Jumat, 05 Agustus 2022 13:51 WIB

Anemia dalam Kehamilan

Responsive image
97085
Endhang Kusumastuti, A.Md. Keb. - RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

     Anemia merupakan kondisi dimana sel darah merah tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis tersebut berbeda pada setiap orang, dimana dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, tempat tinggal, perilaku merokok, dan tahap kehamilan. Berdasarkan WHO, anemia pada kehamilan ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <11 g/dL. Sedangkan center of disease control and prevention mendefinisikan anemia sebagai kondisi dengan kadar Hb <11 g/dL para trimester pertama dan ketiga, Hb <10,5 g/dL pada trimester kedua, serta <10 g/dL pada pasca persalinan.

     Kejadian anemia atau kekurangan darah pada ibu hamil di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu sebanyak 48,9% (menurut Kemenkes RI tahun 2019). Kondisi ini mengatakan bahwa anemia cukup tinggi di Indonesia dan menunjukkan angka mendekati masalah kesehatan masyarakat berat (severe public health problem) dengan batas prevalensi anemia lebih dari 40% (Kemenkes RI, 2013). Anemia bukan hanya berdampak pada ibu, melainkan juga pada bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan kemungkinan besar mempunyai cadangan zat besi yang sedikit atau bahkan tidak mempunyai persediaan sama sekali, sehingga akan mengakibatkan anemia pada bayi yang dilahirkan. Dampak anemia pada ibu hamil dapat diamati dari besarnya angkat kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakitan dan kematian janin, serta peningkatan resiko terjadinya berat badan lahir rendah.

     Faktor risiko anemia pada kehamilan ada 5, yaitu : (1) Asupan Nutrisi, asupan nutrisi sangat berpengaruh terhadap resiko anemia pada ibu hamil. Selain kurangnya zat besi, kurangnya kadar asam folat dan vitamin B12 masi sering terjadi pada ibu hamil. Oleh karena itu, ibu hamil disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang memiliki komposisi nutrisi bervariasi. (2) Diabetes Gestasional, pada kondisi hiperglikemi, transfrin yang mengakomodasi peningkatan kebutuhan besi janin mengalami hiperglikosilasi sehingga tidak bisa berfungsi optimal. (3) Kehamilan Multipel, kebutuhan besi pada kehamilan multipel lebuh tinggi dibandingkan dengan kehamilan tunggal. (4) Kehamilan Remaja, anemia pada kehamilan remaja disebabkan oleh multifaktoral, seperti akibat penyakit infeksi, genetik, atau belum tercukupinya status nutrisi yang optimal. (5) Inflamasi dan Infeksi dalam kehamilan, kondisi infeksi dan inflamasi dapat memicu keadaan defisiensi besi. Infeksi seperti cacing, tuberculosis, HIV, malaria, maupun penyakit lain.

Adapun jenis anemia pada kehamilan di antaranya :

1.    Anemia karena perdarahan, anemia karena perdarahan bisa terjadi pada masa kehamilan dan pada masa nifas.

     Anemia akibat perdarahan dapat terjadi selama masa kehamilan (perdarahan antepartum), namun lebih sering terjadi pada pasca salin (perdarahan postpartum). Kehilangan darah selama kehamilan dapat menyebabkan anemia berat, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan angka kelahiran preterm. Sedangkan pada masa nifas salah satu penyebab terbanyak mortalitas maternal, terutama dinegara berkembang. Kematian ibu akibat perdarahan dapat dicegah dengan manajemen aktif kala III, pemberian agen uterotonika dan resusitasi cairan, intervensi bedah dan ketersediaan darah untuk tranfusi.

2.    Anemia Hipoproliferatif, dibagi menjadi 2 jenis yaitu : anemia defisiensi besi dan anemia defisiensi asam folat, vitamin B12 dan B6.

     Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi saat kehamilan, yang dipicu oleh perubahan fisiologis maternal. Anemia defisiensi asam folat dapat terjadi pada wanita dengan diet yang tidak seimbang, malabsorpsi dan penyalahgunaan alkohol. Gejala yang muncul diawal kehamilan mual, muntah serta anoreksia yang memburuk, defisiensi vitamin B12 dapat terjadi pada Ibu dengan kadar B12 yang rendah memiliki resiko berbagai komplikasi kehamilan, diantaranya defek lambung saraf, abortus spontan dan berat bayi lahir rendah, sedangkan defisiensi vitamin B6 bisa terjadi pada ibu hamil dengan anemia yang tidak responsif terhadap pemberian zat besi, perlu dipertimbangkan adanya defisiensi vitamin B6.

3.    Anemia Akibat Proses Inflamasi, anemia dapat terjadi akibat infeksi parasit maupun bakteri dan penyakit inflamasi kronis yang mempengaruhi pencernaan.

4.    Anemia karena Penyakit Ginjal, ibu hamil dengan gagal ginjal atau dengan transplantasi ginjal dapat terjadi anemia sedang hingga berat selama kehamilan. Sedangkan angka kejadian kelahiran preterm lebih tinggi pada anemia karena penyakit ginjal.

     Tanda dan gejala yang ditemukan pada ibu hamil dengan defisiensi besi mirip dengan anemia pada umumnya. Pada kondisi awal, pasien akan memiliki toleransi yang rendah untuk melakukan aktivitas fisik, sesak saat beraktivitas ringan, serta mudah lelah. Apabila derajat anemia makin parah, tanda dan gejala klinis pun menjadi lebih jelas, seperti penurunan kinerja dan daya tahan, apatis, gelisah, gangguan kognitif dan konsentrasi, sesak, berdebar, pusing berputar, serta ditemukan seluruh tubuh pucat. Gejala anemia dapat dibedakan menjadi akut dan kronis. Anemia akut akan menyebabkan sesak yang tiba-tiba, pusing dan kelelahan yang mendadak. Sedangkan pada anemia kronik seperti defisiensi besigejala yang muncul bersifat gradual, dan baru disadari oleh pasien saat kondii eritrosit sudah sangat rendah.

Hal-hal yang perlu dilakukan dan dihindari untuk mencegah anemia, Antara lain :

1.    Makan makanan yang bernutrisi dan bergizi tinggi, khususnya yang kaya zat besi dan asam folat setiap hari. Adapun contoh makanan yang mengandung zat besi misalnya daging (sapi atau unggas) rendah lemak yang dimasak matang, makanan laut seperti ikan, cumi, kerang dan udang yang dimasak matang, sayuran hijau, misalnya bayam dan kangkung, kacang polong, produk susu yang telah dipasteurisasi, kentang, gandum. Sementara untuk makanan yang mengandung tinggi folat contohnya sayuran hijau (bayam, brokoli, seledri, buncis, lobak hijau atau selada), keluarga jeruk, alpukat, pepaya, pisang, kacang-kacangan (kacang polong, kacang merah, kacang kedelai, kacang hijau), bii bunga matahari, gandum dan kuning telur.

2.    Mengkonsumsi vitamin C lebih banyak, vitamin c membantu tubuh menyerap zat besi dari makanan secara lebih efisien.

3.    Minum suplemen, suplemen yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah suplemen zat besi, vitamin B12 dan asam folat. Suplemen bisa diminum di pagi hari atau malam hari sebelum tidur untuk mengurangi mual setelahnya.

Sumber :

Rabbania Hiksas, Rima Irwanda, Noroyono Wibowo. Anemia Defisiensi Besi. Persatuan Obstetri dan Gynekologi Indonesia. Jakarta; 2021:p.58-43