Senin, 26 September 2022 14:06 WIB

De Quaervain's Syndrome

Responsive image
12112
dr. Mohammad Faiz Khoirul Anwar, SpOT - RS Ortopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta

Sindrom De Quervain adalah kumpulan gejala yang ditimbulkan akibat dari selaput tendon yang berada di sarung sinovial yang menyelubungi otot extensor pollicis brevis dan otot abductor pollicis longus. Tendon dan otot extensor pollicis brevis dan abductor pollicis longus berfungsi mengontrol posisi, orientasi, pertahanan beban, dan menjaga stabilitas sendi ibu jari. Pada sindrom De Quervain terjadi penebalan retinakulum ektensor pada kompartemen dorsal (ektensor) pertama pergelangan tangan menjadi tiga hingga empat kali lebih tebal dibandingkan normal. Berdasarkan penelitian terbaru, wanita diperkirakan lebih berisiko 8 kali lipat mengalami sindrom De Quervain dibandingkan laki-laki. Risiko tersebut muncul akibat penggunaan ibu jari dan pergelangan tangan saat melakukan pekerjaan rumah tangga yang memberikan tekanan terus-menerus pada dorsal pertama. Prevalensi mencapai puncaknya pada rentang usia 30-55 tahun (Suryani, 2018).

Berdasarkan etiologi, penyebab dari sindrom De Quervain dibagi menjadi tiga yaitu (1) overuse, (2) trauma langsung, dan (3) radang sendi. Gerakan berlebihan dapat membebani sendi carpometacarpal I dan menyebabkan radang dan iskemia di daerah persendian. Trauma langsung juga bisa mengenai otot abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis sehingga struktur otot dapat rusak dan menimbulkan nyeri. Proses radang juga melibatkan erosi tulang sehingga terjadi invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendon. Ketiga mekanisme tersebut dapat menyebabkan peradangan pada tendon dan sendi, apabila berulang akibat trauma repetitif tersebut maka sindrom De Quervain dapat muncul. Beberapa keluhan yang sering disampaikan oleh pasien antara lain nyeri di sekitar ibu jari, bengkak pergelangan tangan, peumpukan cairan, krepitasi, sendi ibu jari kaku, dan penurunan lingkup gerak sendi. Secara obyektif, klinisi dapat melakukan Finkelstein Test yang positif apabila terdapat nyeri hebat sepanjang radius distal (Suryani, 2018).

Pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk menunjang dari temuan subyektif dan obyektif dengan karakteristik seperti soft-tissue swelling di radius dan fokus abnormalitas seperti erosi, sclerosis atau reaksi periosteal. Saat diagnosis sudah ditegakkan terapi yang dapat diberikan pada pasien sindrom De Quervain salah satunya adalah pemberian kortikosteroid dengan bantuan USG. Injeksi kortikosteroid digunakan sebagai faktor kontrol lokal untuk mengurangi inflamasi yang terjadi di tendon. Setelah tatalaksana injeksi dapat diikut imobilisasi menggunakan splint selama 3 minggu hingga 6 bulan. Penelitian saat ini menunjukkan adanya penurunan gejala dan perbaikan VAS skor pada pasien dengan imobilisasi setelah injeksi kortikosteroid. Pilihan terakhir pada sindrom De Quervain adalah tindakan operasi dimana dilakukan regresi total dari struktur yang sudah tidak berfungsi dengan luaran klinis yang bagus hingga 95%. Pasien mengaku tidak mengalami dislokasi tendon, neuroma atau rekurensi setelah tindakan operasi (Mak, 2019).

Pada kesimpulannya, Sindrom De Quervain menjadi salah satu stenosis dari tendon yang mengalami peradangan paling sering akibat dari pekerjaan yang dilakukan sehari-hari terutama oleh profesi tertentu. Diagnosis dapat ditegakkan dari keluhan subyektif pasien dan pemeriksaan obyektif termasuk Finkelstein Test. Pemeriksaan penunjang baik dengan radiografi atau USG dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi pasti peradangan. Tatalaksana sindrom De Quervain dapat dilakukan sesuai dengan indikasi dan klinis pasien untuk tatalaksana bedah atau medikomentosa terlebih dahulu (Mak, 2019).

 

Referensi :

Mak J (2019). De Quervain’s Tenosynovitis: Effective Diagnosis and Evidence-Based Treatment. in Work-related Musculoskeletal Disorders. IntechOpen. doi: 10.5772/intechopen.82029.

Suryani A (2018). Sindrom De Quervain?: Diagnosis dan Tatalaksana. IDI - Continuing Medical Education, 45(8), hal.: 592–595.