Kamis, 19 Januari 2023 15:55 WIB

Pengaruh Korban KDRT Terhadap Kejiwaan

Responsive image
11044
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa menimpa siapa saja, padahal dampak dari kekerasan ini memiliki kemungkinan berupa trauma psikologis yang mendalam bagi korban, bahkan kepada keluarga korban. Kekerasan dalam rumah tangga bahkan bisa berdampak luar biasa pada keutuhan rumah tangga, bahkan tak terkecuali berakhir dengan perceraian. Menilik beberapa kasus KDRT yang terjadi akhir-akhir ini dalam pemberitaan, angka kekerasan dalam rumah tangga mengalami kenaikan yang signifikan, seiring bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi serta kehidupan masyarakat yang kompleks, bahkan keadaan ekonomi berpengaruh terjadinya kasus KDRT.

Kekerasan dalam rumah tangga “perilaku menyakiti dan mencederai secara fisik maupun psikis emosional yang mengakibatkan kesakitan dan stres (penderitaan subyektif) yang tidak dikehendaki oleh pihak yang disakiti yang terjadi dalam lingkup keluarga (rumah tangga) antar pasangan suami istri (intimate partners), atau terhadap anak-anak, atau anggota keluarga lain, atau terhadap orang yang tinggal serumah (misal, pembantu rumah tangga).

Secara umum faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang datang dari luar diri pelaku kekerasan. Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan jika dihadapkan dengan situasi di bawah tekanan (stres), misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan atau perselingkuhan atau ditinggalkan pasangan atau kejadian-kejadian lainnya. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang bersumber pada kepribadian dari dalam diri pelaku itu sendiri yang menyebabkan mudah sekali terprovokasi melakukan tindak kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif kecil.

Tentunya dalam kejadian KDRT meninggalkan luka psikologis yang sangat dalam bagi korbannya. Dalam sebuah tulisan disampaikan kata “trauma” telah sering digunakan untuk menggambarkan sebuah pengalaman negatif yang selalu diingat. Sebenarnya kata trauma, berasal dari Bahasa Yunani “tramatos” yang berarti luka. Trauma memiliki pengertian ganda, yaitu secara media dan psikologis. Trauma dalam paradigma media adalah seluruh aspek trauma fisik, yaitu trauma pada kepala atau bagian tubuh lainnya yang juga dikenal sebagai cedera atau gangguan fungsi normal bagian tubuh yang berasal dari benturan keras dari benda tumpul maupun tajam. Selain itu dalam tulisan yang lainnya disampaikan bahwa pengertian trauma yang diungkapkan sebenarnya lebih dekat dengan paradigma pengertian trauma di masa awal dan secara medis yang berbeda dengan perspektif trauma secara psikologis yang diartikan sebuah peristiwa atau pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri, sehingga menimbulkan luka psikologis yang sulit disembuhkan sepenuhnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam tulisan artikel lainnya, yang menyatakan bahwa : trauma adalah jiwa atau tingkah laku yang tidak normal akibat tekanan jiwa atau cedera jasmani karena mengalami kejadian yang sangat membekas yang tidak bisa dilupakan.

Berdasarkan hal tersebut, akibat dari trauma ini membentuk luka batin yang tersimpan dan berpotensi menggerogoti seseorang dalam melakukan hal-hal positif. Efeknya adalah kehidupan sesorang bisa menjadi tidak tercatat dengan baik dan bahkan menjadi pilu. Trauma yang ditandai dengan keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal, muncul sebagai dampak dari tindak kekerasan yang dialami secara fisik ataupun secara psikis. Namun ada juga trauma yang muncul dari efek gabungan kekerasan fisik berupa cedera yang dialami secara jasmani berupa benturan yang keras yang menggangu fungsi sel saraf otak atau organ vital lainnya, sehingga dapat menyebabkan korban KDRT menjadi trauma. Sebagai bentuk luka emosi, rohani, dan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri, sehingga gejala akibat trauma akan sangat beragam pada individu. Hal ini tentunya berbeda dengan tubuh atau fisik yang lebih mudah diobati melalui pengobatan medis ataupun pengobatan tardisional. Trauma pada jiwa seseorang tidak dapat dilihat dengan kasat mata bahkan cenderung menjadi bentuk yang abstrak sesuai dengan fenomena-fenomena yang muncul dari perilaku orang yang mengalami trauma.

Dalam sebuah tulisan artikel disampaikan ada beberapa gangguan kesehatan mental yang disebabkan KDRT di antaranya :

1.      Depresi

Salah satu masalah yang bisa terjadi akibat kekerasan dalam rumah tangga adalah depresi. Dampak dari KDRT ini disebabkan oleh peristiwa traumatis, bahkan depresi yang terjadi dapat berkembang menyebabkan bunuh diri. Faktor risiko dari depresi pada perempuan akibat dampak KDRT berhubungan erat dengan usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi hingga lamanya kekerasan ini terjadi. Seseorang yang lama mengalami penyiksaan dari pasangannya, risiko untuk alami depresi tentu lebih tinggi.

2.      PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat terjadi pada seseorang sebagai dampak KDRT. Berbagai gejala dari PTSD adalah ketakutan, kerentanan, hingga ketidakberdayaan. Ketakutan yang dialami dapat menjadi sesuatu yang traumatis. Maka dari itu, seseorang yang mengalami masalah ini perlu mendapatkan penanganan segera. Jika tidak, gangguan mental yang lebih besar bisa terjadi jika dibiarkan begitu saja. Terlebih jika pelaku masih tinggal di lingkungan yang berdekatan atau masih hidup secara berdekatan.

3.      Anxiety Disorder

KDRT juga dapat menyebabkan korbannya mengalami gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Pengidapnya dapat alami rasa takut secara tiba-tiba jika teringat kekerasan yang dialami atau bahkan tanpa sebab yang jelas. Masalah ini perlu mendapatkan penanganan dari ahlinya segera, sebab dapat mengganggu kehidupan sehari-hari. Agar masalah ini tidak bertambah parah, ada baiknya segera mendapatkan sesegera mungkin agar aktivitas dapat kembali normal.

4.      Penyalahgunaan Zat

Kekerasan dalam rumah tangga dapat membuat korbannya terpicu melakukan penyalahgunaan zat. Mengutip dari Addiction Center, wanita yang pernah mengalami KDRT memiliki kemungkinan 15 kali lebih besar untuk penyalahgunaan alkohol dan 9 (Sembilan) kali lebih rentan untuk mengonsumsi narkoba, jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat tersebut.

Bukan hanya itu, pelaku yang kerap mabuk karena obat-obatan atau alkohol juga cenderung kehilangan kendali atas perbuatannya. Hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab KDRT rentan terjadi. Berada di bawah pengaruh zat apa pun sangat meningkatkan kemungkinan perilaku kasar.

Itulah beberapa dampak KDRT perlu diketahui dan dipahami dengan sejelas-jelasnya. Jika mengalami salah satu atau lebih dari gangguan ini, segera dapatkan pemeriksaan dari ahlinya. Hal ini untuk menghindari masalah yang lebih besar, salah satunya pikiran bunuh diri.

Banyak kasus trauma sebenarnya hanya dapat terselesaikan dengan mengubah sudut pandang yang bersangkutan terhadap trauma tersebut. Merubah sudut pandang ini adalah memberikan keyakinan pada korban bahwa apa yang dia alami merupakan hal yang khusus dan tidak semua orang sanggup untuk menjalaninya. Lebih lanjut ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam usaha mengelola pikiran yang mengganggu dan berdamai dengan diri sendiri untuk menghadapi trauma yang dialami, seperti :

1.      Menghindari hal yang mengingatkan kembali trauma. Hal ini bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat dan disertai dengan usaha yang lain. Usaha menghindar ini bukanlah satu hal yang dapat membuat pikiran menjadi aman, namun hanya menghindari kita untuk berpikir berlebihan terhadap trauma dan tidak dapat lepas dari ingatan tersebut.

2.      Melakukan kegiatan menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiran. Sekali lagi, ini bukanlah hal utama yang dapat menenangkan pikiran terhadap ingatan trauma yang dialami. Kegiatan ini bertujuan untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan positif sehingga pikiran kita terisi dengan hal-hal yang positif, misalnya mencoba memulai menanam tanaman, membuat kerajinan tangan, dan kegiatan kreatif lainnya.

3.      Memperhatikan diri sendiri. Dengan merawat fisik untuk tetap sehat, perasaan, dan pikiran kita akan terbawa menjadi sehat juga. Dengan makanan yang sehat dan perilau hidup yang sehat akan menyediakan energi positif bagi pikiran dan jiwa.

4.      Mengikuti kegiatan kelompok dukungan. Mencurahkan pikiran dan perasaan dengan orang lain yang mengalami trauma yang sama akan membantu mengurangi luka yang ada dan pikiran yang mengganggu pada korban kekerasan seksual. Dalam kelompok dukungan, kita melihat orang lain yang mengalami peristiwa serupa dan belajar cara mengatasinya dari mereka.

5.      Membicarakan dengan pendamping, konselor, atau psikolog. Kesehatan pikiran dan jiwa seseorang dapat ditangani oleh orang yang ahi dalam bidang tersebut. Konselor dapat membantu kita untuk menangani pikiran atau perasaan yang terlalu kuat.

Tentunya dalam hal ini seorang korban KDRT membutuhkan seorang konselor untuk menangani kajadian trauma yang mendalam bagi korban KDRT. Penderita trauma adalah seseorang yang memiliki kegoncangan dalam dirinya yang mengakibatkan seseorang tersebut memiliki sakit mental ataupun psikis sakit fisik yang disebabkan oleh sebuah kejadian atau peristiwa yang membekas. Dalam praktiknya seorang konselor harus mampu membantu kliennya dalam berbagai masalah yang masih di bawah wawasan dan wewenang konselor. Salah satunya seseorang penderita trauma. Melalui berbagai pendekatan seorang konselor mampu membantu penderita trauma, salah satu pendekatannya yaitu pendekatan Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT).

Adapun peran konselor dalam pendekatan REBT yaitu : berperan aktif dan diretif, yaitu konselor dapat mengambil peran lebih banyak untuk memberikan penjelasan untuk klien terutama pada awal konseling. Konselor dapat mengkonforntasikan pikiran irasional yang dikemukakan klien. Konselor dapat menggunakan berbagai teknik yang ada untuk menstimulus klien dalam berfikir. Konselor dapat mengembalikan terus menerus berhubungan dengan pemikiran-pemikiran irasional. Konselor dapat membnatu klien dalam mengajak klien untuk mengatasi pemikiran-pemikiran yang irasional menjadi rasonal dan mewujudkannya dalam perilaku yang dimilikinya. Adapun konseling yang akan diterapkan dalam kasus trauma adalah harus dilakukan secara kontinyu, penuh kesabaran, penuh keikhlasan dan betul-betul ada kesadaran dari para profesional (orang-orang yang terlatih) untuk menanganinya secara baik.

Dari beberapa ulasan di atas tentunya korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya merupakan pelakunya saja tetapi korban lain yang tidak mengalami trauma secara langsung seperti anak-anak. Korban maupun pelaku KDRT seolah terjerat dalam mata rantai kekerasan yang sulit di putus, sehingga hal ini mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan dan pada akhirnya mempengaruhi ketidakmampuan menyesuaikan diri dan menyelesaikan masalah-masalah pribadi.

Penanganan masalah KDRT terpadu yang menyasar akar trauma KDRT dapat menjadi pilihan intervensi KDRT yang lebih menyeluruh dan mendalam dan sesuai dengan konteks kekerasan. Masih perlu dikembangkan pemahaman dan penelitian KDRT mengenai berbagai dinamika faktor-faktor psikologis trauma KDRT, baik dari perspektif pelaku dan korban. Hal ini dibutuhkan untuk menyusun program intervensi KDRT dalam rangka mencegah gangguan psikologis lebih lanjut.

 

Referensi :

Irwanto, Hani. 2020. Memahami Trauma. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sutiyono, Agus. 2010. Dahsyatnya Hypnoparenting. Jakarta : Penebar Plus.

Cut Mutia Siregar, Feby Sahfitri Siregar, Khairunnisa Nasution, Hotmalina Pasaribu, dan Renof Muliawan. Dampak Trauma Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan Psikis Anak. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatra Utara.