Selasa, 02 Agustus 2022 12:55 WIB

Konsumsi Daging Merah dan Kanker

Responsive image
7044
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K)Onk - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Dalam beberapa dekade terakhir, orang lebih banyak mengkonsumsi daging merah. Jumlah konsumsi daging per orang hampir dua kali lipat antara tahun 1961 dan 2013 dari 23 kilogram hingga 43 kilogram per tahun di seluruh dunia. Konsumsi daging secara umum meningkat sejalan dengan perkembangan ekonomi, seperti yang terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, dimana terjadi peningkatan konsumsi daging sapi per kapita sebesar 12,5 persen dari 2016 (0,417 kg) hingga 2017 (0,469 kg). Hal ini menjadi trend karena asimilasi budaya - gaya hidup Barat yang lebih banyak mengkonsumsi daging merah dan juga karena secara ekonomi masyarakat lebih mampu untuk membeli daging merah

Sementara itu, kanker tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Berdasarkan data dari Badan Internasional untuk Penelitian tentang Kanker (IARC)-GLOBOCAN di 2018, terdapat 18,1 juta kasus baru dengan 9,6 juta kematian di seluruh dunia Indonesia, ada 348.809 kasus baru kanker dan 207.210 kematian akibat kanker. Penyebab paling sering dari kematian akibat kanker payudara, kanker serviks, kanker paru-paru, kanker kolorektal, dan kanker hati. Pada tahun 2015, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) mengindikasikan bahwa daging merah merupakan kemungkinan penyebab kanker usus besar, sedangkan daging olahan tergolong karsinogenik.

Daging adalah sumber nutrisi yang penting yaitu protein, zat besi, seng, dan vitamin B12, namun kekhawatiran tentang pergeseran dalam pola diet menuju diet tinggi kalori dan protein adalah peningkatan risiko kanker yang ada dibaliknya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa daging merah sebagai penyebab kanker (Grup 2a karsinogen) dan daging olahan sebagai penyebab 'pasti' kanker (kelompok 1 karsinogen). Istilah 'daging merah' termasuk daging sapi, daging sapi muda, babi, domba, dan kambing. Daging olahan mengacu pada daging yang telah melalui pengasinan, pengawetan, fermentasi, pengasapan, atau proses lain yang bertujuan untuk meningkatkan rasa atau meningkatkan daya tahan.

               Saat ini terdapat bukti yang kuat bahwa konsumsi daging merah meningkatkan risiko kanker kolorektal, sementara ada peningkatan risiko yang terbatas tetapi cukup mendukung pada kanker nasofaring, kerongkongan, paru-paru, lambung, dan pankreas. Studi metaanalisis dari Korea menunjukkan 25% peningkatan risiko kanker kolorektal terkait dengan asupan daging merah, dan salah satu yang penting dari metaanalisis ini adalah dosis-respons. Artinya semakin banyak jumlah daging merah yang dikonsumsi maka risiko terkena kanker kolorektal juga semakin tinggi. Penelitian World Cancer Fund menunjukkan peningkatan risiko per 100 gram konsumsi daging merah per hari.

               Meskipun daging merah itu meningkatkan risiko kanker karena kandungan hemenya, metode memasak dan jenis daging yang dimasak akan menghasilkan risiko yang berbeda. Warna merah dalam daging adalah hasil dari konsentrasi tinggi mioglobin, yang berubah menjadi kemerahan (oksimioglobin) bila kontak dengan oksigen. Sebagai komponen mioglobin, besi heme melepaskan besi, pro-oksidan kuat yang dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) dari fosfolipid dan trigliserida, yang memainkan peran penting dalam kanker. Besi heme adalah 10 kali lipat konsentrasi lebih tinggi dalam daging merah daripada daging putih. Tingkat ROS yang rendah dapat bermanfaat, tetapi akumulasi yang berlebihan dapat mempromosikan kanker dengan memodulasi berbagai jalur pensinyalan (terutama dimediasi) melalui faktor transkripsi NF-êB dan STAT3, faktor-1a yang dapat diinduksi hipoksia, kinase, faktor pertumbuhan, sitokin dan protein lainnya, dan enzim terkait dengan seluler transformasi, peradangan, dan proliferasi sel.

               Ketika lemak atau daging terkena api, polisiklik aromatic hidrokarbon (PAH) terbentuk dan menetes ke bara panas arang, kayu, atau bahan lain, terbakar dan asapnya menempel ke permukaan daging. Bahan bakar yang digunakan dalam proses barbeque juga berkontribusi ke konsentrasi PAH. Kadar PAH tertinggi ditemukan dalam arang dan kayu dibandingkan dengan dalam gas atau api listrik. Diketahui sebanyak 17 senyawa PAH yang genotoksik/mutagenik dan merupakan yang paling banyak dipelajari saat ini dalam hubungannya dengan proses karsinogenesis.

               Jalur lain yang terkait dengan kanker adalah mengkonsumsi daging pada jumlah yang tinggi telah terbukti untuk meningkatkan penambahan berat badan karena energinya yang tinggi kepadatan dan/atau kandungan lemak, yang berkorelasi untuk peningkatan prevalensi obesitas. Ada bukti kuat bahwa kelebihan berat badan atau obesitas sepanjang masa dewasa meningkatkan risiko berbagai kanker, seperti kolorektal, hati, kanker prostat, perut, dan pankreas.

 

 

 

 

Referensi :

Boskovic, Marija. 2016. Association between red meat consumption and cancer risk. Serbia: University of Belgrade.

Nathania, Maggie. 2019. Cancer risk and barbeque trend in Indonesia: efforts to reduce cancer in burden. Jakarta: Departement of Nutrition, faculty of medicine University Indonesia.

Santarelli, Raphaelle. 2008. Processed meat and colorectal cancer: a review of epidemiologic and experimental evidence. Paris: Universite de Toulouise.

Kassier, SM. 2016. Colon cancer and the consumption of red and processed meat: an association that is medium, rare or well done?.  South Africa: Dietetics Human Nutrition, University of KwaZulu-Natal.

Mosby, Terezie. 2012. Nutriton in adult and childhood cancer: role of carcinogens and anti-carcinogens. Germany: Institute of toxicology, University medical centre.

Gloria, Angelica M. 2016. Diet and cancer: the case of red and processed meat. Mexico.

Boldo, Elena. 2018. Meat intake, methods and degrees of cooking and breast cancer risk in the MCC-spain study. Spain: cancer and environmental Epidemiologi Unit.