Kamis, 28 Juli 2022 10:27 WIB

Adaptasi Caregiver Pada Pasien Post Stroke

Responsive image
1121
Dian Putri Retnosari, A.Md. OT - RS Jiwa Prof.Dr.Soeroyo Magelang

Stroke merupakan masalah utama kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Stroke menjadi penyebab kematian kedua terbanyak dan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Beberapa faktor penyebab stroke antara lain usia, tekanan darah, diabetes mellitus, merokok dan penyakit kardiovaskular (Zeevi, N., et.al., 2007).

Penderita stroke mengalami penurunan secara fisik maupun psikologis, seperti keterbatasan dalam bergerak, berkomunikasi, dan berpikir (Hasan & Rufaidah, 2013). Hal ini disebabkan oleh hemiplegia atau kelumpuhan yang membuat penderita tidak bisa menggerakan anggota tubuh yang terkena stroke, serta mengalami penurunan kemampuan untuk mengkoordinasikan gerakan tubuh. Selain itu sebagian penderita stroke mengalami afasia atau kesulitan dalam memproses atau memproduksi bahasa, sehingga mengalami hambatan dalam berbahasa. Segala keterbatasan yang dialami oleh penderita stroke menyebabkan munculnya respon psikologis seperti kurangnya penerimaan diri, depresi, serta kecemasan (Sumbogo, Sulisno, & Darwati, 2015).

Dampak dari stroke tidak hanya dialami oleh individu itu sendiri namun juga dialami oleh keluarga yang merawatnya (family caregiver) (Ostwald SK, Godwin KM, Cron SG; 2009). Caregiver merupakan orang-orang yang membantu aktivitas sehari-hari individu yang membutuhkan bantuan perawatan seperti orang sakit maupun anak-anak. Caregiver bisa mencakup keluarga, orang-orang terdekat yang membantu penderita sakit dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya (APA, 2015). 

Hal yang dapat dirasakan oleh caregiver diantaranya merasa terbebani dengan pemberian perawatan jangka panjang. Namun dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien karena memiliki pengaruh positif terhadap perawatan dan kesehatan pasien. Dukungan sosial dapat membantu pasien untuk mengatasi stress yang berhubungan dengan penyakit dan pengobatannya (Kane, C. F, 2003).

Keluarga yang berperan sebagai caregiver hendaknya mampu menjaga keseimbangan fungsi perannya dan beradaptasi terhadap perubahan peran. Adaptasi yang perlu dilakukan oleh keluarga sebagai caregiver hendaknya secara menyeluruh (holistic) dilakukan meliputi adaptasi biologis, adaptasi psikologis, adaptasi sosial dan adaptasi spiritual (Lutfah, 2018).

ADAPTASI BIOLOGIS

Individu yang mengalami stroke membutuhkan perawatan mandiri yang cukup lama, dimana rata-rata family caregiver merawat pasien stroke 5-9 jam per hari. Hal ini menyebabkan caregiver kelelahan secara fisik, mengalami gangguan tidur karena sering terbangun disaat pasien membutuhkan bantuan, dan merasa pusing karena mengalami gangguan pola tidur. Ketergantungan lansia pada caregiver mengakibatkan bertambahnya tugas dan rutinitas yang harus dilakukan sehingga memicu respon fisik kelelahan. Dari hal tersebut, caregiver perlu memperhatikan kondisi diri dengan konsumsi nutrisi yang baik, tidur yang cukup, dan menjaga pola hidup yang sehat.

“capek mbak, bapak kan kalau malam sering bangun, tidurnya nggak nyenyak, jadi saya juga ikut bangun, kadang tensi juga jadi naik, tadi pagi ditensi malah lebih tinggi punya saya daripada tensinya bapak... nek gitu ya paling makan makanan yang buat nurunin tensi, masak yang enggak aneh-aneh, kan bapak nggak boleh makan yang asin, gorengan, harus dijaga makannya, jadi ya sekalian buat saya juga jaga-jaga biar nggak ikut sakit.” Cerita dari caregiver Ny. S (45 th), salah satu caregiver yang suaminya menjalani program rehabilitasi/terapi di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang.

ADAPTASI PSIKOLOGIS

Bukan suatu hal yang mudah dalam menjadi caregiver, selain kelelahan secara fisik atau biologis, kelelahan secara psikologis juga sering dirasakan. Beberapa caregiver mengalami kecemasan dan depresi dalam merawat penderita stroke pada 12 bulan pertama pasca stroke, beban ini tidak hanya berkaitan dengan melaksanakan tugas (misalnya memberi bantuan fisik) dan lamanya waktu perawatan dimana rata-rata family caregiver merawat pasien stroke 5-9 jam per hari, tapi juga berkaitan dengan menjaga perasaan, sikap dan persepsi pasien terhadap perawatan yang diberikan. Caregiver hendaknya meningkatkan pemahaman dan persepsinya bahwa merawat pasien pasca stroke membutuhkan waktu yang lama, sehingga mampu beradaptasi psikologis secara positif dengan menerima hal tersebut. Selain itu, caregiver perlu menyisihkan sebagian waktunya untuk istirahat secara psikologis dengan cara seperti tetap melakukan kegiatan yang menjadi hobi sehingga kelelahan psikologi dapat diminimalisir.

“kalau sekarang dibuat santai aja. Ini kan bapak itu stroke yang kedua, jadi udah paham. Kalau dulu awal ya pusing, stres juga, tapi ya dijalani. Saya mikirnya nek saya stres nanti bapak akan ngerasa lebih stres.” Cerita dari caregiver Ny. T (62 th), salah satu caregiver yang suaminya menjalani program rehabilitasi/terapi di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang.

ADAPTASI SOSIAL

Adaptasi sosial yang dialami caregiver berupa perubahan peran di dalam keluarga dan di masyarakat. Perubahan peran di dalam keluarga berkaitan dengan peran mencari nafkah dan pengambilan keputusan. Caregiver harus membagi waktu untuk bekerja dan merawat pasien stroke, hal ini berdampak kepada turunnya pendapatan bahkan sampai kehilangan pekerjaan.

“sekarang ya saya yang kerja, kalau terapi kan biasanya siang, kalau pagi saya kerja dulu jadi siangnya baru bisa antar terapi.” Cerita dari caregiver Ny. A (54 th), salah satu caregiver yang suaminya menjalani program rehabilitasi/terapi di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang.

ADAPTASI SPIRITUAL

Respon spiritual pada caregiver sering diwujudkan dalam berdoa.

“ya usaha, ya doa, semuanya. Ini kan bapak pengennya bisa jalan sebelum bulan puasa, jadi bisa jalan ke masjid ikut sholat jamaah. Ya saya semangati, dirumah saya bantu latihan sama anak, doa terus juga.” Cerita dari caregiver Ny. S (45 th), salah satu caregiver yang suaminya menjalani program rehabilitasi/terapi di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang.

 

 

 

Referensi :

Luthfa, I. (2018). Peran keluarga merawat lansia pasca stroke. Proceeding Unissula Nursing Conference. Semarang: Unissula Press.

Sitorus, R., & Herawati, T. (2013). Komunikasi dan depresi pasien afasia motorik. Jurnal Keperawatan Padjajaran, 1, 131–143.

Sumbogo, A., Sulisno, M., & Darwati, L.E. (2015). Gambaran respons psikologis penderita stroke. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 5(1), 29-37.

Ostwald SK, Godwin KM, Cron SG. (2009). Predictors of life satisfaction in stroke survivors and spousal caregivers twelve to twenty-four months post discharge from inpatient rehabilitation. Rehabil Nurs, 34(4):160–174.

Zeevi, N., Chhabra, J., Silverman, I., Lee, N., & McCullough, L. (2007). Acute stroke management in the elderly. Cerebrovascular Diseases (Basel, Switzerland), 23(4), 304-308.