Rabu, 06 Juli 2022 11:37 WIB

Anemia Defisiensi Besi Pada Anak

Responsive image
11249
Hilda Prasanti Nugraheni, AMG - Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi. Kelompok usia yang paling tinggi mengalami defisiensi besi adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan defisiensi besi. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, 1 dari 3 anak Indonesia berusia di bawah 5 tahun mengalami anemia. Hal ini tentu dapat berdampak jangka panjang dan memengaruhi kualitas generasi masa depan. Anemia defisiensi besi merupakan penyebab anemia terbanyak pada anak. Zat Besi menjadi faktor penting dalam pertumbuhan anak, tidak hanya untuk memproduksi hemoglobin. Zat besi sangat berperan dalam metabolisme anergi, sistem oksidasi, perkembangan dan fungsi syaraf, koneksi sistem jaringan, dan sintesis hormon.

Anemia defisiensi berpotensi menghambat pertumbuhan kognitif, motorik, sensorik, dan sosial anak. Jika tidak ditangani secara tepat, dampaknya dapat menjadi permanen. Sistem kekebalan tubuh anak juga terganggu sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Menurut WHO penyebab anemia gizi pada anak diantaranya:

  • Cadangan besi rendah saat lahir karena anemia pada ibu;
  • Pemberian ASI non-eksklusif;
  • Pengenalan makanan pendamping ASI yang tidak tepat dan terlalu dini (mengakibatkan berkurangnya asupan ASI, asupan zat besi yang tidak mencukupi, dan peningkatan risiko infeksi usus);
  • Pengenalan makanan pendamping yang tepat (kaya zat besi) terlambat;
  • Jumlah zat besi tidak mencukupi dalam makanan, serta bioavailabilitas rendah dari zat besi makanan (misalnya zat besi non-hem);
  • Peningkatan kebutuhan zat besi tidak terpenuhi berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat selama masa bayi dan masa kanak-kanak;
  • Kehilangan zat besi karena beban parasit (misalnya malaria, cacingan);
  • Sanitasi lingkungan yang buruk, air minum yang tidak aman dan personal hygine yang tidak memadai

 

Intervensi gizi dan kesehatan harus dilakukan pada setiap tahap siklus kehidupan untuk mencapai kesehatan yang optimal, dilakukan secara berkelanjutan pada masa prakonsepsi, hamil, neonatal, bayi, balita, anak usia sekolah dan remaja. Hubungan intervensi kesehatan dan gizi berkelanjutan pada tahap siklus kehidupan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Intervensi pada remaja putri dan wanita usia subur sangat penting dilakukan karena akan menentukan kualitas sumber daya manusia generasi berikutnya. Rematri yang sehat dan tidak anemia akan tumbuh dan berkembang menjadi calon ibu yang sehat dan melahirkan bayi sehat. Upaya ini mendukung Gerakan 1000 HPK (hari pertama kehidupan) serta generasi yang bebas anemia.

Jadi untuk memutus mata rantai anemia hal-hal yang dapat dilakukan diantaranya:

  • Memastikan asupan gizi seimbang dengan konsep Isi Piringku;
  • Membiasakan konsumsi sayur dan buah. Kalau anak tidak suka sayur, Ibu harus kreatif dalam membuat menu makanan, sampai akhirnya anak terbiasa makan sayur;
  • Minum air bersih dan matang 8 gelas setiap hari;
  • Olah raga secara rutin, menghindarkan anak main game, agar lebih banyak bergerak;
  • Hidup bersih dengan rajin cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir;
  • Mengurangi junk food dan mengganti cemilan anak dengan yang lebih sehat, misal olahan ubi, pisang rebus, dan lain-lain;
  • Asupan protein hewani dikonsumsi bersama dengan unsur yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aripin Ahmad, Siti Zulfah, Silvia Wagustina. Defisiensi besi dan anemia pada anak usia bawah dua tahun (6-23 bulan) di kabupaten Aceh Besar. Gizi Indon 2014, 37(1):63-70

Saifuddin Sirajuddin, Masni. Kejadian Anemia pada Siswa Sekolah Dasar .Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 3, Februari 2015

Kemenkes RI. Buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta: 2018