Selasa, 06 September 2022 13:21 WIB

Depresi dan Bunuh Diri

Responsive image
35978
dr.Agung Frijanto, Sp.KJ, MH. - RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta

Menyambut Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day 2022) pada 10 September 2022, World Health Organization (WHO)  mengambil tema Creating Hope Through Action. Dalam upaya mencegah bunuh diri perlu kiranya kita memahami penyebab utama bunuh diri yaitu kondisi depresi pada individu. Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan nomor 4 penyakit di dunia, dan diprediksikan  akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama. Bunuh diri menjadi isu kesehatan masyarakat serius saat ini. Menurut WHO, 2019, sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun, di dunia. Angka bunuh diri lebih tinggi pada usia muda. Di Asia Tenggara, angka bunuh diri tertinggi terdapat di Thailand yaitu 12.9 (per 100.000 populasi), Singapura (7,9), Vietnam (7.0), Malaysia (6.2), Indonesia  (3.7), dan Filipina (3.7). Perilaku bunuh diri (ide bunuh diri, rencana bunuh diri, dan tindakan bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa, misalnya gangguan depresi. Gejala depresi, misalnya merasa tidak berguna, tidak ada harapan atau putus asa merupakan faktor risiko bunuh diri. Sebanyak 55% orang dengan depresi memiliki ide bunuh diri. Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung dan iritabilitas. Pasien mengalami distorsi kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul rasa menyalahkan diri sendiri, perasaan tidak berharga, kepercayaan diri turun, pesimis dan putus asa. Terdapat pula rasa malas, tidak bertenaga, retardasi psikomotor, dan menarik diri dari hubungan sosial. Pasien mengalami gangguan tidur seperti sulit masuk tidur atau terbangun dini hari. Nafsu makan berkurang, begitu pula dengan gairah seksual. Pada stadium depresi yang berat tidak jarang individu dapat menjadi frustasi dan putus asa hingga muncul ide untuk menyakiti diri sendiri bahkan sampai ide untuk bunuh diri. Kondisi memprihatinkan ini juga didukung oleh data dari WHO yang menyatakan bahwa angka bunuh diri akibat depresi bisa mencapai angka sekitar satu juta pertahun di seluruh dunia.

Di kalangan awam banyak yang berpendapat bahwa depresi terjadi hanya karena stresor psikososial yang berat yang menimpa seseorang dan orang tersebut tidak mampu mengatasinya. Depresi merupakan salah satu gangguan emosi karena itulah maka banyak orang juga menduga bahwa gangguan tersebut hanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang buruk seperti masalah ekonomi, keluarga, pekerjaan serta masalah psikososial lainnya. Sehingga tidak jarang masyarakat menilai bahwa individu yang stress kemudian depresi dan bunuh diri adalah akibat semata-mata hanya karena ’lemah mental’ hingga’lemah iman’. Sangat sedikit orang yang mengetahui bahwa pada depresi terdapat gangguan neurobiologik dan neurokimiawi di otak. Padahal menurut pendekatan Psikiatri terdapat beberapa faktor penyebab depresi, yaitu mulai dari faktor genetik sampai dengan faktor non-genetik. Faktor genetik, seperti gangguan neurokimiawi, gangguan neuroendokrin , hingga perubahan neurofisiologi . Sedangkan faktor non-genetik (psikososial) adalah seperti  kehilangan obyek yang dicintai, hilangnya harga diri, distorsi kognitif serta ketidakberdayaan yang dipelajari (pola asuh keluarga yang depresif).

Adapun faktor-faktor risiko depresi adalah pertama jenis kelamin yaitu pada wanita angka depresi lebih tinggi dibanding pria, kemungkinan hal ini dipengaruhi ketidakseimbangan hormonal misalnya adanya depresi prahaid, pasca melahirkan dan postmenopause. Kedua adalah usia, yaitu depresi lebih sering terjadi pada usia muda. Frekuensi tertinggi pada usia produktif sekitar 20-40 tahun. Meskipun  demikian, depresi juga dapat terjadi pada anak-anak dan lanjut usia. Ketiga adalah status perkawinan, yaitu depresi lebih sering dialami individu yang bercerai atau berpisah bila dibandingkan dengan yang menikah atau lajang. Faktor keempat adalah letak geografis, dimana masyarakat kota menurut penelitian memiliki angka depresi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedesaan. Faktor berikutnya adalah latar belakang keluarga yang memiliki riwayat hidup depresif, bunuh diri dan pecandu alkohol. Selanjutnya adalah faktor kepribadian, yaitu individu dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas, hipersensitif, serta lebih bergantung pada orang lain sehingga akan lebih rentan terhadap depresi. Sedangkan faktor risiko yang terakhir adalah stresor psikososial yaitu suatu keadaan yang dirasakan sangat menekan sehingga seseorang  tidak dapat beradaptasi dan bertahan. Peristiwa-peristiwa kehidupan misalnya, pertengkaran yang kerap terjadi di tempat kerja atau di rumah tangga, kesulitan keuangan, dan ancaman yang menetap terhadap keamanan (tinggal di daerah yang berbahaya atau konflik) dapat pula mencetuskan depresi.

Upaya Pencegahan dan Pengobatan

Pada individu yang sehat mentalnya selain tidak memiliki faktor risiko depresi secara genetik, mereka juga mempunyai mekanisme pertahanan diri yang baik dalam menghadapi stresor, yaitu mempunyai kepribadian yang matang, fleksibel, terbuka dan memiliki kehidupan yang religius. 

Oleh karena itu, manajemen gejala depresi perlu dioptimalkan, untuk mengurangi risiko bunuh diri dan mencegah bunuh diri pada orang dengan depresi. Namun, beberapa kendala sering ditemui, misalnya keengganan orang dengan depresi mengungkapkan adanya ide bunuh diri karena faktor budaya, agama dan ketakutan akan distigma. Asesmen yang akurat tentang bunuh diri sangat diperlukan agar tatalaksana yang tepat segera dapat diberikan. Ide bunuh diri akan bertransisi menjadi rencana bunuh dan akhirnya tindakan bunuh diri. Esketamin intranasal, obat baru, efektif untuk mengatasi perilaku bunuh diri.

Lalu bagaimana peran keluarga, lingkungan dan tenaga medis dalam mengantisipasi situasi tersebut? Yang terpenting adalah segera mengenali perubahan perilaku yang terjadi pada individu yang mengalami gejala awal depresi. Biasanya individu tersebut mulai banyak keluhan fisik yang tidak kunjung sembuh, perilaku yang menarik diri dari pergaulan sosial, menjadi pendiam serta mudah tersinggung (iritabilitas) akibat emosi yang tidak stabil. Usahakan tidak bersikap menghakimi atau menyalahkan, namun langkah terbaik adalah bersikap empati dengan mendengar segala keluh kesahnya sambil terus berupaya menyarankan individu tersebut  untuk datang berobat ke pelayanan kesehatan terdekat.

Disamping itu salah satu upaya dalam Ilmu Kedokteran Jiwa adalah pendekatan komunitas. Yaitu upaya maksimal untuk memberikan edukasi, advokasi dan berbagai upaya preventif lainnya untuk mengurangi dampak akibat gangguan jiwa. Upaya yang dirasakan sangat efektif dan efisien adalah deteksi dini gangguan depresi di masyarakat. Dengan memberikan pelatihan dan ketrampilan mendiagnosis depresi secara cepat serta tepat kepada dokter umum di pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas/klinik umum), diharapkan dapat menekan angka kematian akibat depresi berat yaitu bunuh diri. Tidak kalah pentingnya adalah advokasi kepada para tokoh masyarakat dan keluarga untuk mengenal gejala dini dari berbagai gangguan jiwa, khususnya depresi. Sehingga jika ada anggota keluarganya yang mulai tampak terjadi perubahan perilaku ke arah berbagai gejala depresi, maka sesegera mungkin membawanya ke pusat pelayanan kesehatan. Dengan pengobatan yang komprehensif dan holistik, yaitu biologi (obat-obatan), psikosoial (psikoterapi/konseling) dan spiritual, maka insya Allah individu yang mempunyai kecenderungan memiliki kepribadian yang rentan depresi akan dapat tertolong dengan mengetahuinya  secara dini. Sehingga dampak terhadap gangguan kesehatan jiwa akibat pandemi dan kondisi perekonomian global yang berimbas hingga ke segenap lapisan masyarakat, dapat dihindari dan diminimalisir

 

Referensi :

WHO, World Suicide Prevention Day, ” Creating Hope Through Action”, 2022.

Kok Yoon Chee, et.al,. A Southeast Asian expert consensus on the management of major depressive disorder with suicidal behavior in adults under 65 years of age, BMC Psychiatry, 2022.