Kita ketahui popok dan bayi adalah dua hal yang tak bisa dilepaskan. Namun bagai pedang bermata dua, popok bisa membuat bayi tenang tapi bisa juga justru jadi sumber kerewelan mereka. Dan semua itu bergantung pada seberapa jeli kita mendeteksi kehadiran ruam popok. Di antara sejumlah gangguan kulit pada bayi, ruam popok adalah yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir. Waspada bila kulit di sekitar bokong bayi meradang, berwarna kemerahan. Itu tandanya bayi terkena ruam popok. Biasanya, ruam kulit ini membuat si kecil merasa gatal. Kenapa disebut ruam popok (diaper rash)? Karena, gangguan kulit ini timbul di daerah yang tertutup popok, yaitu sekitar alat kelamin, bokong, serta pangkal paha bagian dalam.
Kulit merupakan salah satu aspek vital yang perlu diperhatikan dalam hygiene setiap orang. Kulit sebagai pembungkus yang elastik, yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan, dan bersambungan dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk kulit. Begitu vitalnya kulit, maka setiap ada gangguan dalam kulit dapat menimbulkan berbagai masalah yang serius dalam kesehatan. Sebagai organ yang berfungsi sebagai proteksi, kulit memegang peranan penting dalam meminimalkan setiap gangguan dan ancaman yang akan masuk melewati kulit.
Dampak menggunakan popok sekali pakai yang sering terjadi adalah kelembaban akibat tumpukan air seni atau tinja yang menjadi tempat paling menyenangkan bagi bakteri dan jamur untuk berkembang biak dan menyebar. Dengan kata lain, popok sekali pakai tadi menjadi tak higienis lagi. Dari sinilah, iritasi kulit terjadi, gejala awal terlihat dari kulit yang kemerahan, bahkan bisa menjadi radang kulit (dermatitis). Yang lebih parah, jika bagian anus kena iritasi, akan cepat menyebar ke alat kelamin dan lipatan pangkal paha. Akibatnya, terjadi infeksi sekunder di kedua daerah tersebut, bayipun menjadi rewel karena ia merasa kulitnya gatal, perih, dan panas. Bahan diaper sendiri bisa menimbulkan alergi pada kulit bayi. Karena tiap bayi punya kepekaan kulit sendiri-sendiri. Yang pasti, kalau sudah timbul merah-merah di kulit, diikuti lecet atau melepuh seperti bisul air, berarti alerginya sudah akut. Kasus yang paling sering terjadi adalah warna kemerahan di sekitar daerah yang langsung berhubungan dengan diaper, yaitu anus, alat kelamin, serta lipatan pangkal paha.
Untuk menghindari serta mencegah timbulnya dermatitis popok pada balita, hendaknya kita mengerti faktor utama dari terjadinya dermatitis tersebut. Upaya penanggulangan dari dermatitis popok sebenarnya sangat mudah, seperti sering mengganti popok sehabis anak buang air, menjaga kelembaban kulit daerah popok pada anak, dan yang tidak lupa para orang tua harus pintar memilih bahan popok yang bagus dan baik untuk anak. Seperti, popok yang berbahan halus, popok dengan daya tampung dan daya serap tinggi. Disposible diaper sering disebut popok sekali pakai. Popok sendiri diartikan sebagai alas bayi, disposible sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat dibuang sesudah dipakai (diaper dengan bermacam-macam merk yang tersedia di supermarket) dengan menggunakan bahan ekstra penyerap sehingga tidak mengenai kulit bayi. Disposible diaper ini terdiri dari lembaran dan tahan air dan lapisannya mengandung bahan penyerap. Penting sekali memperhatikan daya tampung disposible diaper karena hal ini dapat kita jadikan acuan kapan kira-kira disposible diaper perlu diganti. Disposible diaper yang beredar di pasaran beragam jenisnya. Ada yang tahan sampai 10 kali kencing. Tapi ada juga yang hanya tahan 4-5 kali kencing, jika disposible diaper sudah penuh dan harus diganti 1 jam yang lalu. karena sudah tidak bisa menampung urine bayi. Hal ini menimbulkan iritasi pada kulit bayi.
Dalam sebuah ulasan lainnya disampaikan, ada beberapa cara mengatasi ruam popok, penanganan ruam popok yang paling utama adalah menjaga agar kulit bayi selalu bersih dan kering. Di antaranya sebagai berikut :
1. Cuci tangan hingga bersih sebelum mengganti popok.
2. Segera ganti popok ketika sudah basah atau terkena tinja.
3. Bersihkan area yang tertutup popok dengan air bersih. Jika perlu, gunakan juga sabun bayi untuk membantu membersihkan kulit setelah bayi BAB. Jika ingin memakai tisu basah, pilihlah yang bebas alkohol dan pewangi.
4. Keringkan area yang tertutup popok dengan kain berbahan lembut.
5. Oleskan krim atau salep pelembap yang mengandung zinc oxide pada area kulit yang terkena ruam popok. Krim atau salep ini bisa dibeli tanpa resep dokter.
6. Tunggu krim atau salep hingga kering, lalu pakaikan popok yang bersih.
Untuk mempercepat penyembuhan ruam popok, bisa dapat melakukan beberapa perawatan di antaranya :
1. Tidak menggosok kulitnya yang sedang lecet.
2. Hentikan pemakaian popok untuk sementara waktu. Hal ini bisa membuat area ruam popoknya kering, sehingga mempercepat penyembuhan.
3. Pilih popok yang memiliki kemampuan besar dalam menyerap urine dan anti gumpal, misalnya popok yang dilengkapi inti struktur Super Absorbent Polymer (SAP).
4. Pilih popok dengan size yang sesuai dengan ukuran si kecil. Jjika popok sudah terlihat longgar akibat disimpan terlalu lama, sebaiknya jangan digunakan lagi.
Dari beberapa ulasan di atas tentu pentingnya kita memperhatikan kesehatan kulit bayi, khususnya jika terjadi atau timbul ruam. Meskipun dalam beberapa hari dapat sembuh tentunya hal tersebut sangat mengganggu bagi anak. Namun bila ruam tambah parah, maka kita perlu membawanya ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat, selain itu penerapan pola hidup bersih sehat merupakan langkah yang tepat untuk diterapkan dalam kehidupan keseharian kita.
Referensi :
Hidayat. 2011. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika.
Laily, I. 2012. Jurnal Ilmu Pendidikan “Pengaruh Pemakaian Popok Terhadap Terjadinya Dermatitis pada Anak Usia Toodler di Kelompok B3 DEPAG 1 Palu Barat”. Universitas Tadulako : A41108005.
Ayuk Naimah. Universitas Bakti Indonesia, Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi D3 Kebidanan. Hubungan Pemakaian Popok Sekali Pakai pada Balita (Usia 0-3 Tahun) dengan Terjadinya Dermatitis Alergi Popok di Purwoharjo Banyuwangi. The Indonesian Journal Of Health Science Vol. 11, No. 2.