Minggu, 24 Juli 2022 19:10 WIB

Upaya Menurunkan Stres Kerja melalui Pengembangan Perilaku Asertif Staf

Responsive image
700
Ns. Tri Winarni, S.Kep - RS Jiwa Prof.Dr.Soeroyo Magelang

Sekarang ini tempat kerja kita tampaknya menjadi tempat yang menghadapkan staf pada stres dan tergantung pada kesehatan psikologis staf pada saat ini, reaksi staf terhadap stres dapat bervariasi. Sementara masing-masing dari staf bertanggung jawab atas bagaimana staf bereaksi dalam setiap situasi, staf dapat memainkan peran penting dalam berkomunikasi secara efektif untuk meminimalkan risiko orang lain bereaksi negatif terhadap komentar dan instruksi staf. Salah satu strategi yang akan memiliki efek positif yang besar pada orang lain di tempat kerja adalah bagi staf untuk terus berlatih dan menampilkan gaya komunikasi yang asertif. Asertivitas adalah salah satu keterampilan komunikasi yang efektif. Keterampilan pribadi dan profesional dipengaruhi itu. Dalam banyak kasus, kurangnya Assertiveness menyebabkan stres, kecemasan, produktivitas kurang, kelelahan dan sebagainya.

Asertivitas adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan Anda dan menegaskan hak staf sambil menghormati perasaan dan hak orang lain. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang langsung, terbuka, dan jujur, serta menjelaskan kebutuhan staf kepada orang lain. Menjadi asertif datang secara alami bagi sebagian orang, tetapi itu juga merupakan keterampilan yang dapat dipelajari. Dan ada banyak keuntungan menjadi lebih tegas, membuatnya sepadan dengan usaha.

Ada banyak manfaat dari asertivitas staf. Orang yang asertif cenderung memiliki lebih sedikit konflik dalam berurusan dengan orang lain. Ini berarti lebih sedikit stres dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka mendapatkan kebutuhan mereka terpenuhi (yang sama dengan lebih sedikit frustrasi atas kebutuhan yang tidak terpenuhi) dan membantu orang lain memenuhi kebutuhan mereka juga. Memiliki hubungan yang lebih kuat dan lebih mendukung berarti bahwa, jika Anda pernah terikat, Anda memiliki orang-orang yang dapat Anda andalkan. Ini juga membantu dengan manajemen stres dan bahkan mengarah ke tubuh yang lebih sehat. Studi juga menemukan bahwa ketegasan secara positif terkait dengan harga diri. Dengan kata lain, semakin asertif Anda, semakin baik Anda cenderung memikirkan diri sendiri.

 

Asertivitas versus Agresif

Asertivitas dapat dikacaukan dengan agresivitas, karena kedua jenis perilaku tersebut melibatkan membela hak seseorang dan mengekspresikan kebutuhannya. Perbedaan utama antara kedua gaya ini adalah bahwa staf yang berperilaku asertif mengekspresikan diri mereka dengan cara yang menghormati orang lain. Sebaliknya, staf yang berperilaku agresif cenderung menggunakan taktik yang tidak sopan, manipulatif, merendahkan, atau kasar. Staf sering membuat asumsi negatif tentang motif orang lain dan berpikir dalam istilah pembalasan, atau mereka tidak memikirkan sudut pandang orang lain sama sekali. Agresivitas dapat mengasingkan orang lain dan menciptakan stres yang tidak perlu. Mereka yang menerima perilaku agresif sering merasa diserang dan, sebagai akibatnya, menghindari individu yang agresif. Seiring waktu, orang yang berperilaku agresif dapat memiliki serangkaian hubungan yang gagal dan sedikit dukungan sosial. Mereka tidak selalu mengerti bahwa ini terkait dengan perilaku mereka sendiri. Ironisnya, mereka mungkin merasa seperti korban sendiri.

Asertivitas Dibandingkan dengan Kepasifan

Staf yang pasif adalah kebalikan langsung dari asertif. Mereka tidak tahu bagaimana mengomunikasikan perasaan mereka secara memadai dan cenderung sangat takut akan konflik sehingga mereka tidak mengungkapkan emosi mereka untuk menjaga perdamaian. Mereka membiarkan kebutuhan mereka tidak terpenuhi, sehingga yang lain menang sementara mereka kalah. Perilaku pasif merusak hubungan dalam jangka panjang, terkadang mengubahnya menjadi racun. Dengan menghindari konfrontasi, mudah untuk menjadi semakin marah, jadi ketika staf akhirnya mengatakan sesuatu, itu keluar dengan agresif. Jika staf tetap diam sebagian besar waktu, pihak lain sering kali bahkan tidak tahu ada masalah sampai staf meledak. Hal ini menyebabkan perasaan keras, hubungan yang lebih lemah, dan bahkan lebih kepasifan (untuk menghindari konflik lagi) di masa depan.

Bagaimana Menjadi Lebih Asertif

Langkah pertama untuk menjadi lebih asertif adalah dengan jujur ??melihat diri sendiri dan cara staf berkomunikasi. Jawaban atas pertanyaan berikut dapat membantu staf lebih memahami apakah staf mungkin tidak cukup asertif dalam hubungan staf.

·        Apakah staf kesulitan menerima kritik yang membangun sehingga membuat staf mati rasa dan menutup diri?

·        Apakah staf mendapati diri staf mengatakan ya untuk permintaan yang seharusnya staf katakan tidak, hanya untuk menghindari mengecewakan orang?

·        Apakah staf kesulitan menyuarakan perbedaan pendapat dengan orang lain atau merasa diserang ketika mereka tidak berpikiran sama, sehingga staf biasanya tidak membagikan pendapat staf sama sekali?

·        Apakah gaya komunikasi staf cenderung mengasingkan orang lain ketika staf tidak setuju dengan mereka, misalnya dengan menggunakan perlakuan diam?

·        Jika staf menjawab ya untuk beberapa di antaranya, staf  mungkin mendapat manfaat dari mempelajari beberapa keterampilan asertivitas. Menggunakan pernyataan saya, misalnya, adalah cara untuk membagikan perasaan staf tanpa menyalahkan. Contohnya adalah mengatakan, Saya merasa seperti sedang diserang ketika saya berbagi pendapat dengan staf.

Komunikasi asertif adalah jalan tengah antara gaya komunikasi pasif dan defensif yang didorong oleh ketakutan tersembunyi, ketidakpastian dan agenda tersembunyi. Komunikasi asertif tidak menimbulkan respons ancaman pada orang lain karena didasarkan pada premis penyediaan komunikasi informasi yang transparan. Komunikasi asertif menunjukkan otoritas dan kepercayaan diri. Komunikasi asertif adalah kemampuan untuk mengekspresikan konten positif dan negatif secara konstruktif; Kendaraan yang memungkinkan pengakuan hak staf dengan tetap menghormati hak orang lain; Gaya komunikasi yang tidak pasif atau defensif, tetapi konstruktif dan efektif; Bertanggung jawab atas gaya komunikasi staf sendiri; Perdebatan secara konstruktif untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan; dan Sebuah pilihan. Dengan menerima bahwa dengan memilih untuk berkomunikasi dengan cara yang tegas, staf memberikan contoh bagi orang lain, sehingga secara implisit mengundang orang lain untuk membuat pilihan ini juga.

Perilaku asertif adalah perilaku yang membuat seseorang dapat bertindak demi kebaikan dirinya, mempertahankan haknya tanpa cemas, mengekspresikan perasaan secara nyaman, dan menjalankan haknya tanpa melanggar hak orang lain. Perilaku asertif adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan langsung artinya perasaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkan (Corey, 2009). Perilaku asertif yakni perilaku yang mendukung tingkah laku interpersonal yang secara simultan akan berusaha untuk memenuhi keinginan individu semaksimal mungkin dengan secara bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang lain karena hal itu tidak hanya memberikan penghargaan pada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain. Perilaku asertif dapat mengurangi stress staf saat bekerja

Stres yang terjadi pada staff dapat bersumber dari suatu peristiwa besar atau kecil yang dapat membesar atau dirasakan setelah penumpukan beberapa waktu yang larna dan sering tidak disadari atau dirasakan oleh staff tersebut. Stres pada staff dapat juga disebabkan oleh kegagalan staff dalam melaksanakan pekerjaannya dan hal ini membuat staff merasa tidak memiliki kemampuan dalam bekerja sehingga karyawan menjadi tertekan yang pada akhirnya akan mengalami stres. Apabila stres yang dialami oleh staff terjadi dalam jangka waktu yang lama dan setiap hari kapasitasnya selalu bertambah, maka hal ini dapat mengganggu jalannya pelayanan kepada pasien. Ketidakmampuan staf untuk asertif dapat mendukung terjadinya stress kerja staf.

stres kerja adalah kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses fikiran dan kondisi seseorang dimana subjek terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal, sehingga dapat menimbulkan konsekuensi pada diri subjek seperti absensi meningkat, turunnya produktivitas kerja, sering meninggalkan tempat kerja dan sering ada konflik dengan pimpinan atau antar staf. Aspek-aspek stres kerja adalah gejala fisiologi, gejala psikologi, gejala perilaku, kecemasan dan ketegangan, binggung, mara, sensitif, menunda atau menghindari pekerjaan, prestasi dan produktivitas menurun, meningkatkan frekuensi absensi, meningkatkan frekuensi absensi, meningkatkan agresifitas serta menurunnya kualitas hubungan interpersonal, indikator pada fisik, indikator pada psikologism indikator pada perilaku.

Pada dasarnya setiap staf memiliki kecenderungan untuk menjadi stres, hal ini tergantung dengan tingkat ketahanan diri yang dimiliki orang tersebut dalam menghadapi stres. Secara klinis, stres merupakan suatu respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang menanganinya atau coping (Santrock, 2007). Salah satu bentuk coping adalah asertif yaitu keterampilan sosial agar seseorang mampu mengungkapkan ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Menurut Alberti dan Emmons (2008) aspek-aspek asertif adalah bertindak menurut kepentingan sendiri, membela diri sendiri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, menerapkan hak-hak pribadi dan tidak menyangkal hak-hak orang lain.

1.     Bertindak sesuai dengan keinginan sendiri, aspek ini meliputi kemampuan untuk membuat keputusan, mengambil inisiatif, percaya pada yang dikemukan sendiri, dapat menentukan suatu tujuan dan berusaha mencapainya, dan mampu berpartisipasi dalam pergaulan. Jika anggota memiliki kemampuan untuk membuat keputusan, mampu mengambil inisiatif, serta percaya pada yang dikemukan sendiri, dapat menentukan suatu tujuan dan berusaha mencapainya, dan mampu berpartisipasi dalam pergaulan maka stres kerja akan rendah. Hal ini didukung dengan Prestiana dan Purbandini (2012) yang menyatakan ada hubungan antara efikasi diri atau keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dengan stres kerja. Sebaliknya jika anggota tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan, tidak memiliki kemampuan dalam mengambil inisiatif, serta tidak memiliki kepercayaan pada yang dikemukan sendiri, kemudian tidak dapat menentukan suatu tujuan dan berusaha mencapainya, dan tidak memiliki kemampuan berpartisipasi dalam pergaulan maka stres kerja akan tinggi. Begitu juga selanjutnya orang yang stres kerja dapat menurunkan kinerja individu seperti hasil kerja, pengetahuan perjaan dan inisiatif (Jumati dan Wuswa, 2013).

2.     Mampu mengekspresikan perasaan jujur dan nyaman, aspek tersebut meliputi kemampuan untuk menyatakan rasa tidak setuju, rasa marah, menunjukkan afeksi dan persahabatan terhadap orang lain serta mengakui perasaan takut atau cemas, mengekspresikan persetujuan, menunjukkan dukungan, dan bersikap spontan. Ketika anggota memiliki kemampuan untuk menyatakan rasa tidak setuju,mampu menyatakan rasa marah, mampu menunjukkan afeksi, mampu mengakui perasaan takut atau cemas, mampu mengekspresikan persetujuan serta mampu menunjukkan dukungan dan bersikap spontan, maka stres kerja yang dialami anggota relatif rendah. Hal ini didukung dengan Handoko (2012) yang menyebutkan salah satu faktor yang memyebabkan stres kerja adalah konflik antar pribadi seperti tidak dapat menyatakan rasa tidak setuju, rasa marah. Sebaliknya jika anggota tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan rasa tidak setuju, tidak memiliki rasa marah, tidak dapat menunjukkan afeksi dan persahabatan terhadap orang lain serta tidak dapat mengakui perasaan takut atau cemas, tidak memiliki kemampuan dalam mengekspresikan persetujuan, tidak menunjukkan dukungan, dan tidak memiliki kemampuan untuk bersikap spontan, maka stres kerja yang akan dialami oleh anggota akan tinggi. Karakteristik-karakteristik kepribadian tertentu, seperti otoriter atau dogmatis juga dapat menimbulkan konflik.

3.     Mampu mempertahankan diri, aspek tersebut meliputi kemampuan untuk berkata tidak apabila diperlukan, mampu menanggapi kritik, celaan, dan kemarahan dari orang lain secara terbuka, serta mampu mengekspresikan dan mempertahan pendapat. Jika anggota memiliki kemampuan untuk berkata tidak, mampu menanggapi kritikan, celaan dan kemarahan dari orang lain secara terbuka, serta memiliki kemampuan mengekspresikan dan mematahkan pendapat maka stres kerja akan rendah. Hal ini didukung dengan Robbins dan Judge (2012) yang menyebutkan stres kerja dapat diakibatkan adanya konflik peran, tugas dan kepemimpinan. Sebaliknya jika anggota tidak memiliki kemampuan untuk berkata tidak, tidak mampu menanggapi kritikan, celaan dan kemarahan dari orang lain secara terbuka, serta tidak memiliki kemampuan menekspresikan dan mematahkan pendapat maka stres kerja akan tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Greenberg (2002) yang menyebutkan peran yang ambigu ketika pekerjaan dan jabatan kerja tidak jelas dapat menimbulkan stres kerja.

4.     Mampu menyatakan pendapat, aspek ini meliputi kemampuan menyatakan pendapat atau gagasan, mengadakan suatu perubahan, dan menanggapi pelanggaran terhadap dirinya dan orang lain. Jika anggota memiliki kemampuan menyatakan pendapat atau gagasan, serta mampu mengadakan suatu perubahan, dan menanggapi pelanggaran terhadap dirinya dan orang lain maka stres kerja pada anggota akan rendah. Hal ini dijelaskan oleh Greenberg (2002) yang menyebutkan komunikasi yang baik menyampaikan pendapat atau gagasan dapat mengurangi terjadinya stres kerja. Pelatihan komunikasi mempunyai pengaruh terhadap penurunan stres kerja. Sebaliknya, jika anggota tidak memiliki kemampuan menyatakan pendapat atau gagasan, serta tidak mampu mengadakan suatu perubahan, dan tidak dapat menanggapi pelanggaran terhadap dirinya dan orang lain maka stres kerja pada anggota akan tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Greenberg (2002) yang menyebutkan komunikasi seperti menyampaikan pendapat atau gagasan dapat menimbulkan stres kerja. komunikasi interpersonal mempunyai pengaruh terhadap penurunan stres kerja.

5.     Tidak mengabaikan hak-hak orang lain, aspek tersebut meliputi kemampuan untuk menyatakan kritik secara adil tanpa mengancam, memanipulasi, mengintimidasi, mengendalikan, dan melukai orang lain. Jika anggota memiiliki kemampuan untuk menyatakan kritik secara adil tanpa mengancam, memanipulasi, mengintimidasi, mengendalikan, dan melukai orang lain maka stres kerja akan rendah. Hal ini didukung dengan Handoko (2011) yang menyebutkan salah satu faktor yang menyebabkan stres kerja adalah tekanan atau desakan, dan bentukd ari tekanan antara lain ancaman, intimidasi, melukai orang lain dan sebagainya. Sebaliknya Jika anggota tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan kritik secara adil tanpa mengancam, memanipulasi, mengintimidasi, mengendalikan, dan melukai orang lain maka stres kerja akan tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Greenberg (2002) yang menyebutkan komunikasi seperti menyampaikan pendapat, kritik, sran dan sebagainya dapat menimbulkan stres kerja. Penelitian Utami dan Kumara (2003) juga menyebutkan ekspresi menulis dan mengambar dapat menurunkan stres pada anak.

Staf yang memiliki kemampuan asertif yang tinggi maka akan cenderung memiliki stres kerja yang rendah. Hal ini menunjukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja pada staf adalah perilaku asertif yang dimiliki oleh staf tersebut. Ada pengaruh asertif terhadap stres kerja, Perilaku asertif karyawan seperti menyampaikan pendapat dan mengungkapkan perasaan dapat mengurangi stres kerja. Semakin tinggi perilaku asertif maka tingkat kecenderungan depresi yang dimiliki akan semakin rendah, depresi sendiri diakibatkan oleh stres yang berkepanjangan. Individu yang asertif biasanya mampu mengadakan dan membina hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain, serta mampu menyatakan perasaan dan pikiran-pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakan kepada orang lain. Kondisi ini membuat individu ini jarang mengalami gangguan stres, karena bila memiliki masalah biasanya individu ini dapat menyatakannya dengan tepat kepada orang lain, sehingga mendapat banyak keuntungan seperti memperoleh solusi, mendapatkan dukungan sosial dan dapat menjelaskan beban mental akibat masalahnya itu.

Orang-orang yang asertifpada umumnya mampu mengadakan dan membina hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain, mampu menyatakan perasaan dan pikiran-pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksanya pada orang lain. Individu yang asertifjuga mampu menghargai perasaan-perasaan dan pendapat-pendapat orang lain, sehingga dalam hubungan antar pribadi mampu bertukar pengalaman, pikiran, dan perasaan. Orang-orang yang berlaku asertif lebih banyak menerima tanggapan positifdan merasa lebih dimengerti oleh orang lain, sehingga jarang mengalami gangguan depresi, karena apabila menghadapi masalah biasanya dapatmenyatakannya dengan tepatkepada orang lain. Dengan demikian orang-orang yang mempunyai perilaku asertif mendapat banyak keuntungan seperti keuntungan memperoleh jalan keluar, mendapat dukungan sosial, dan dapat melepaskan beban mental akibat masalahnya itu.

 

Referensi:

Hani . (2011) .Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia .Yogyakarta : Penerbit BPFE Anggota IKAPI

Greenberg,  Jerrold.  S.  2002.  Comprehensive  Stress  Management .  7th  ed.  Mc  Grew-Hill  Inc.  New York

Utami, D. S., Kumara, A. 2003. Ekspresi Menulis dan Menggambar sebagai. Media Terapi. Jurnal Psikologi. No. 1 (1-22)

Robbins, P.Stephen dan Timothy A. Judge2012. Perilaku Organisasi. Salemba. Empat. Jakarta.

Prestiana, N, D, I., & Purbandini, D. (2012). Hubungan antara efikasi diri (self efficacy) dan stres kerja dengan kejenuhan kerja (burnout) pada perawat igd dan icu rsud kota bekasi. Jurnal Soul, 5(2), 1-14.

Jum’ati,N. dan Wuswa,H. 2013. “Stres Kerja (Occupational Stres) Yang Mempengaruhi Kinerja Individu Pada Dinas Kesehatan Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2P-PL) di Kabupaten Bangkalan”. Jurnal Neo-bis Vol.7 , No.2