Bell’s palsy merupakan neuropati kranial umum yang dimanifestasikan dengan kelemahan wajah disertai gejala nyeri post-aurikular, kehilangan kemampuan pengecapan, perubahan subjektif sensasi pada wajah dan hiperakusis. Bell’s palsy disebut juga paralisis fasial idiopatik didefinisikan sebagai kelemahan wajah bersifat akut, mengenai saraf tunggal, unilateral, dan termasuk kelemahan fasial tipe Lower Motor Neuron (LMN) tanpa penyebab pasti. Penyakit ini mengenai baik pria maupun wanita dengan persentase relatif sama, insiden sedikit lebih tinggi pada usia lanjut, namun dapat terjadi pada semua usia. Penyakit bell’s palsy adalah disfungsi nervus facialis, saat saraf berjalan di dalam canalis facialis, kelainan ini biasanya unilateral. Letak disfungsi menentukan aspek fungsional nervus facialis yang tidak bekerja. Pembengkakan saraf di dalam canalis facialis menekan serabut-serabut saraf, keadaan ini menyebabkan hilangnya fungsi saraf sementara dan menimbulkan tipe paralisis facialis lower motor neuron. Bell’s palsy menjadi suatu kelumpuhan wajah idiopatik akut dari saraf kranial ketujuh yang memengaruhi satu sisi wajah. Penyebab bell’s palsy tidak diketahui, kadang-kadang terjadi setelah wajah terpajang angin dingin.
Gejala Bell’s Palsy
Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang-kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1-7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistem House-Brackmann dan metode Freyss. Di samping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.
Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pencitraan tidak direkomendasikan untuk evaluasi awal Bell’s palsy, kecuali gejala tidak khas. CT scan dengan kontras atau MRI digunakan untuk menyingkirkan dugaan penyebab tumor jinak ataupun ganas, dapat juga digunakan jika gejala tidak membaik setelah 3 minggu.
3. Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Pemeriksaan ini tidak rutin, namun dapat dilakukan pada paralisis berat untuk menilai derajat keparahan kerusakan saraf. Pemeriksaan disarankan dilakukan setelah 1 minggu dari onset untuk menghindari hasil negatif palsu. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah tes eksitabilitas saraf, elektroneurografi, dan elektromiografi.
Faktor Risiko Bell’s Palsy
1. Hipertensi
Hipertensi dan gangguan profil lipid dapat menjadi faktor risiko Bell’s palsy. Hal ini karena adanya perubahan sirkulasi darah yang dapat mengganggu keseimbangan sistem tekanan di dalam kanal fasial, sehingga menyebabkan kerusakan saraf.
2. Diabetes Melitus
Kejadian Bell’s palsy meningkat pada pasien diabetes melitus, disebabkan iskemia saraf wajah karena mikroangiopati, dapat disebut mononeuropati diabetikum.
3. Kehamilan
Pada saat hamil, terjadi edema jaringan yang mengakibatkan kompresi mekanis, salah satunya pada saraf wajah. Selain itu, supresi imunitas karena peningkatan hormon kortisol pada kehamilan, dapat menginduksi reaktivasi virus dorman.
Pengobatan
1. Istirahat terutama pada keadaan akut.
2. Medikamentosa
Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi odem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut / massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan apabila :
a. Tidak terdapat penyembuhan spontan.
b. Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone.
c. Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresin. Fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik.
Referensi :
Putri, Z. R. 2022. Bell’s Palsy : Diagnosis dan Tata Laksana. Cermin Dunia Kedokteran, 49(8), 431-434.
Syahril, M., Hasibuan, N. A., & Pristiwanto, P. 2016. Penerapan Metode Dempster Shafer Dalam Mendiagnosa Penyakit Bell’s Palsy. JURIKOM (Jurnal Riset Komputer), 3(6).
Munilson, J., Edward, Y., & Triana, W. 2007. Diagnosis dan penatalaksanaan Bell’s Palsy.
Lowis, H., & Gaharu, M. N. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass, 62(1), 32.
Moch, B. 2011. Bell’s Palsy (BP). Saintika Medika, 7(2).