Jumat, 22 Juli 2022 08:55 WIB

Strategi Mengubah Budaya Pemasungan Pada Pasien Dengan Gangguan Jiwa

Responsive image
5128
Nano Supriatna - RS Jiwa dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor

Latar Belakang

Sehat merupakan keadaan sejahtera baik fisik maupun mental, orang yang sehat mental akan memiliki kualitas hidup yang baik, sehingga memungkinkan dapat hidup harmonis dan produktif dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia,  Jika seseorang tidak terjaga kesehatan jiwanya berisiko mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa menyebabkan terjadinya gangguan fungsi psikologis, menimbulkan penderitaan, perasa tertekan (distress), dan atau mengalami hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya (disabilitas/ ketidakmampuan).

 Gangguan jiwa yang sering terjadi adalah skizofrenia. Menurut Riskesdas (2018) di Indonesia. 6,7 per 1000 rumah tangga mengalami skizofrenia/psikosis. Skizofrenia merupakan penyakit kronis dimana penderita memiliki kesulitan memproses pikirannya sehingga timbul halusinasi, pikiran yang tidak jelas dan tingkah laku atau bicara yang tidak wajar, mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain, menarik diri dari aktivitas sehari-hari, berhenti dari pekerjaan. susah mengontrol perilaku, melakukan perilaku kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Ketidakmampuan keluarga atau masyarakat mengontrol perilaku atau merawat pasien skizofrenia menyebabkan keluarga melakukan pemasungan terhadap pasien gangguan jiwa.

Pemasungan adalah suatu tindakan pembatasan gerak seseorang yang mengalami gangguan fungsi mental dan perilaku dengan cara pengekangan fisik dalam jangka waktu yang tidak tertentu yang menyebabkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang layak, termasuk kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan bagi orang tersebut (Halvorsen, 2018).

Pemasungan terhadap ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) masih banyak terjadi di Indonesia, hasil penelitian Purwoko (2010), sekitar 20 ribu hingga 30 ribu penderita memperoleh perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung. Dampak pemasungan dapat memberikan dampak, negatif pada aspek fisik, psikologis dan hubungan sosial ODGJ. 21% ODGJ mengalami cedera atau kondisi kesehatan memburuk saat dipasung. Pembatasan fisik yang dilakukan pada pasien dapat menyebabkan cidera pada ekstremitas, melarikan diri dari kekangan, dan jatuh (Colucci, 2013). Mengingat dampak yang terjadi akibat pemasungan, diperlukan strategi khusus agar keluarga/ masyarakat mampu memilih penatalaksanaan yang tepat bagi ODGJ.

 

Pembahasan

1.      Perilaku pasung terhadap pasien gangguan jiwa

1)      Alasan pemasungan Tindakan pemasungan diakibatkan oleh berbagai alasan yang dikemukakan oleh keluarga. Keluarga menjelaskan bahwa alasan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah melakukan perilaku kekerasan, membantu kesembuhan, keluyuran dan tidak mampu merawat.

(1)   Perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan yang dilakukan ODGJ dapat berupa perilaku kekerasan terhadap diri sendiri, perilaku kekerasan terhadap orang lain dan perilaku kekerasan terhadap lingkungan. Perilaku kekerasan adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai/ mencederai/merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan. Yusuf (2015), menemukan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan terhadap diri sendiri adalah berupa upaya melakukan percobaan bunuh diri dengan cara terjun ke dalam sumur dan perilaku kekerasan terhadap orang lain berupa mengancam dan memukuli orang lain, sementara menurut  Wahyuningsih (2014) alasan pemasungan adalah merusak lingkungan, melukai orang lain dan risiko membunuh.

(2)   Membantu kesembuhan

Yusup (2015), menemukan 3 dari 9 partisipan mengatakan bahwa alasan keluarga melakukan pemasungan adalah untuk membantu kesembuhan. Keluarga mendapatkan informasi dari tetangga bahwa dengan dipasung, pasien bisa menjadi sembuh dari ngamuk-ngamuk dan merusak barang-barang. Semua partisipan yang mempunyai alasan bahwa memasung untuk kesembuhan mempunyai tingkat pendidikan rendah, yaitu lulusan SD. Keluarga melakukan pemasungan mempunyai harapan bahwa pasien yang dipasung dapat sembuh dari amuk dan merusak barang.

(3)   Keluyuran

Yusup (2015), mengemukakan ada dua orang partisipan melakukan pemasungan karena ODGJ keluyuran. satu partisipan menyampaikan bahwa ODGJ keluyuran dengan berjalan kaki berhari-hari dan membuat keluarga cemas, sehingga keluarga besar memutuskan untuk memasung pasien dengan memasang rantai pada kaki. Satu partisipan mengungkapkan bahwa pasien pergi dengan jalan kaki, singgah di rumah orang dan bingung pada saat hendak pulang, sehingga keluarga harus menjemput pasien walaupun malam ataupun dini hari sehingga keluarga memutuskan untuk memasung pasien dengan tujuan agar pasien tidak keluyuran.. Hasil penelitian Minas dan Diatri (2008) dalam Daulima, (2014) serta hasil penelitian Wahyuningsih (2014) menyampaikan bahwa salah satu alasan pasung adalah agar pasien tidak keluyuran dan lari sehingga dapat membahayakan orang lain. Keluarga mengungkapkan bahwa takut terjadi sesuatu dengan pasien saat keluyuran, seperti tertabrak kendaraan bermotor, jatuh ke sungai, dan sebagainya.

(4)   Ketidakmampuan keluarga untuk merawat

Kondisi ODGJ yang mengalami penyimpangan perilaku, tidak mampu mengontrol perilaku dan bahkan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik menjadikan beban tersendiri bagi keluarga, beban dalam merawat ODGJ merupakan tingkat pengalaman distress keluarga sebagai efek dari pasien gangguan jiwa terhadap keluarganya. Kondisi ini dapat memicu meningkatnya stres dalam keluarga. stress dalam keluarga yang disertai dengan Pendidikan yang rendah, keterbatasan ekonomi dan jauh dari fasilitas kesehatan, menyebabkan keluarga tidak punya pilihan hingga memilih untuk memasung pasien. Penelitian ini menemukan bahwa keluarga tidak mempunyai pilihan untuk bisa merawat pasien sehingga dengan terpaksa harus memasung pasien, karena apabila pasien tidak dipasung, maka keluarga tidak bisa bekerja sebagai buruh tani untuk menafkahi keluarganya (Yusup 2015).

 

2)      Keputusan pemasungan

Yusup (2015) menemukan bahwa keputusan pemasungan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. 5 partisipan menyebutkan bahwa keluarga yang mengambil keputusan untuk melakukan pemasungan pada ODGJ dan mendapat dukungan dari risetnya menyebutkan bahwa  pemasungan ODGJ juga mendapat dukungan dari pemuka masyarakat, sehingga keluarga dan pemuka masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemasungan dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk mempertahankan tindakan tersebut. Keputusan untuk melakukan pemasungan didasari oleh ketidaktahuan keluarga, rasa malu, penyakit yang tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, mengamankan diri ODGJ, mengamankan orang lain, mengamankan lingkungan dan tidak dapat menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan

3)      Dampak Pemasungan

ODGJ yang mengalami pemasungan akan merasakan dampak secara fisik maupun psikologis.

(1)    Dampak fisik

Pemasungan dalam kandang yang sempit, pengikatan pada extremitas tangan, kaki atau keduanya menyebabkan keterbatasan pergerakan pada pasien, bila pemasungan berlangsung dalam waktu yang lama akan menyebabkan kecacatan fisik. Kecacatan fisik yang sering ditemukan adalah atrofi otot kaki dan kontraktur pada sendi lutut atau bahkan sampai terjadinya kelumpuhan.

(2)   Dampak fsikologis

Menurut Lestari, Choiriyyah, & Mathafi (2014) dampak psikologis pemasungan adalah trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri, putus asa, timbul gejala depresi dan sampai percobaan bunuh diri.

 

2.      Dukungan Keluarga

Menurut Maramis, (2010; Yusuf, (2015) gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Keluarga seharusnya dapat mengenali bahwa gangguan jiwa adalah kondisi sakit, sehingga dapat memahami penyimpangan perilaku yang timbul pada pasien dan menentukan pemecahan masalah terhadap masalah kesehatan pasien sesuai dengan tugas kesehatan keluarga (Yusuf, 2016; Laeli, 2017). Adanya kesalahan persepsi terhadap kondisi sakit yang dialami ODGJ merupakan tanda tidak berjalannya tugas kesehatan keluarga, dimana menurut Suprajitno (2004) dan Mubarak, (2009) tugas kesehatan keluarga yang pertama adalah mengenal kesehatan keluarga. Keluarga yang masih menganggap bahwa pasien gangguan jiwa mengalami kesurupan atau bukan orang baik-baik berarti keluarga tidak dapat mengenal masalah kesehatannya.

Menurut Daulima (2014), ODGJ seharusnya tidak dipasung tetapi harus mendapatkan terapi yang tepat. Penanganan yang tepat terhadap pasien gangguan jiwa menurut (Hawari, 2001; Yusuf, 2015) adalah dengan terapi psikofarmaka, terapi somatik dan terapi modalitas. terapi tersebut bisa didapatkan di fasilitas kesehtan, maka ODGJ seharusnya dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan. semakin lama tertunda untuk mendapatkan perawatan pada fasilitas pelayanan kesehatan mengakibatkan semakin parahnya kondisi gangguan jiwa yang dialami.

 

3.      Kebijakan pemerintah terhadap pasung

Pemerintah sejatinya sudah melarang pemasungan antara lain melalui :

1)      UU No. 18 Tahun 2014 tersebut menegaskan bahwa, setiap orang yang terlibat dalam pemasungan dapat dikenakan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan diproses secara hukum sebagai pelaku kriminal. Hal ini menyebabkan segenap komponen pemerintah selain Puskesmas, baik pemerintah daerah hingga TNI dan Polri melakukan pendataan secara proaktif untuk membebaskan pasung

2)      UU No. 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa, dinyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar harus mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan.

3)      Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di rumah sakit jiwa.

 

4.      Strategi Mengubah Perilaku Pemasungan Terhadap ODGJ

1)      Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Respon/ perilaku akan muncul jika ada stimulus. adanya ODGJ dalam keluarga merupakan stimulus yang mendorong keluarga untuk memberikan respon atau menetukan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah yang dialami ODGJ. Keputusan yang diambil keluarga dipengaruhi factor internal dan eksternal, faktor internal terdiri dari factor biologi dan psikologi yang mencakup di dalamnya antara lain persepsi, motivasi, perhatian, keinginan/ kehendak, sedangkan factor eksternal mencakup faktor lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan fisik meliputi kondisi georgrafis dan iklim, sementara lingkungan non fisik antara lain meliputi kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik

2)      Intervensi untuk mengubah perilaku pemasungan

Mengacu pada determinan yang mempengaruhi perilaku, maka untuk dapat merubah perilaku keluaga dan atau masyarakat yang melakukan pemasungan terhadap ODGJ harus mengkaji terlebih dahulu faktor apa yang menyebabkan keluarga dan atau masyarakat memilih untuk memasung ODGJ, sehingga intervensi yang diberikan tepat sasaran. dalam penelitian yang dilakukan oleh Yusup (2015, keputusan untuk melakukan pemasungan didasari oleh ketidaktahuan keluarga, rasa malu, penyakit yang tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, mengamankan diri ODGJ, mengamankan orang lain, mengamankan lingkungan dan tidak dapat menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan temuan tersebut, intervensi yang diberikan adalah:

(1)   Edukasi tentang gangguan jiwa

(2)   Edukasi tentang Pemanfaatan fasilitas kesehatan

(3)   Edukasi tentang penatalaksanaan yang tepat untuk ODGJ

(4)   Peningkatan peran serta masyarakat dalam menagani ODGJ

3)      Tujuan Intervensi

Intervensi yang dilakukan bertujuan agar keluarga dan masyarakat mampu:

(1)   Memberikan dukungan instrumental terhadap ODGJ

Keluarga adalah support sistem bagi ODGJ dalam pemenuhan kebutuhannya, bentuk dukungan  yang diberikan keluarga antara lain dengan mengantar berobat ke fasilitas kesehatan. memperhatikan kepatuhan ODGJ dalam minum obat

(2)   Memberikan dukungan informasional terhadap ODGJ

Dukungan informasional keluarga terhadap ODGJ antara dengan cara memberikan informasi untuk minum obat dengan teratur Keterbatasan pengetahuan dan sumber informasi yang didapatkan keluarga merupakan penyebab minimalnya dukungan informasional yang dapat diberikan oleh keluarga. Keluarga membutuhkan informasi kesehatan untuk dapat memberikan solusi terhadap masalah pasien dengan gangguan. Sumber informasi yang dapat diakses oleh keluarga adalah institusi pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan rumah sakit, buku, koran, majalah ataupun sumber ahli lainnya. keluarga membutuhkan informasi yang tepat tentang gangguan jiwa, agar dapat dicapai kondisi pasien yang dapat berfungsi secara sosial.

(3)   Memberikan Dukungan emosional terhadap ODGJ

Dukungan emosional keluarga yang diberikan terhadap ODGJ dapat berbentuk pemberian semangat, empati, rasa percaya, menyediakan tempat istirahat, dukungan tersebut akan memberikan perasaan nyaman, merasa dihargai, merasa dicintai saat mengalami depresi. Perasaan nyaman dan dicintai dibutuhkan oleh ODGJ untuk bisa mengoptimalkan kembali fungsi kognitifnya. Situasi keluarga yang memberikan dukungan emosional akan membantu ODGJ untuk mencapai penyembuhan dengan optimal. ODGJ membutuhkan motiviasi terus-menerus untuk dapat minum obat secara teratur dan yang dapat memberikan semangat untuk melakukannya adalah keluarga, sikap empati dan rasa percaya dari keluarga juga sangat dibutuhkan oleh ODGJ untuk mencegah kekambuhan. (Friedman 1998, dalam Murniasih, 2007)

(4)   Menjadi support system bagi ODGJ dan Keluarga

Keberadaan masyarakat terutama tokoh masyarakat di lingkungan keluarga dengan ODGJ mempunyai peranan yang sangat penting, diharapkan masyarakat menjadi support system bagi ODGJ, karena menurut Yusuf, Fitryasari, & Nihayati (2015) terjadinya gangguan jiwa dipengaruhi oleh masalah kepribadian awal, kondisi fisik pasien, situasi keluarga dan masyarakat. linkungan masyarakat yang tidak memberikan stigma yang kurang baik terhadap ODGJ, memberikan kepercayaan, menghargai dan empati tentunya akan dapat membantu kesembuhan ODGJ. Dukungan masyarakat juga akan memberikan masukan dan dorongan kepada keluarga untuk dapat memilih penatalaksanaan yang tepat terhadap ODGJ.

 

 

Daftar Pustaka

Daulima, N. H. (2014). Proses Pengambilan Keputusan Tindakan Pasung oleh Keluarga Terhadap Pasien Gangguan Jiwa. Fakultas Ilmu Keperawatan UI: Disertasi.

Effendy, N. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2, Editor Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Fitryasari, R. (2009). Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anak dengan Autisme di Sekolah Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa Surabaya. Manuskrip Penelitian: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Pascasarjana.

Halida, N., Dewi, E. I., & Rasni, H. (2016). Pengalaman Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Perawatan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan Pasung di Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(1), Januari, 78–8

Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010.

Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas, 406/Menkes/SK/VI/2009 (2009).

Joska JA, Sorsdahl KR. Integrating Mental Health into General Health Care: Lessons From HIV. Afr J Psychiatry. 2012;15:3.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat ( TP – KJM ), 220 / MENKES / SK / III / 2002 (2002).

Depkes RI. (2018). Riset Kesehatan Dasar. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20111800001/diabetesmelitus.htm