Rabu, 07 September 2022 14:43 WIB

Halitosis (Bau Mulut)

Responsive image
5769
drg. Felicia Paramita, Sp.PM - RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Halitosis, atau yang lebih dikenal dengan bau mulut, merupakan suatu masalah yang dapat memengaruhi kualitas hidup karena menurunnya kepercayaan diri dan terganggunya hubungan sosial penderita. Halitosis disebabkan oleh adanya volatile sulfur compounds (VSCs), yaitu hidrogen sulfida, metil mercaptan, dan dimetil sulfida. VSC merupakan produk metabolisme bakteri yang ada di dalam mulut. Beberapa bakteri yang dianggap memiliki potensi untuk menyebabkan halitosis adalah Streptococcus salivarius, Lysobacter-type species, Veillonella dispar, Actinomyces odontolycus, Atopobium parvulum dan Veillonella atypica, Bacillus subtilus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugonosa, coliforms, Bacteroides melanogenicus, Clostridium sporogenes, C. histolyticum, Treponema denticola, Porphyromonas gingivalis, Porphyromonas endodontalis, Prevotella intermedia, Bacteroides loescheii, Enterobacteriaceae, Tannerela forsythensis, Centipeda periodontii, Eikenella corrodens, Fusobacterium nucleatum, dan beberapa bakteri lain yang tidak teridentifikasi.

Secara garis besar, halitosis dapat dibagi menjadi 3, yaitu: genuine halitosis, pseudo-halitosis, dan halitofobia. Genuine halitosis dapat terjadi baik secara fisiologis maupun patologis. Halitosis dapat terjadi secara fisiologis karena menurunnya laju alir saliva ketika tidur dan karena beberapa makanan yang memiliki bau yang khas, seperti bawang putih, jengkol, petai, dan durian. Hal lain yang dapat menyebabkan halitosis adalah faktor hormonal, seperti pada saat menstruasi, yang dapat menyebabkan peningkatan VSCs.

Sementara itu, halitosis patologis dapat disebabkan oleh hubungan multifaktorial antara beberapa faktor, yaitu:

- Faktor lokal: saliva, pH, plak dan kalkulus, penyakit jaringan periodontal (jaringan penyangga gigi), karies dentis, impaksi makanan, dan lain-lain.

Faktor sistemik: penyakit sistemik.

Faktor psikogenik: penyakit psikiatri, stres, kecemasan, dan lain-lain.

FAKTOR LOKAL

Halitosis yang berasal dari rongga mulut biasanya disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk dan dapat terlihat dari adanya tongue coating, plak gigi, karies dentis, gingivitis, periodontitis, dan hairy tongue. Permukaan lidah merupakan tempat yang luas yang memudahkan bakteri membentuk populasi yang kemudian menciptakan kumpulan sisa-sisa makanan dan saliva yang dapat dimetabolisme oleh bakteri untuk memproduksi VSC.

FAKTOR SISTEMIK

Selain faktor lokal yang telah disebutkan di atas, faktor sistemik juga dapat berkontribusi pada kejadian halitosis. Penyakit yang dilaporkan menjadi kontributor dalam terjadinya halitosis yaitu demam, sinusitis kronik, adanya post nasal drip, diabetes, dan gagal ginjal. Penyebab ekstra oral halitosis yang paling sering adalah infeksi saluran napas atas. Ketika seseorang mengalami infeksi saluran napas atas, orang tersebut akan cenderung bernapas melalui mulut sehingga menyebabkan mulut kering dan perubahan flora normal mulut.

Selain itu, halitosis dapat pula disebabkan oleh konsumsi beberapa obat-obatan seperti garam litium, metronidazole, bifosfonat, dan griseovulfin yang secara langsung menyebabkan halitosis. Obat-obatan lain seperti antihistamin, antidepresan, diuretik, antiepilepsi, dan relaksan otot dapat menyebabkan mulut kering sehingga menyebabkan halitosis sebagai efek sekundernya.

FAKTOR PSIKOGENIK

Kondisi psikologis seseorang dapat meningkatkan atau menurunkan kesadaran seseorang akan halitosis. Lebih jauh lagi, stres dapat menyebabkan menurunnya laju alir saliva sehingga terjadi retensi plak yang menyebabkan peningkatan produksi VSC. Sebaliknya, ada suatu kondisi yang dinamakan pseudo-halitosis, yaitu kondisi yang menyebabkan seseorang meyakini dirinya memiliki halitosis walaupun sebenarnya tidak. Apabila seseorang meyakini dirinya memiliki halitosis dan tetap berpegangan pada keyakinan tersebut walaupun sudah dijelaskan dan diedukasi, serta tidak ditemukan adanya penyebab halitosis, individu tersebut termasuk ke dalam kelompok halitofobia.

Untuk dapat mencapai suatu diagnosis halitosis, dibutuhkan pemeriksaan yang menyeluruh. Pemeriksaan subjektif dilakukan dengan menanyakan riwayat keluhan saat ini. Sejak kapan bau mulut dirasakan, kapan saja bau mulut dirasakan, hal-hal apa saja yang dapat memperberat atau meringankan keluhan tersebut penting untuk ditanyakan secara detil untuk memastikan apakah yang dirasakan individu tersebut merupakan genuine halitosis atau pseudo-halitosis.

Selanjutnya, setelah anamnesis yang mendetail, dokter gigi biasanya melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah benar ada halitosis atau tidak. Pemeriksaan yang paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mengecek ada atau tidaknya halitosis adalah dengan pemeriksaan organoleptik. Individu yang dicurigai memiliki halitosis diinstruksikan untuk mengambil napas dalam kemudian dihembuskan melalui mulut secara langsung atau melalui sebuah pipa, dan pemeriksa berada di jarak 20 cm untuk menilai ada atau tidaknya halitosis. Pemeriksaan ini dianggap sebagai baku emas pemeriksaan halitosis karena mudah dan murah. Kekurangannya, pemeriksaan ini memerlukan penilaian pemeriksa yang dapat menimbulkan subjektivitas.

Pemeriksaan halitosis lain yang dapat dilakukan adalah dengan gas chromatography. Pemeriksaan ini dianggap lebih objektif dan reproducible. Dengan menggunakan alat gas chromatography, kita dapat mengukur VSCs. Namun, penggunaan gas chromatography dinilai sulit dan harus dilakukan oleh operator yang berpengalaman.

Apabila setelah pemeriksaan ditemukan halitosis, maka hal pertama yang dapat dilakukan adalah memperbaiki kebersihan rongga mulut. Menyikat gigi dengan cara yang benar dan waktu yang tepat, menyikat lidah, penggunaan benang gigi, dan penggunaan sikat gigi interdental adalah hal yang sangat penting. Selain kebersihan rongga mulut, gigi berlubang dan tambalan gigi yang tidak baik yang menyebabkan impaksi atau retensi makanan harus diperbaiki. Setelah semua kondisi rongga mulut diperbaiki, halitosis akan dinilai ulang.

Halitosis yang menetap setelah perbaikan kondisi rongga mulut harus dicurigai sebagai halitosis yang penyebabnya berasal dari ekstra oral. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah halitosis tersebut berasal dari saluran pernapasan, saluran pencernaan dan hepatik, ginjal, dan penyakit endokrin maupun hematologis.

Sebagai kesimpulan, diagnosis dan manajemen halitosis merupakan proses yang panjang. Pemeriksaan harus dilakukan secara detil untuk melihat apakah individu tersebut mengalami genuine halitosis atau tidak, dan jika memang dibuktikan ada halitosis, tata laksana menyeluruh perlu dilakukan karena halitosis dapat memengaruhi kualitas hidup dan kehidupan sosial seseorang.

 

Referensi:

Contemporary Oral Medicine: A Comprehensive Approach to Clinical Practice

Schertel Cassiano L, Abdullahi F, Leite FRM, Peres MA, Nascimento GG (2021). The association between halitosis and oral-health-related quality of life: A systematic review and meta-analysis. Journal of Clinical Periodontology, 1-12.

Aylikci BU, Colak H (2013). Halitosis: From diagnosis to management. Journal of Natural Science, Biology and Medicine, 14-22.

Murata T, et al (2002). Classification and examination of halitosis. International Dental Journal, 181-186.