Senin, 08 Agustus 2022 12:34 WIB

Diagnosis dan Penatalaksanaan Hiperakusis

Responsive image
3136
Dr.dr.Made Lely Rahayu,Sp.TH.T.K.L(K), dr.Idola Pr - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Hiperakusis adalah penurunan toleransi suara terhadap suara lingkungan biasa. Hiperkusis merupakan gejala dari kondisi medis tertentu. Penderita hiperakusis menggambarkan pengalaman suara sehari-hari yang awalnya normal menjadi dianggap dirasakan sebagai suara yang keras, tidak menyenangkan, menakutkan dan menyakitkan. Hiperakusis dapat menyebabkan depresi, kecemasan, insomnia dan pikiran untuk bunuh diri.

Dalam sebagian besar kasus, tidak ada kondisi medis yang mendasari yang dapat ditemukan. Kondisi dimana hiperakusis telah dilaporkan sebagai gejala telah ditinjau oleh Katzenell dan Segal yang diidentifikasikan menjadi 2 penyebab, yaitu yang melibatkan sistem pendengaran perifer dan sindrom sistem saraf pusat. Kondisi yang melibatkan sistem pendengaran perifer, misalnya Bell’s palsy, sindrom ramsay-hunt, gangguan pendengaran akibat kebisingan, penyakit meniere. Penyakit dan sindrom sistem saraf pusat misalnya sakit kepala, depresi, cedera kepala, sindrom Williams, hormonal pada penyakit Addison dan penyakit menular pada penyakit lyme.4 Menurut Kujawa dan Liberman hilangnya koneksi sinaptik antara sel rambut dalam dan proses dendritik sel ganglion spiral. Koneksi sinaptik tampaknya menjadi elemen yang paling berisiko dari sistem pendengaran perifer, dan kehilangannya dapat menyebabkan kematian sel rambut dan/atau menyebabkan hiperaktivitas sistem pendengaran pusat.1

Menurut Tyler et al klasifikasi dari hiperakusis dibagi menjadi hiperakusis nyaring (loudness hyperacusis), hiperakusis menganggu (Annoyance hyperacusis), hiperakusis menakutkan (fear hyperacusis) dan hiperakusis nyeri (pain hyperacusis).2 Klasifikasi hiperakusis berdasarkan level ketidaknyamanan kenyaringan (loudness discomfort level (LDL)) adalah negatif atau tidak ada bila LDL 95 dB atau lebih pada semua frekuensi, ringan bila LDL 80-90 dB pada 2 atau lebih frekuensi, sedang bila LDL 65-75 dB pada 2 atau lebih frekuensi, dan berat bila LDL 60 dB atau lebih rendah pada 2 atau lebih frekuensi.3 Tidak ada protokol standar untuk mendiagnosis hiperakusis. Penilaian untuk mendiagnosa hiperakusis biasanya melibatkan audiometri nada murni, pengukuran tingkat kenyaringan tidak nyaman (uncomfortable loudness level (ULL)), dan kuesioner hiperakusis. Ambang rata-rata nada murni (Pure Tone Audiometry (PTA)) di seluruh frekuensi 0,5, 1, 2, dan 4 kHz memberikan ukuran suara terlemah yang dapat dideteksi untuk nada dengan frekuensi berbeda, Menurut P.J Jastreboff dan M.M Jastreboff  ULL rata-rata untuk pasien yang melaporkan dengan hiperakusis adalah antara 60-85 dB.4 Kuesioner hiperakusis digunakan untuk mengukur hipersensitivitas terhadap suara tertentu yang berhubungan dengan kualitas hidup dan untuk mendiagnosis hiperakusis, terdiri dari 2 bagian, bagian pertama terdiri dari pertanyaan biner yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi umum tentang gangguan pendengaran dan paparan kebisingan, sedangkan bagian kedua terdiri dari 14 item dengan kata-kata negatif, yang dinilai dengan 4 poin, skala: “tidak” (0 poin), “ya, sedikit” (1 poin), “ya, cukup banyak” (2 poin), dan “ya, banyak” (3 poin). Rentang skor global rata-rata dari 0 hingga 42 dan skor global >28 menunjukkan hiperakusis.5 Nilai batas yang direkomendasikan untuk mendiagnosa hiperakusis adalah ULL minimal 77 dB HL dan skor hiperakusis kuesioner 22.2

Hiperakusis dapat disembuhkan jika disebabkan oleh kondisi lain seperti migrain, cedera kepala, atau penyakit lyme. Jika tidak ada penyebab yang jelas, prinsip penatalaksanaan hiperakusis membantu membuat telinga tidak terlalu sensitif terhadap suara sehari-hari. Terapi yang dapat dilakukan untuk hiperakusis adalah terapi suara dan terapi perilaku kognitif (Cognitive behavioral therapy (CBT)). Terapi suara dengan menggunakan musik, desensitisasi dengan suara yang menyenangkan, tinitus retraining therapy (TRT). 6 Terapi CBT terdiri dari enam sesi terapi, yaitu pendidikan mengenai hiperakusis, pertanyaan individual tentang reaksi hiperakusis, terapi paparan, pengayaan suara lingkungan, relaksasi terapan, aktivasi perilaku, dan penetapan tujuan.7

           

 

 

 

Referensi :

 

Kujawa, S.G., Liberman, M.C., 2017 Synaptopathy in the noise-exposed and aging cochlea: Primary neural degeneration in acquired sensorineural hearing loss. Hear Res. 330 (Pt-B), 191-199.

Tyler RS, Pienkowski M, Rojas Roncancio E, Jun HJ, Brozoski T, Dauman N, et al. A review of hyperacusis and future directions: Part I. Definitions and manifestations. Am J Audiol. 2014;23:402–19.

Aazh H., & Moore, B.C.I. (2017). Incidence of discomfort during pure-tone audiometry and measurement of uncomfortable loudness levels among people seeking help for tinnitus and/or hyperacusis. American Journal of Audiology; 26:226–232.

Jastreboff, P. J., & Jastreboff, M. M. (2015). Decreased sound tolerance: Hyperacusis, misophonia, diplacousis, and polyacousis. In M. J. Aminoff, F. Boller, D. F. Swaab (Eds.), Handbook of Clinical Neurology (Vol. 129, pp. 375–387). Elsevier

S. Khalfa, S. Dubal, E. Veuillet, F. Perez-Diaz, R. Jouvent, and L. Collet, “Psychometric normalization of a hyperacusis questionnaire,” ORL Journal for Oto-Rhino-Laryngology and its Related Specialities, vol. 64, no. 6, pp. 436–442, 2002.

Pienkowski M, Tyler RS, Roncancio ER, Jun HJ, Brozoski T, Dauman N, et al. A review of hyperacusis and future directions: Part II. Measurement, mechanisms, and treatment. Am J Audiol. 2014;23:420–36.

Juris L, Andersson G, Larsen HC, Ekselius L. Cognitive behaviour therapy for hyperacusis: A randomized controlled trial. Behav Res Ther. 2014;54c:30–7.