Karsinoma hidung dan sinus paranasal sering disebut juga karsinoma sinonasal adalah tumor ganas yang terdapat pada rongga hidung dan sinus paranasal. Asal tumor primernya sulit diketahui apakah berasal dari rongga hidung atau sinus paranasal karena biasanya pasien datang berobat saat penyakit sudah stadium lanjut dan tumor sudah memenuhi ronnga hidung dan sinus. Tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa dan kebanyak berkembang dari sinus maksilaris (Inclan CG, Hernandez AL, Guervos MA, Allonca E, Potes S, Melon S, et al(2014)).
Karsinoma sinonasal menempati 3% dari keganasan kepala dan leher, sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh. Di Asia, keganasan sinonasal menepati peringkat kedua yang paling sering dari keganasan kepala dan leher setelah karsinoma nasofaring. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun beberapa studi epidemiologi dari berbagai negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat kimia atau bahan industri lainnya seperti nikel, debu kayu, kulit, mebel, tekstil dan lain-lainnya. Selain itu alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap juga diduga meningkatkan kejadian karsinoama sinonasal. Berdasarkan asal selnya, karsinoma sinonasal dapat dibedakan menjadi epitelial, non epitelial, limforetikuler dan metastasis dari tempat lain (Gibson TN, McNaughton DP, Hanchard B. (2017)).
Gejala tergantung asal tumor primer dan arah perluasannya. Gejala timbul setelah tumor mendestruksi tulang dan meluas ke rongga hidung , rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala pada hidung berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore, kadang disertai darah atau epistaksis. Desakan pada hidung menyebabkan deformitas. Perluasan ke arah orbita dapat menimbulkan gejala diplopia, proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. Gejala di mulut dapat menimbulkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Perluasa tumor ke wajah menimbulkan penonjolan pada pipi disertai nyeri, anestesi atau parestesi. Perluasan ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, gangguan visus ,kadang dapat timbul likuorea serta mengenai saraf kranial.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi, endoskopi dan biopsi. Pemeriksaan radiologi diantaranya foto polos paru untuk melihat metastasis tumor ke paru. Pemeriksaan CT Scan memberikan gambaran yang baik mengenai lokasi dan perluasan tumor. CT Scan dapat menentukan adanya erosi atau destruksi tulan (Carrau R. (2019)).
Prinsip penatalaksanaan karsinoma sinonasal adalah multimodalitas dengan pembedahan sebagai pilihan utama dilanjutkan dengan radioterapi dan atau kemoterapi. Pemilihan modalitas ini berdasarkan kepada banyak faktor antara lain lokasi, stadium, kondisi pasien, penyakit penyerta, fasilitas (kamar operasi, alat, obturator), pengalaman operator dan lainnya (Aparna C, Renuka IV. (2014)).
Referensi:
Inclan CG, Hernandez AL, Guervos MA, Allonca E, Potes S, Melon S, et al(2014). Establishment and Genetic Characterization of Six Unique Tumor Cell Line as Preclinical Models for Sinonasal Squamous Cell Carcinoma. Scientific Reports.4;4:1-12.
Gibson TN, McNaughton DP, Hanchard B. (2017). Sinonasal Malignancies: Incidence and Histological Distribution in Jamaica, 1973-2007. Cancer Causes Control; 28:1219-25.
Carrau R. (2019). Malignant Tumors of the Nasal Cavity Treatment and Management. Otolaryngology and Facial Plastic Surgery;1-18.
Aparna C, Renuka IV. (2014). Sinonasal Undifferentiated Carcinoma-A Case Report. International Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery; 3: 382-6.