Selasa, 02 Agustus 2022 10:05 WIB

Acute High Altitude Sickness : sudahkah dipahami dengan baik?

Responsive image
635
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Permintaan akan layanan kesehatan mental di seluruh dunia telah meningkat secara dramatis. Banyak peneliti dan praktisi mencari pengobatan kesehatan mental alternatif, termasuk rekreasi berbasis alam. Salah satu rekreasi yang banyak digemari saat ini adalah mendaki. Perjalanan menjelajahi alam dan menikmati keindahan sekitarnya dari ketinggian saat ini sudah menjadi salah satu pilihan yang banyak dilakoni untuk meringankan penat, terutama oleh para usia remaja hingga dewasa produktif.  Meski demikian, masih belum jelas apakah usia merupakan faktor protektif atau faktor risiko perkembangan acute high altitude sickness atau yang seringkali disebut dengan acute mountain sickness (AMS) pada pelancong. Namun pada beberapa pendaki, terjadi suatu kondisi berupa kumpulan gejala hingga penyakit akut akibat pendakian. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai persiapan untuk mendaki dan bagaimana menyikapi kondisi-kondisi tertentu yang timbul ketika pendaki mencapai ketinggian tertentu. Terlebih lagi dalam beberapa dekade terakhir, jumlah pendaki berusia 60 tahun atau lebih cukup meningkat. Sehingga adanya pemahaman serta pendampingan mengenai proses pendakian, kondisi saat mendaki, dan hal-hal yang dapat terjadi pada tubuh seseorang ketika berada pada ketinggian haruslah ditingkatkan. Orang yang tidak diaklimatisasi atau beradaptasi sebelumnya dan naik dengan cepat ke tempat yang tinggi berisiko mengalami penyakit yang melemahkan bahkan berpotensi mematikan.

Umumnya, 2500 m adalah ambang terjadinya penyakit akut dataran tinggi. Para pendaki harus wasapda ketika mulai timbul beberapa gejala yang tentunya memengaruhi performa mereka saat pendakian. Sakit kepala adalah gejala utama dari penyakit akut pada dataran tinggi dan biasanya disertai dengan hilangnya nafsu makan, mual, pusing, lemah, gangguan tidur, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Walaupun tentu saja terdapat kondisi lain yang juga dengan gejala serupa, seperti dehidrasi. Oleh sebab itu pada kondisi dengan gejala yang lebih serius, diperlukan pendampingan serta perawatan lebih rinci oleh dokter, sehingga tidak terjadi penegakan diagnosis serta penanganan yang salah. Salah satunya adalah dengan menegakkan diagnosis menggunakan beberapa kriteria penilaian seperti Acute Mountain Sickness (AMS) Clinical Score yang mencakup beberapa gejala yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu sakit kepala, gejala saluran cerna, lemah, dan pusing.

Tidak semua pendaki memiliki risiko yang sama untuk timbulnya penyakit akut akibat ketinggian. Risiko rendah, yaitu apabila pendakian yang dilakukan berupa pendakian lambat (≤500 m/hari di atas 2500 m); tidak ada riwayat penyakit serupa sebelumnya dengan paparan ketinggian yang sama; pendakian cepat (>500 m/hari di atas 2500 m) untuk orang yang telah melakukan adaptasi sebelumnya (paparan pada ketinggian <3000 m pada minggu-minggu sebelumnya). Risiko sedang, apabila terdapat riwayat penyakit akut akibat ketinggian yang tidak diketahui sebelumnya, pendakian cepat (>500 m/hari di atas 3000 m). Risiko tinggi, pendakian sangat cepat (cukup >500 m/hari), dan ketinggian akhir yang cukup tinggi (>4000 m), dan adanya riwayat penyakit akut akibat berada di ketinggian yang tidak diketahui.

Lantas, bagaimana pencegahannya? Ada berbagai hal yang dapat dilakukan sebagai pencegahan terjadinya penyakit akut ketika berada di ketinggian. Pencegahan itu sendiri bervariasi, dimulai dari beradaptasi dengan tinggal beberapa hari di ketinggian menengah pada atau di atas 2000 m, hiking atau panjat tebing pada wisata harian di atas 3000 m, atapun keduanya. Laju pendakian dipertahankan pada 300–500 m/hari di atas 2500–3000 m, dengan istirahat setiap 3-4 hari; pengobatan yang tepat untuk gejala awal segera mungkin. Beberapa sumber menjelaskan adanya peran beberapa obat-obatan yang dapat dikonsumsi sebagai pencegahan timbulnya penyakit akut saat berada di ketinggian. Namun tentu perlu dikonsultasikan terlbih dahulu dengan dokter yang dipercaya.

Penyakit gunung akut dapat diobati dengan istirahat maksimal dan konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid untuk sakit kepala, tetapi pada kondisi yang lebih parah disertai penurunan kesadaran atau saturasi oksigen, maka perawatan lebih lanjut sangat diindikasikan dengan menghubungi tenaga kesehatan.

 

Referensi :

Lackey NQ, Tysor DA, McNay GD, et al. Mental Health Benefits of Nature Based Recreation: a systematic review. Annals of leisure research. 2019.

Gianfredi V, Albano L, Basnyat B, et al. Does age have an impact on acute mountain sickness? A systematic review. Journal of Travel Medicine. 2020; 1-8.

Bartsch P, Swenson ER. Acute High-Altitude Illnesses. The New England Journal of Medicine. June 2013; 368-24.

Roach RC, Hackett PH, Oelz O, et al. The 2018 Lake Louise Acute Mountain Sickness Score. High Altitude Medicine and Biology. 2018; vol (00).

Burns P, Lipman GS, Warner K, et al. Altitude Sickness Prevention with Ibuprofen Relative to Acetazolamide. The American Journal of Medicine. 2018.