Selasa, 02 Agustus 2022 10:00 WIB

Upaya Pencegahan Delirium

Responsive image
5005
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Delirium atau nama lainnya acute confusional state adalah adalah kondisi penurunan kesadaran yang bersifat akut dan fluktuatif.1 Pengidap mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Gangguan delirium ini sering terjadi pada pasien lanjut usia.1 1 Delirium disebabkan berbagai kelainan proses di otak akibat inflamasi, penuaan, stres oksidatif, ketidakseimbangan neurotransmiter, gangguan endokrin, dan gangguan tidur. Proses-proses tersebut dapat dicetuskan oleh infeksi, kelainan metabolik, obat antikolinergik, zat psikoaktif, alkohol, dan lain-lain. 2,3 

Penyebab delirium menurut salah satu teori adalah terdapatnya defisiensi neurotansmiter asetilkolin serta dopaminergik. Pada geriatri terdapat defisiensi relatif asetilkolin hasil metabolisme oksidatif otak sehingga terjadi disfungsi mental. Neurotransmiter asetilkolin berperanan sangat penting dalam awareness. Dopamin adalah neurotransmiter yang sangat penting bagi fungsi motorik, perhatian, serta kognisi.3 1Kelompok lanjut usia (lansia) adalah kelompok yang rentan mengalami delirium. Gangguan ini juga sering terjadi setelah penyakit akut, operasi, atau rawat inap. Prevalensi delirium pada pasien rawat inap adalah 110–40%.4 Riwayat gangguan struktur otak atau psikiatri juga menjadi risiko delirium.5 Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, diantaranya adalah pemanjangan masa perawatan di RS, hingga beresiko kematian. 1Delirium biasanya berhubungan dengan rawat inap yang lebih panjang, kejadian komplikasi, peningkatan biaya, disabilitas jangka panjang, dan peningkatan mortalitas.Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya. Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatan secara tepat perlu dilakukan. 

Penatalaksanaan pasien geriatri perlu dilakukan secara paripurna yang dikenal sebagai comprehensive geriatric assessment secara bersama dalam tim medis interdisipliner dengan partisipasi keluarga sehingga pasien berusia lanjut memiliki derajat kesehatan optimal dan kemampuan fungsional tertinggi.6 Berbagai penelitian menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium sering tuntas, 196% pasien yang dirawat karena delirium pulang dengan gejala sisa. Hanya 120% dari kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam enam bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi dari pada yang diduga sebelumnya. Dilaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya mengalami delirium pada saat sedang dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan suasana/situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium.7 Beberapa obat juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efek antikolinergik dan gangguan faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain benzodiazepine, kodein, amitriptilin (antidepresan), difenhidramin, ranitidine, tioridazin, digoksin, amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin. Beberapa tindakan sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit terbukti cukup efektif mampu mencegah delirium.     

Beberapa tindakan yang terbukti dapat mencegah delirium yaitu Reorientasi dan aktivitas terapeutik, Mobilisasi dini, Memperbaiki siklus dan kualitas tidur, Asupan nutrisi dan cairan yang cukup, Mengatasi gangguan penglihatan dan pendengaran, Mencegah infeksi, Mengatasi rasa nyeri, Protokol hipoksia (memantau saturasi oksigen), Protokol pengobatan psikoaktif (meninjau kembali jumlah obat yang dikonsumsi dan jenisnya).8 Pencegahan delirium dapat dilakukan dengan menghindari berbagai faktor risiko yang meningkatkan risiko delirium.9 Orang berusia lanjut (di atas 60 tahun) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami delirium.Hindari penggunaan obat yang meningkatkan risiko deliritum, seperti ranitidin, digoksin, ciprofloxacin, kodein, amitriptilin (antidepresan), benzodiazepine.9 1Selain itu, beberapa latihan dapat dilakukan untuk menghindari delirium,seperti latihan rentang gerak, stimulasi pengihatan & pendengaran, latih kemampuan kognitif, dan selalu orientasikan pasien atau keluarga yang sakit terhadap orang, tempat, dan waktu.9

         

 

 

 

Referensi :

S. K. Inouye, R. G. J. Westendorp, J. S. Saczynski, Lancet, 2014, 383 (9920) 911-922. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4120864/

K. Alagiakrishnan, Delirium, , 2017.

American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorder, Washington, 5th ed., 2013. American Psychiatric Association.

European Delirium Association, American Delirium Society, BioMed Central, 2014, 12 (141) 1-4. http://www.biomedcentral.com/1741-7015/12/141

J. R. Maldonado, Am J. Geriatr Psychiatry, 2013, 21 (12) 1190-1222. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24206937

J. Francis, G. B. Young, Diagnosis of delirium and confusional states. , 2014

S. Esther, G. Tamara, Fong, T. T. Hshieh, S. H. Inouye, JAMA, 2017, 318 (12) 1161-1171. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28973626

I. J. Zaal, A. J. C. Slooter, Drugs, 2012, 72 (11) 1457-1471. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22804788

National Institute for Health and Care Excellence, Delirium: prevention, diagnosis, and management, https://www.nice.org.uk/guidance/cg103/resources/delirium-prevention-diagnosis-and-management-pdf-35109327290821, 2010