Vitamin D merupakan prohormon yang berperan penting dalam penyerapan kalsium di dalam usus. Vitamin D mulai dikenal di dunia kesehatan sejak timbul kasus penyakit terkait rickets di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke 19 dan selama dua dasawarsa awal abad ke 20. Pada awal abad ke 20 penyakit tersebut menjadi endemik sampai akhirnya diketahui bahwa pajanan kulit terhadap sinar ultraviolet dan asupan vitamin D lewat rongga mulut dapat mencegah dan mengurangi angka kejadian penyakit yang disebabkan rickets tersebut. Sebagian besar tenaga kesehatan masih menganggap masalahkesehatan akibat defisiensi vitamin D terbatas dampak penyakit karena rickets, osteoporosis dan osteomalasia. Saat ini peran vitamin D diketahui tidak hanya terbatas pada metabolism kalsium dan tulang, tetapi juga berperan pada berbagai kondisi nonskeletal seperti sistem kekebalan tubuh (imunologi), kanker/keganasan, tekanan darah tinggi, penyakit diabetes melitus dan kardiovaskular, serta infeksi (Ginde, dkk., 2009).
Kadar vitamin D dalam bentuk 25-OH vitamin D pada serum dianjurkan berkisar antara 30-100 ng/mL untuk menghindari gangguan kesehatan. Kadar 25 (OH) D di dalam darah antara 40-60 ng/mL atau 100-150 nmol/L dianggap paling bagus. Defisiensi vitamin D diberikan batasan sebagai kadar serum 25 (OH) D di bawah 20 ng/mL atau 50 nmol/L. Kadar 25 (OH) D berhubungan terbalik dengan kadar hormon paratiroid yaitu sampai berkadar antara 30-40 ng/ mL (75-100 nmol/L), dalam kadar tersebut pengaruh hormon paratiroid sampai di titik yang terendah. Pengangkutan kalsium meningkat sebesar 45-65% bila kadar 25 (OH) D dan berkisar antara 20-32 ng/mL (50-80 nmol/L). Kadar 25 (OH) D dengan rentang antara 21-29 ng/mL (52-72 nmol/L) yang dapat disebut sebagai ketidak-cukupan relatif vitamin D dan kadar >30 ng/mL dapat disebut cukup/berkadar normal. Keracunan vitamin D terjadi bila kadar 25(OH) D >150 ng/mL (374 nmol/L) (Hossein-nezhad dan Holick, 2013). Fungsi utama vitamin D adalah untuk mengontrol homeostasis kalsium dan selanjutnya metabolisme vitamin D akan diatur oleh faktor- faktor yang berespon terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat plasma. Kalsitriol sendiri yang merupakan metabolit aktif akan bekerja dengan cara mengurangi sintesis dirinya sendiri dengan cara menginduksi 24-hidroksilase dan menekan 1-hidroksilase di ginjal (Olmos-Ortiz dkk., 2015).
Berdasarkan fungsi utamanya, untuk mencapai terealisasinya hal tersebut kalsitriol memiliki tiga cara untuk mencapainya yaitu dengan; (1) meningkatkan penyerapan kalsium diusus, (2) mengurangi ekskresi kalsium (dengan cara merangsang penyerapan di tubulus distal ginjal), (3) memobilisasi mineral tulang. Selain itu, kalsitriol berperan dalam sekresi insulin, sintesis dan sekresi hormon paratiroid dan tiroid, inhibisi pembentukan interleukin oleh limfosit T aktif dan immunoglobulin oleh limfosit B aktif, diferensiasi sel prekursor monosit, dan modulasi proliferasi sel (Olmos-Ortiz dkk., 2015).
Referensi :
Olmos-Ortiz, A., Avila, E., Durand-Carbajal, M. dan Díaz, L. 2015. Regulation of calcitriol biosynthesis and activity: focus on gestational vitamin D deficiency and adverse pregnancy outcomes. Nutrients, 7(1):443–480.
Ginde, A.A., Liu, M.C., Camargo, C.A. (2009). Demographic differences and trends of vitamin D insufficiency in the US population, 1988-2004. Arch Intern Med, 169: 626–32.
Hossein-nezhad, A., Holick, M.F. (2013). Vitamin D for health: a global perspective. Mayo Clin Proc, 88: 720-55.