Kamis, 23 Juni 2022 22:27 WIB

Tatalaksana Keperawatan pada Masalah Hiperbilirubinemia Neonatus di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

Responsive image
12548
Ardhy Khartika Dewi, S.Kep., Ners - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Ardhy Khartika Dewi, S.Kep., Ners - Terdapat beberapa faktor penyebab bayi membutuhkan ruang rawat NICU di antaranya Bayi Lahir Berat Badan Rendah (BBLR), asfiksia, ikterus neonatorum, trauma lahir ataupun kelainan kongenital. Pasien dengan masalah hiperbilirubinemia atau yang dikenal dengan sebutan jaundice terjadi karena tingginya kadar bilirubin dalam darah, dimana bilirubin adalah hasil pemecahan hemoglobin karena sel darah merah yang rusak sehingga menyebabkan bayi berwarna kuning. Secara statistik insiden hiperbilirubin ditemukan pada bayi baru lahir dalam minggu pertama kehidupan di Indonesia sebesar 51,47% dengan perbandingan di Amerika 65% dan Malaysia 75% (Putri dan Mexitalia, 2014; WHO, 2015). Merujuk (Riskesdas, 2015) ditemukan beberapa faktor penyebab hiperbilirubin antara lain asfiksia 51%, BBLR 42,9%, Prematuritas 33,3%, kelainan kongenital 2,8% dan karena sepsis 12%.

                              Kejadian hiperbilirubin dapat terjadi secara fisiologi dan patologis, terdapat skala untuk menilai derajat ikterus pada neonatus dengan pengunaan rumus Kramer dimana terdapat 5 (lima) tingkatan dengan menghitung luas ikterik dimulai dari bagian kepala hingga area tangan dan kaki untuk derajat tertinggi. Hiperbilirubinimia dapat menimbulkan mortalitas apabila tidak teratasi akan menimbulkan efek terkonjugasi di dalam sel-sel otak sehingga mengalami kerusakan hingga menyebabkan bayi kejang dan penurunan kesadaran bisa berakhir dengan kematian (Atikah dan Jaya, 2015). Apabila penangganan tidak selesai dengan tuntas bayi bisa mendapatkan gejala sisa seperti tuli, spasme otot, gangguan bicara, kejang tonus otot, leher kaku dan sistem neurologi yang lain (Marmi, 2015).

                              Outcome pada bayi hiperbilirubin dilakukan dengan menggunakan evaluasi bilirubin post foto terapi dan bisa dilakukan pengkajian ulang terhadap nilai Kramer, namun dalam pelaksanaannya fototerapi tidak optimal apabila dalam penanganannya diperlukan perawat yang mampu berkolaborasi dalam pemberian intervensi penting berupa melindungi dari kerusakan intensitas kulit, diare dan hipertemi yang apabila dijabarkan dalam kegiatan berupa monitoring intake ASI adekuat, memasang penutup mata dan genitalia bayi, perubahan posisi bayi setiap 2 jam serta mengatur waktu dan intensitas sinar yang diberikan (Kozier, 2010; Atikah & Jaya, 2015).

                              Nilai bilirubin yang dikatakan normal adalah 5mg/dl, batas bilirubin tinggi timbul dalam 24 jam pertama dan akan terus bertambah  sekitar 5 mg/dl setiap harinya. Pada bayi aterm di atas 10 mg/dl dan di atas 15 mg/dl untuk bayi prematur serta menetap selama seminggu setelah kelahiran dapat dikategorikan dalam ikterus patologis yang mana diperlukan penanganan lanjutan untuk mengembalikan ke kadar normal. Respon dari tingginya kadar bilirubin yang dialami bayi berupa gangguan pada sistem eliminasi, pencernaan, integumen, sistem kerja hepar dan sistem persyarafan (Wijayaningsih, 2013).

                              Tata laksana bayi dengan hiperbilirubin memerlukan kolaborasi dari semua pihak baik dokter untuk diagnosa dan penanganan farmakologi serta perawat untuk menyesuaikan pemberian intervensi serta outcome yang timbul. Kualitas dari pemberian pelayanan berkaitan erat dengan intervensi yang mungkin dilakukan, sehingga perawat memerlukan pemahaman terkait tata laksana dalam fototerapi  serta intervensi yang dilakukan selama tindakan dan post fototerapi.

                              Beberapa tata laksana keperawatan pada pasien bayi dengan hiperbilirubin meliputi :

a)     Fototerapi

Pada prosedur fototerapi, bayi dibuka pakaian lalu ditutupi pada area mata dan genetalia dengan penutup yang memantulkan cahaya (pakai kertas karbon contohnya) dan pastikan selain area yang ditutup bagian badan dibuka supaya terpapar sinar fototerapi. Tujuan dari penutupan area mata untuk mengurangi resiko kerusakan retina dan alat reproduksi.

b)     Monitoring Tanda Vital

Mengukur keadaan umum bayi seperti bayi menangis, tidur atau dalam keadaan lain. Monitor yang paling umum digunakan adalah nadi, frekuensi nafas dan suhu tubuh tubuh dalam rentang 36.5?- 37,5? yang dilakukan pengukuran setiap 2 jam dan tidak adanya tanda dehidrasi ditandai dengan pengeluaran urine kurang dari 1-3 ml per jam.

c)     Keseimbangan Cairan

Berhubungan dengan hilangnya air (insensible water loss) yang keluar dari tubuh bayi akibat dari penyinaran. Pergantian cairan yang hilang tersebut dapat digantikan dengan menambahkan kebutuhan cairan sebesar 10% kebutuhan harian yang dapat dicukupi dengan pemberian cairan intravena. Pemberian ASI yang konsisten dapat membantu mempercepat penurunan kadar bilirubin dan mengatasi rasa haus pada bayi.

d)     Pengaturan Suhu (Temperature Regulation)

Bayi yang sedang dilakukan fototerapi umumnya diletakkan di bawah cahaya dengan jarak kurang lebih 40-60 cm, biasanya bayi cenderung hipertemi karena permukaan tubuh bersingunggan langsung dengan sinar foterapi. Pengukuran suhu hendaknya dilakukan setiap 2 jam untuk memonitor adanya iritas kulit seperti rash dan ruam serta berikan tirai putih disekitar area fototerapi supaya cahaya fototerapi dapat memantul kearah bayi secara merata.

e)     Posisioning (Pressure Management)

Pergantian posisi setiap 2 (dua) jam dapat menghindar terjadinya rash pada bayi, posisi seperti terlentang, miring kanan, miring kiri dan tengkurap diperlukan untuk mengoptimalkan efek fototerapi yang diberikan kepada bayi.

f)      Edukasi

Edukasi tentang kondisi bayi, prosedur tindakan dan alasan pengobatan kepada orang tua bayi dimana pemberian edukasi di awal akan mengurangi tingkat kecemasan pada orang tua dan orang tua mampu untuk berpartisipasi dalam perawatan bayi seperti secara konsisten memberikan ASI setiap 2 jam dan mengganti popok bayi. Dalam pergantian popok dapat ditemukan warna feses bayi berwarna lebih gelap dan berbau khas, efek samping tersebut harus dijelaskan kepada orang tua bahwasannya merupakan hal yang biasa terjadi pada proses fototerapi.

Tata laksana masalah keperawatan hiperbilirubin pada neonatus menjadi hal penting dan krusial bagi perawat. Pengkajian secara regular dan komperhensif, pemberian intervensi dan monitoring selama prosedur dan post perlu dilakukan oleh semua staf medis, keperawatan bahkan orang tua bayi sehingga dapat tercipta pelayanan berpusat pada pasien, komunikatif dan berorientasi kepada pasien safety.

 

 

 

 

 

Referensi                :

1.      Atika, M.V. dan Jaya, P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi dan, Balita. Jakarta : CV. Trans Info Media.

2.      Kozier, B., Glenora E., Berman, A., Snyder, S. J. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Alih bahasa : Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti, Yuyun Yuningsih, dan Ana Lusyana. Jakarta : ECG.

3.      Marmi, S.S. dan Rahardjo, K. 2015. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

4.      Riset Kesehatan Dasar. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Diakses dari http.//labdata.litbang.depkes.go.id pada 09 Desember 2021.

5.      Wijayaningsih, K.S. 2013. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta : Trans Info Media.

6.      World Health Organization. 2015. Neonatal Mortality Rate (Per 1000 Life Birth) (Mortality and Global Health Estimates).