Selasa, 02 Agustus 2022 12:45 WIB

Bagaimana Penggunaan Garam Beryodium yang Baik?

Responsive image
7470
Dr.dr. I Wayan Sudarsa, Sp.B (K)Onk - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Yodium adalah nutrien esensial yang digunakan dalam produksi hormon tiroid. Hormon tiroid berfungsi dalam meregulasi metabolisme dengan mengendalikan produksi energi dan penggunaan oksigen pada tingkat seluler. Sintesis hormon tiroid membutuhkan kelenjar tiroid yang berfungsi dengan baik dan asupan yodium yang cukup. Gangguan yang berhubungan dengan hormon tiroid, baik dalam bentuk kelebihan (hiper-) atau kekurangan (hipo-) dapat dikaitkan dengan konsumsi yodium seseorang. Menurut WHO, kebutuhan yodium sehari-sehari bagi seorang dewasa adalah 150 μg.

Konsumsi yodium erat hubungannya dengan kesehatan tubuh. Di daerah dengan diet yang kandungan yodiumnya rendah, berisiko mengalami defisiensi yang menyebabkan suatu kondisi yang disebut sebagai hipotiroid, atau kurangnya kadar hormon tiroid. Tanda-tanda umum dari hipotiroid berupa rasa lelah atau lemas, goiter atau gondok, gangguan kognitif (terutama jika terjadi saat usia muda), kenaikan berat badan, dan suhu tubuh yang rendah. Defisiensi yodium merupakan masalah kesehatan di 130 negara dan mempengaruhi sekitar 13% dari populasi dunia. Pada anak kecil, defisiensi yodium umumnya menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan mental. Beberapa studi menemukan bahwa hasil uji intelligence quotient (IQ) anak-anak yang tinggal di daerah defisiensi yodium 6-12 poin lebih rendah dibandingkan yang tinggal di daerah yang konsumi yodiumnya cukup. Perkembangan badan anak juga terganggu, umumnya mengalami pertumbuhan badan yang terhambat. Kondisi ini disebut sebagai kretinisme, dan sudah dikenal sejak abad ke-16.

Defisiensi yodium pada anak tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi saat usia muda, namun konsumsi yodium oleh ibu saat mengandung juga berpengaruh terhadap risiko anak mengalami defisiensi. Defisiensi yodium pada ibu hamil dihubungkan dengan kejadian abortus, keguguran, kelainan kongenital, dan kematian janin. Beberapa studi pada hewan menemukan bahwa kadar hormon tiroid yang rendah saat awal kehamilan menghambat perkembangan neuron di korteks dan hipokampus yang menyebabkan gangguan perkembangan mental pada bayi.

Defisiensi yodium dapat dicegah dengan mengkonsumsi berbagai sumber makanan yang kaya yodium. Salah satu bentuk upaya untuk mencukupi kebutuhan tersebut adalah garam beryodium. Garam beryodium merupakan garam yang sudah difortifikasi atau ditambahkan mineral yodium. Keuntungan dari penggunaan garam meja adalah konsumsinya yang relatif tinggi dan sangat luas, produksi yang cukup mudah dan mudah diregulasi, dan rasa dari garam tidak dipengaruhi oleh proses fortifikasi. Tingkat fortifikasi yang digunakan berkisar antara 30 hingga 200 ppm, yang menyediakan jumlah yodium yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, 150 hingga 200 mg per hari. Penyediaan garam beryodium seringkali diterapkan dalam kebijakan pemerintah, untuk mencegah terjadinya defisiensi secara nasional. Di Indonesia sendiri, kebijakan mengenai pengadaan garam beryodium diatur dalam Keppres No. 69 tahun 1994.

Penyediaan garam beryodium untuk mencegah defisiensi sudah diterapkan di Indonesia. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan persentase cakupan garam cukup yodium di Jawa Tengah sebesar 58,6%. Pada skala nasional, hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2013 menunjukkan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium 62,3% dan 77,1%. Hasil ini masih di bawah target Universal Salt Iodization (USI), yaitu lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium sesuai SNI. Di Bali sendiri, gambaran rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium di Kabupaten Tabanan menurut hasil Pemantauan Status Gizi pada tahun 2016 sebesar 32,9% dan pada tahun 2017 sebesar 37,5 %, menduduki peringkat terendah di Propinsi Bali.

 Kadar yodium pada garam beryodium dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kandungan yodium dapat hilang akibat proses oksidasi dan sublimasi yang dipengaruhi suhu tinggi dan tingkat kelembapan ruangan. Yodium yang hilang dalam proses tersebut sangat berpengaruh terhadap asupan sehari-hari yang cukup untuk mencegah defisiensi dan gangguan kesehatan yang disebabkannya. WHO merekomendasikan untuk menambahkan garam meja setelah memasak makanan untuk meminimalisir kehilangan yodium akibat suhu tinggi. Beberapa penelitian juga merekomendasikan hal tersebut. Sebuah penelitian pada tahun 2002 menemukan bahwa 60% kandungan yodium dalam makanan hilang saat proses pemasakan.

Penggunaan garam beryodium dengan benar masih belum diterapkan secara luas. Sebuah penelitian di Ethiopia pada tahun 2020 menemukan bahwa hanya sekitar 48% dari responden menggunakan garam meja sesuai rekomendasi, yaitu setelah proses memasak, untuk mencegah hilangnya kadar yodium. Metode memasak yang berbeda juga berpengaruh pada kadar yodium di garam meja. Sebuah penelitian pada tahun 2013 menemukan bahwa proses merebus menyebabkan jumlah yodium hilang lebih tinggi dibandingkan proses menggoreng atau memanggang. Diperkirakan hal ini terjadi akibat waktu memasak yang jauh lebih lama pada saat merebus, serta jumlah air yang banyak yang digunakan saat merebus. Penggunaan bahan masak lain seperti bawang putih, cabai, dan lada juga diperkirakan menyebabkan terjadinya kehilangan yodium dalam makanan. Penggunaan garam meja yang benar dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari lingkungan tempat tinggal, tingkat edukasi, serta kondisi ekonomi.

Proses penyimpanan juga berpengaruh pada kadar yodium pada garam meja. Penyimpanan yang optimal dilakukan di tempat yang kering, suhu ruangan, dan jauh dari sinar matahari. Kehilangan yodium terjadi dalam tingkat yang lebih cepat apabila disimpan dalam ruangan dengan suhu tinggi, serta kelembapan rendah maupun tinggi. Sebuah penelitian di Ethiopia juga menemukan bahwa garam meja yang dijual di pasar terbuka lebih rentan mengalami kehilangan kadar yodium, akibat dari proses sublimasi yang terjadi lebih cepat, dibandingkan garam meja yang dijual dalam bungkus tertutup.

Terdapat jenis makanan atau zat yang menganggu produksi hormon tiroid. Golongan ini umumnya disebut sebagai goitrogen. Goitrogen akan mengganggu proses produksi hormon tiroid yang menyebabkan terjadinya hipotiroidisme dan gejala klinis, yang umumnya berupa pembesaran kelenjar tiroid yang disebut goiter atau gondok. Goitrogen dapat dibagi menjadi cyanogenic, dan yang mengandung flavonoid. Mekanisme goitrogen dalam terjadinya hipotiroidisme dan gondok berbeda-beda tergantung dari jenis goitrogen. Salah satu makanan cyanogenik yang sering dikonsumsi berupa singkong, jagung, dan ubi. Singkong merupakan makanan cyanogenik dengan kandungan cyanogen yang relatif tinggi. Contoh makanan dan minuman yang mengandung flavonoid dalam jumlah tinggi termasuk bawang, kacang kedelai, dan anggur merah. Untuk mengatasi efek makanan-makanan goitrogen, dianjurkan untuk melakukan konsumsi yang seimbang makanan yang tinggi yodium dan goitrogen. Upaya ini dapat didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penyediaan makanan seimbang bagi masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa garam beryodium merupakan salah satu bentuk pencegahan defisiensi yodium yang mudah diterapkan. Namun perlu diperhatikan penggunaannya untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari garam beryodium. Penggunaan yang dianjurkan yaitu untuk menambahkan garam meja beryodium setelah memasak untuk mencegah kehilangan akibat suhu panas, serta menyimpan dalam ruangan tertutup, suhu ruangan, dan jauh dari sinar matahari. Perlu juga diperhatikan konsumsi seimbang makanan-makanan beryodium dan bahan-bahan yang mengganggu produksi tiroid seperti singkong. Dengan penggunaan yang benar dan konsumsi yang baik diharapkan dapat mencegah terjadinya defisiensi yodium.

 

Referensi :

Al-Dakheel, M. H. et al. (2018) ‘Assessment of household use of iodized salt and adequacy of salt iodization: A cross-sectional National Study in Saudi Arabia’, Nutrition Journal, 17(1), pp. 1–7. doi: 10.1186/s12937-018-0343-0.

Biber, F. Z., Ünak, P. and Yurt, F. (2002) ‘Stability of iodine content in iodized salt’, Isotopes in Environmental and Health Studies, 38(2), pp. 87–93. doi: 10.1080/10256010208033316.

Chandra, A. K. (2010) Goitrogen in food: Cyanogenic and flavonoids containing plant foods in the development of goiter. First Edition, Bioactive Foods in Promoting Health. First Edition. Elsevier Inc. doi: 10.1016/B978-0-12-374628-3.00042-6.

Chavasit, V., Malaivongse, P. and Judprasong, K. (2002) ‘Study on stability of iodine in iodated salt by use of different cooking model conditions’, Journal of Food Composition and Analysis, 15(3), pp. 265–276. doi: 10.1006/jfca.2002.1054.

Gemede, H. F., Tamiru, B. and Fite, M. B. (2021) ‘Knowledge , Practice , and Availability of Iodized Salt and Associated Factors in Jibat Woreda , West Shoa Zone , Ethiopia’, 2021.

Hartini, D., Sartono, A. and Mufnaetty (2019) ‘Kualitas dan Cara Pengelolaan Garam Iodium Keluarga’, Jurnal Gizi, 8(1), pp. 18–27.

Pearce, E. N. (2014) ‘Iodine deficiency in children’, Endocrine Development, 26, pp. 130–138. doi: 10.1159/000363160.

Rana, R. and Raghuvanshi, R. S. (2013) ‘Effect of different cooking methods on iodine losses’, Journal of Food Science and Technology, 50(6), pp. 1212–1216. doi: 10.1007/s13197-011-0436-7.

Ristic-Medic, D. and Glibetic, M. (2015) Iodine: Physiology. 1st edn, Encyclopedia of Food and Health. 1st edn. Elsevier Ltd. doi: 10.1016/B978-0-12-384947-2.00398-6.

Tariku, W. B. and Mazengia, A. L. (2019) ‘Knowledge and Utilization of Iodized Salt and Its Associated Factors at Household Level in Mecha District, Northwest Ethiopia’, Journal of Nutrition and Metabolism, 2019. doi: 10.1155/2019/9763830.

Zimmermann, M. B. (2018) ‘Efficacy and Safety of Iodine Fortification’, Food Fortification in a Globalized World, pp. 221–230. doi: 10.1016/b978-0-12-802861-2.00022-5.