Senin, 25 Juli 2022 12:56 WIB

Mengenal Hipomania

Responsive image
6513
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Hipomania (hypomania) adalah peningkatan kondisi mental dan energi yang melebihi kondisi normal. Peningkatan kondisi psikologis dan energi ini dapat memengaruhi mood, pikiran, dan perilaku seseorang. Hipomania juga dikaitkan dengan gejala gangguan bipolar, terutama bipolar tipe 2. Hipomania merupakan kondisi yang berbeda dengan mania. Kondisi mania merujuk pada gangguan yang membuat energi dan mood seseorang meningkat secara ekstrem dan dapat bersifat parah. Hipomania menjadi kondisi yang lebih ringan dibanding mania, namun tetap berada di batas normal. Saat seseorang mengalami hipomania, individu lain di dekatnya akan bisa mendeteksi perilaku mania yang tidak normal tersebut. Penderita hipomania cenderung menunjukkan perilaku ceria, sangat bersemangat, dan hanya membutuhkan sedikit waktu tidur. Namun, kondisi tersebut justru dapat mengganggu penderita dalam menilai atau mengambil keputusan. Hipomania atau hypomania mungkin terlihat seperti perasaan bahagia yang normal. Meski begitu, kondisi ini bisa menjadi tanda dari gangguan bipolar atau gangguan mental lain.Pada beberapa kasus, hipomania yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi mania atau depresi berat.

Penyebab Hipomania

Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan hipomania. Namun, ada beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko kemunculan hipomania, yaitu :

  • Gangguan pada senyawa kimia otak (neurotransmitter).
  • Kejadian tertentu dalam kehidupan, seperti perceraian atau kematian orang yang dicintai.
  • Masalah dalam kehidupan, misalnya mengalami trauma psikologis, pelecehan, masalah finansial, atau kesepian.
  • Tingkat stres yang tinggi dan ketidakmampuan dalam mengelolanya.
  • Efek samping obat-obatan (seperti antidepresan, antiepilepsi, digoxin, atau obat interferon).
  • Efek samping alkohol dan narkoba.
  • Kurang tidur atau perubahan pada pola tidur.
  • Gangguan kesehatan mental, seperti siklotimia, gangguan afektif musiman, postpartum psychosis (gejala psikosis setelah melahirkan), atau gangguan skizoafektif (kombinasi skizofrenia dan gangguan mood).
  • Gangguan kesehatan lain, misalnya cedera otak, tumor otak, stroke, lupus, ensefalitis (radang otak), atau demensia.

Gejala Hipomania

Pada kebanyakan kasus, penderita tidak menyadari bahwa dirinya mengalami hipomania. Kondisi ini biasanya lebih disadari oleh keluarga atau teman dekat penderita.

Gejala hipomania umumnya sama seperti mania. Namun, intensitas gejalanya lebih ringan. Oleh sebab itu, hipomania tidak sampai mengganggu pekerjaan, sekolah, atau kehidupan sosial penderita.

Gejala hipomania biasanya berlangsung selama beberapa hari atau setidaknya selama 4 hari. Masing-masing penderita hipomania dapat mengalami gejala yang berbeda-beda.

Berikut ini adalah beberapa gejala atau perilaku yang bisa dialami oleh penderita hipomania :

  •     Merasa sangat bertenaga dan bersemangat.
  •     Banyak berbicara dibanding biasanya.
  •     Melakukan aktivitas yang di luar kebiasaan.
  •     Mengambil keputusan yang lebih berisiko.
  •     Merasa senang secara berlebihan.
  •     Memiliki pemikiran yang bercabang.
  •     Memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
  •     Melakukan tindakan dan gerakan yang tanpa tujuan.
  •    Menunjukkan perilaku impulsif, seperti berbelanja dengan gegabah dan berinvestasi secara sembarangan.
  •     Memiliki hasrat seksual yang tinggi.

Setelah fase hipomania mereda, penderita dapat mengalami beberapa kondisi berikut :

  •  Malu dan tidak senang bila menyadari perilakunya di fase hipomania.
  •  Merasa terbebani dengan komitmen dan tanggung jawab yang diembannya.
  •  Hanya sedikit atau malah sama sekali tidak mengingat dengan jelas apa yang terjadi saat berada dalam fase hipomania.
  •  Merasa sangat lelah dan perlu banyak tidur.
  •  Tertekan atau depresi.

Pemeriksaan Hipomania

Dokter akan mengawali diagnosis dengan melakukan sesi tanya jawab mengenai riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, serta obat dan suplemen yang sedang dikonsumsi pasien.

Setelah itu, pasien akan menjalani pemeriksaan fisik dan tes darah. Tes tersebut dapat membantu dokter membedakan gejala hipomania dengan kondisi lain, seperti hipertiroidisme.

Jika pasien terkonfirmasi menderita hipomania, dokter akan merujuk pasien ke psikiater. Selanjutnya, psikiater akan melakukan pemeriksaan kejiwaan untuk mendiagnosis hipomania.

Pengobatan Hipomania

Hipomania dapat diatasi dengan psikoterapi, pemberian obat-obatan (antipsikotik dan mood stabilizers), serta perubahan gaya hidup. Berikut adalah penjelasannya :

Psikoterapi

Psikoterapi bertujuan untuk membantu pasien mengidentifikasi gejala dan pemicu hipomania, serta mempelajari cara untuk mengatasi atau meredakan efek akibat kondisi ini.

Obat-obatan

Jenis obat-obatan yang dapat diresepkan oleh dokter untuk menangani hipomania adalah obat antipsikotik. Selain obat tersebut, dokter juga dapat meresepkan obat yang dapat menstabilkan mood.

Perubahan Gaya Hidup

Pada hipomania yang tergolong ringan, dokter akan menyarankan pasien untuk fokus mengubah gaya hidup, misalnya dengan :

  • Menerapkan pola tidur yang teratur dengan waktu yang cukup (6-9 jam).
  • Menghindari faktor pemicu, seperti lingkungan yang bising dan ramai, atau konsumsi kopi, teh, soda, dan gula.
  • Mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi seimbang.
  • Berolahraga rutin minimal 30 menit setiap hari.
  • Menghindari konsumsi minuman beralkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang.
  • Menerapkan kebiasaan yang membuat Anda rileks, seperti yoga, meditasi, atau mendengarkan musik.
  • Mengonsumsi obat sesuai aturan pakai dan anjuran dari dokter.

Selain langkah-langkah di atas, pasien juga dapat bergabung dengan kelompok penderita hipomania (support system group). Tujuannya adalah agar pasien bisa saling memberi dukungan dan berbagi pengalaman dengan penderita hipomania yang lain.

Pencegahan Hipomania

Hipomania tidak selalu dapat dicegah. Namun, Anda dapat melakukan langkah-langkah di bawah ini untuk mengelola gejalanya dan mencegahnya menjadi lebih buruk :

  • Menulis segala aktivitas, suasana hati, dan perilaku setiap hari di buku harian, untuk membantu Anda mengetahui seberapa besar perubahan yang Anda alami.
  • Melakukan perubahan gaya hidup, seperti yang telah dijelaskan di atas.
  • Mempertahankan support system group Anda.
  • Mengonsumsi obat sesuai resep dan berkonsultasi ke dokter secara berkala.

 

 

 

Referensi               :

1.  Seidati Zakiah. 2020. Gangguan Bipolar yang Disertai dengan Hipomania. Jurnal Kesehatan Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Airlangga Surabaya.

2.  Delvi Pardian. 2019 Penerapan Terapi Supportif dengan Tehnik Guidance untuk Meningkatkan Penghayatan Makna Hidup pada Penderita Hipomania  di Cibubur. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul Jakarta.

3.   Sharma, A. 2019. Hypomania : A Clinician’s Perspective. Indian Journal Of Social Psychiatry, 35, Pp. 137-41. 

4.   Wang, Y., et al. 2019. Comparison of The Screening Ability Between The 32-Item Hypomania Checklist (HCL-32) and The Mood Disorder Questionnaire (MDQ) For Bipolar Disorder : A Meta-Analysis And Systematic Review. Psychiatry Research, 273, Pp. 461-466. 

5.      Bhandari, S. Webmd. 2020. What are Hypomania and Mania In Bipolar Disorder? 

6.      Bottaro, A. Verywell Health. 2021. Hypomania Vs. Mania : What are The Differences? 

7.      Davis, C. Medicinenet. 2021. Medical Definition of Hypomania

8.      Mind. 2020. Types of Mental Health Problems. Hypomania and Mania

9.      Pietrangelo, A. Healthline. 2018. What You Should Know About Mania Vs Hypomania.