Pendahuluan
Puasa di bulan Suci Ramadhan merupakan kewajiban umat muslim. Puasa dilakukan selama 12-20 jam dalam setiap harinya (tergantung posisi negara) dan dilakukan selama 29-30 hari. Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari tipe puasa intermiten yang biasa dilakukan di kalangan medis. Pada saat berpuasa akan terjadi proses katabolisme, pada saat ini akan terjadi pembongkaran cadangan makanan, asupan makanan dan minuman turun sehingga akan terjadi penurunan berat badan dan pengurangan aktivitas. Pada saat tidak puasa proses katabolisme akan berhenti dan cadangan makanan akan terjaga lagi ketersediaannya. Pada kondisi sakit saluran cerna pada dasarnya puasa intermiten ini aman dengan pengaturan makanan berupa jenis makanan, porsi makan dan waktu makan. Begitu pula pada penyakit lain seperti penyakit diabetes, jantung, ginjal dan penyakit lain yang dalam kondisi stabil dapat melaksanakan ibadah Puasa Ramadan dengan aman dan sehat.
Fase-fase pencernaan makanan
Pencernaan makanan melalui 3 fase yaitu fase otak, fase lambung, dan fase usus. Fase otak (cephalic) dimulai dengan ketika kita merasa, membau, berfikir tentang makanan, serta adanya sensasi makanan di mulut akan merangsang media oblongata di hipotalamus untuk meneruskan sinyal tersebut melalui saraf vagus ke lambung, yang kemudian merangsang sekresi gastrin dan histamin (asam lambung) yang disampaikan melalui pembuluh darah lambung ke permukaan lambung. Rangsangan terus menerus pada fase lambung otak akan berlanjut ke fase lambung (Gastric) dengan disekresinya asam lambung disertai dengan pergerakan lambung. Sekresi akan berlanjut bila ada makanan yang masuk ke lambung dan akan terjadi proses pencernaan makanan dibantu oleh asam lambung dan enzyme pencernaan hingga makanan sudah berbentuk chyme dengan PH lambung 2-4 (proses berlangsung hingga 4-5 jam. Selanjutnya chyme akan dialirkan ke usus dua belas jari dan usus halus untuk penyerapan nutrisi yang akan dimetabolisme oleh hati untuk dijadikan tenaga. Pada saat itu lambung istirahat dan pengurangan sekresi gastrin.
Sisa makanan yang tidak dicerna akan dibuang melalui usus besar dan dikeluarkan dalam bentuk tinja.
1. Fase otak (cephalic)
2. Fase lambung (gastric)
3. Fase usus (intestinal)
Metabolisme makanan pada individu sehat pada saat berpuasa
Puasa Ramadhan dilakukan antara 29 –30 hari dengan jarak antar waktu Ramadhan berikutnya maju sekitar 10 hari. Durasi puasa berkisar 12 jam hingga 20 jam tergantung musim dan letak geografis.
Pada saat berpuasa akan terjadi beberapa hal diantaranya :
1. Perubahan jumlah, waktu, komposisi makan
2. Jadwal makan berubah menjadi 2x (makan sahur dan berbuka puasa)
3. Jumlah (porsi) makan lebih banyak pada saat berbuka puasa dibandingkan saat makan sahur, dominan asupan biasanya dalam bentuk kalori
4. Aktivitas fisik meningkat pada malam hari (Shalat Tarawih)
5. Rata-rata asupan kalori 1200 kkal/hari; dan BB turun sekitar 2 kg
6. Volume urine berkurang dan osmolalitasnya meningkat karena asupan minum berkurang
Pengaruh lama puasa terhadap pembongkaran cadangan makanan
Selama 12 jam puasa akan terjadi fase ketosis, sumber tenaga digantikan oleh keton. Puasa selama 18 jam, pembongkaran lemak sebagai sumber tenaga untuk dijadikan keton. Puasa selama 24 jam akan terjadi autofagi, yakni membongkar cadangan makanan. Puasa selama 48 jam tanpa asupan kalori, protein dan mineral akan terjadi peningkatan aktivitas hormon pertumbuhan sebesar 5 kali lipat. Puasa selama 54 jam, akan terjadi pengrangan sekresi insulin, turun hingga kadar terendah dan berisiko terjadinya resistensi insulin.
Puasa selama 72 jam akan menimbulkan pembongkaran sistem imun serta pembuatan sel imun baru durasi atau lama waktu individu melakukan puasa akan mempengaruhi beberapa hal, diantaranya :
1. Cadangan sumber tenaga (energi) akan berkurang walaupun pengurangan ini dipengaruhi juga dengan jumlah asupan kalorinya
2. Tubuh mempunyai kesempatan untuk memulihkan energi
3. Selama berpuasa terjadi pembongkaran cadangan makanan yang diperlukan untuk dijadikan tenaga selama berpuasa
4. Secara otomatis tubuh akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, mengatasi infeksi dan mempertahankan sintem imun. Hal ini akan terjadi hambatan atau pengurangan fungsi ketika cadangan makanan mengalami defisit
5. Pada kondisi puasa terlalu lama tanpa adanya asupan pengganti, makan akan terjari risiko seperti komplikasi dan efek negatif saat akan memulai makan
Berpuasa secara intermiten sangat dianjurkan karena tidak menyebabkan gangguan metabolisme secara berlebihan dan pada saat berbuka puasa penggantian asupan makanan akan membantu pemulihan energi. Puasa yang dilakukan selama 10–14 jam akan menyebabkan terjadinya pembongkaran cadangan makanan di hati berupa glikogen hati dan pembongkaran lemak-lemak otot dalam bentuk trigliserid (gambar 2)
Manfaat Puasa Ramadhan dan Kesehatan
Puasa Ramadhan merupakan salah satu contoh puasa secara intermiten yang dilakukan dengan cara berpuasa makan dan minum selama kurang lebih 14 jam hingga 20 jam tergantung dari letak negara dan musim yang berkaitan dengan mulai berpuasa sejak beberapa saat sebelum terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Untuk kemudian berbuka puasa untuk sisa waktu tersebut. Pada saat berpuasa aktivitas fisik biasanya relatif berkurang.
Apa yang pengaruh berpuasa Ramadhan terhadap kesehatan tubuh kita? Berikut ini adalah beberapa parameter perubahan:
1. Hematologik, jumlah lekosit tidak ada perubahn yang signifikan, kadar haemoglobin, RBC dan WBC meningkat dan jumlah trombosit meningkat
2. Penurunan kadar kolesterol total, trigliserid, LDL dan VLDL, serta peningkatan HDL kolesterol secara bermakna
3. Tidak ada perubahan pada hormon-hormon
4. Penurunan indeks mas tubuh, lemak tubuh, dan lingkar pinggang
5. Pada sistem kardiovaskuler : tensi darah turun, tidak ada peningkatan kejadian penyakit koroner turun, stroke, gagal jantung maupun fibrilasi atrial
6. Adanya perbaikan dan peningkatan fungsi respiratori secara bermakna
7. Sistem penglihatan terjadi perbaikan secara bermakna kecuali pada kondisi kelainan mata tertentu (ekifalen sferikal dan astigmata kornea)
8. Perbaikan faktor-faktor keradangan, sitokin, tumor necrosis factor dan penanda tumor
Puasa Ramadhan aman bagi penderita penyakit saluran cerna
Berpuasa untuk sementara waktu atau dalam periode tertentu (intermiten) dapat dilakukan sebagai alternatif tatalaksana penyakit saluran cerna yang tidak respon dengan pengobatan. Tujuannya adalah untuk mengistirahatkan sementara saluran cerna. Sebagai alternatif tatalaksana apabila tidak berespon dengan pengobatan. Berpuasa ternyata berefek positif dalam memperbaiki gejala pada penyakit Irritable Bowel Syndrome (IBS) dan Irritable Bowel Disease (IBD). Penelitian pada hewan coba dengan keradangan usus (colitis) diterapkan pembatasan waktu dan pembatasan kalori secara intermiten dapat membantu memperbaiki radang usus.
Berpuasa secara intermiten bermanfaat dalam perbaikan penyakit radang usus Crohn’s dan perbaikan microbiota usus. 8 jam periode waktu makan (contoh: jam 11.00 sampai dengan jam 19.00), jenis makanan diet normal. Kemudian berpuasa selama 16 jam (jam 19.00 sampai dengan jam 11.00) akan tetapi masih diperbolehkan minum air putih atau air kopi hitam.
Secara otomatis selama puasa intermiten tubuh kita akan mengalami adaptasi. Sistem saraf dan endokrin akan merespon positif selama tidak ada sumber makanan yang masuk selama berpuasa. Usus diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak sehingga bisa ada kesempatan perbaikan sel-sel usus. Cadangan makanan dalam bentuk lemak akan dibongkar untuk dijadikan tenaga (katabolisme). Glikogen otot dibongkar untuk dijadikan sumber tenaga. Manfaat yang diperoleh adalah terjadi peningkatan sensitifitas insulin, anabolisme akan terjaga serta peningkatan ketahanan tubuh terhadap stress.
Strategi / antisipasi puasa Ramadhan pada individu dengan sakit lambung dan usus
Keberhasilan dalam menjalankan puasa Ramadhan bagi individu dengan penyakit lambung dan usus diperlukan keberanian untuk menjalankan puasa dengan strategi pengaturan pola makan, jenis makanan, waktu makah sahur dan berbuka. Dan tidak kalah penting adalah keberanian untuk berpuasa, percaya diri dan usaha mengalahkan kekhawatiran nyeri lambung atau usus kambuh atau bertambah parah.
Berikut ini tips cara berpuasa Ramadhan pada penderita sakit lambung dan usus :
1. Makan dengan porsi sesuai dengan kebutuhan kalori dan protein
2. Hindari makanan dan minuman yang dapat menyebabkan kekambuhan (spice, keras, tidak matang atau setengah matang, kecut, bersoda, kopi)
3. Makan perlahan (tidak tergesa) yakin dan percaya pada diri sendiri bahwa makanan dan minuman dapat bermanfaat dan puasa Ramadhan dapat sukses (berdo’a dan pasrahkan kepada Allah SWT).
4. Dekatkan jarak makan sahur ke saat imsyak; dan saat berbuka puasa /ta’jil minum hangat dan snack (manis) didahulukan
5. Jangan tidur setelah perut terisi makanan, bila mengantuk tinggikan dada-perut (posisi setengah duduk dengan sudut 15-30o)
6. Bila masih menkonsumsi obat silahkan diminum sebelum makan utama atau setelah makan utama (sesuai petunjuk dokter)
Ringkasan
Berpuasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu jenis puasa intermiten (ada periode tanpa asupan makanan untuk kemudian berbuka) yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Pada prinsipnya puasa intermiten sangat bermanfaat dalam proses metabolisme tubuh kita. Tubuh kita diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak dan tubuh akan melakukan peremajaan sel-sel terutama sel-sel usus, membongkar timbunan lemak, memperbaiki sensitifitas insulin sehingga keseimbangan metabolisme terjaga dengan baik. Berpuasa Ramadhan pada penderita penyakit usus dan lambung yang sudah stabil pada dasarnya aman serta sangat bermanfaat untuk kesehatan serta dapat memulihkan kondisi psikis dan kecemasan.
Daftar pustaka:
Kanazawa M & Fukudo S. Effects of Fasting Therapy on Irritable Bowel Syndrome. International Journal of Behavioral Medicine. 2006 (13): 214–220
Longo VD, Mattson MP. Fasting: Molecular Mechanisms and Clinical Applications. Cell Metabolism. 2014 (19): 181-192
Meo SA & Hassan A. Physiological changes during fasting in Ramadan. Ramadan and Diabetes, 2015 (65;5): suppl. 1
de Cabo R, & Mattson MP. Effects of Intermittent Fasting on Health, Aging, and Disease. N Engl J Med 2019; 381:2541-51
Flemming D, Intermittent Fasting is Effective in Treating Irritable Bowel Disease (IBD). Geriatric in home care, 17 May 2019.
Zhang X., Zou Q., Zhao B., Zhang J., Zhao W etal. Effects of alternate-day fasting, time-restricted fasting and intermittent energy restriction DSS-induced on colitis and behavioral disorders. Redox Biol. 2020 (32): 101535.
Lukin DJ. 2021. Weill Medical College of Cornell University