Jumat, 05 Agustus 2022 13:41 WIB

Mengenal Injeksi Kortikosteroid Intratimpani Pada Pasien Tuli Mendadak

Responsive image
4840
dr Ida Ayu Alit Widiantari, Sp.T.H.T.K.L - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Tuli mendadak atau sudden deafness atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) ialah hilangnya pendengaran sensorineural yang lebih dari 30 dB pada 3 frekuensi berturut turut secara mendadak dalam waktu 3 hari, sering unilateral dan idiopatik. Insiden kasus tuli mendadak berkisar 5-20 orang tiap 100.000 orang pertahun. Penyebab tuli mendadak hingga saat ini belum diketahui dengan pasti, namun banyak teori yang mengemukakan faktor resiko penyebab terjadinya tuli mendadak. Empat teori utama yang dapat menjelaskan terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi virus, gangguan pembuluh darah, ruptur membran intra koklea dan penyakit autoimun telinga dalam (Atay, G., Kayahan, B., C?nar, B.C., Sarac, S., Sennaroglu, L. (2016).

Pengobatan tuli mendadak umumnya berupa steroid sistemik, vasodilator (histamin, papaverin, verapamil, carbogen), hemodilusi (dextran, pentoxifylline, manitol, dan heparin), atau antiviral (acyclovir, valacyclovir). Terapi lainnya dapat berupa oksigen hiperbarik 100% 2 hingga 2,5 ATA selama 90 menit setiap hari selama 10-20 kali terapi. Selain itu, pasien dianjurkan tirah baring selama 2 minggu, diet rendah garam dan rendah kolesterol, penggunaan neurotonik, vitamin C, vitamin E, dan preparat herbal (gingko biloba) (Novita, S., Yuwono, N. (2013)).

Pasien dengan penyakit sistemik, seperti insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), diabetes tidak terkontrol, hipertensi labil, tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak dianjurkan dengan terapi kortikosteroid sistemik. Injeksi kortikosteroid intratimpani pertama kali dilaporkan penggunaannya oleh Itoh (1991) untuk pengobatan penyakit telinga bagian dalam pada pasien dengan Penyakit Meniere. Pada kasus tuli mendadak terapi kortikosteroid intratimpani pertama kali dilaporkan oleh Silverstein (1996). Meskipun efektifitasnya belum terbukti secara definitif, terapi kortikosteroid intratimpani untuk tuli sensorineural menjadi lebih banyak digunakan. Protokol pengobatan tuli mendadak dengan kortikosteroid intratimpani terdiri dari terapi primer seperti terapi intratimpani sebagai pengobatan pertama untuk tuli mendadak, tanpa kortikosteroid sistemik ; terapi Adjuvan seperti terapi diberikan bersamaan dengan sistemik kortikosteroid; Salvage therapy seperti terapi dimulai setelah terapi kortikosteroid sistemik gagal.

Sebuah penelitian mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. Namun, studi lainnya tidak menghasilkan perbedaan pemulihan pendengaran antara terapi kombinasi kortikosteroid oral dan intratimpani dengan terapi kortikosteroid oral saja. Kebanyakan penggunaan kortikosteroid intratimpani dilakukan setelah pengobatan tuli mendadak menggunakan kortikosteroid sistemik gagal. Jumlah yang disuntikkan yaitu 0,3 – 0,5 ml, sesuai dengan perkiraan volume ruang telinga tengah. Normalnya pada dewasa volume telinga tengah 0,6 - 1,5 ml. Periode waktu dan jumlah penyuntikan juga berbeda-beda yang bervariasi mulai dari 3 hari sampai 7 hari selama 3 sampai 4 kali pemberian. Metoda yang dilakukan juga bervariasi : penyuntikan melalui membran timpani langsung dengan jarum suntik, melalui miringotomi dengan tabung (grommet), menggunakan pipa (wick) yang diletakkan pada miringotomi, atau melalui pompa yang ditanamkan untuk mengantarkan steroid secara konstan (Dispenza,  F., Stefano, A.D., Costantino, C., Marchese, D., Riggio, F. (2013)).

Penelitian Lee menyimpulkan bahwa terapi kombinasi antara injeksi intra timpani dengan kortikosteroid siistemik lebih baik dari pada kortikosteroid sistemik saja. Sedangkan menurut Dispenza dkk menyarankan salvage therapy menggunakan injeksi deksametason intratimpani pada pasien yang mengalami kegagalan terapi pertama kortikosteroid sistemik. Prognosis tergantung pada usia, onset kehilangan pendengaran, ada tidaknya vertigo, jenis audiogram pertama, respon 2 minggu pengobatan pertama, derajat ketulian, adanya tinnitus dan faktor predisposisi (Lee, J.B., Choi, S.J. (2016).

 

 

 

 

REFERENSI

Atay, G., Kayahan, B., C?nar, B.C., Sarac, S., Sennaroglu, L. (2016). Prognostic Factors in Sudden Sensorineural Hearing Loss. Balkan Med J; 33:87-93.

Novita, S., Yuwono, N. (2013).  Diagnosis dan Tata Laksana Tuli Mendadak. Cermin Dunia Kedokteran. 2013; 40(11):820-6

Dispenza,  F., Stefano, A.D., Costantino, C., Marchese, D., Riggio, F. (2013). Sudden Sensorineural Hearing Loss: Results of intratympanic steroids as salvage treatment. Am J Otolaryngol Head Neck Med Surg; 34:296-300.

Lee, J.B., Choi, S.J. (2016). Potential Benefits of Combination Therapy as Primary Treatment for Sudden Sensorineural Hearing Loss. Otolaryngology–Head and Neck Surgery; 154(2):328-34