dislipidemia tidak segera diatasi, maka dapat terjadi berbagai macam komplikasi, antara lain atherosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular seperti stroke, kelainan pembuluh darah lainya, dan pankreatitis akut. Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid akibat interaksi faktor genetik dan lingkungan.4,6
Gambar 2. Proses terjadinya PJK7