Jumat, 05 Agustus 2022 10:16 WIB

Mitos dan Fakta Penyakit Epilepsi

Responsive image
16637
dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S(K), Dr - RSUP H. Adam Malik Medan

Epilepsi merupakan penyakit kronis pada otak yang dapat menyerang orang di seluruh dunia. Sekitar 8-10% populasi akan mengalami bangkitan/ serangan epilepsi dalam masa hidupnya, namun hanya sekitar 2-3% yang akan berlanjut menjadi penyakit epilepsi.

Di Indonesia, epilepsi dikenal sebagai ayan atau sawan. Banyak masyarakat masih mempunyai pandangan yang keliru, dan beranggapan bahwa epilepsi bukanlah penyakit. Anggapan ini terjadi karena epilepsi dapat terjadi di tempat umum, disaksikan oleh banyak orang, sehingga menyebabkan berbagai persepsi yang keliru. Banyak faktor yang mengakibatkan adanya pengertian, ataupun persepsi yang keliru terhadap epilepsi, di antaranya masyarakat masih mempunyai pemikiran tradisional, dan kurangnya pemahaman akan penyakit epilepsi, serta masyarakat pedesaan masih banyak memilih menggunakan obat yang tradisional atau masih terkait dengan hal-hal gaib. Pengertian dan pandangan/ persepsi yang keliru tersebut banyak memunculkan mitos tentang penyakit epilepsi, yang akhirnya berdampak negatif bagi orang dengan epilepsi (ODE).

Tulisan ringkas ini bermaksud untuk menjelaskan beberapa mitos yang berkembang di masyarakat tentang penyakit epilepsi, dan apa pula fakta yang sebenarnya. Namun sebelum itu terlebih dahulu akan dipaparkan sekilas informasi yang benar tentang epilepsi. Dengan demikian diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar, dan dampak negatif mitos-mitos penyakit epilepsi bagi ODE dapat diminimalkan.

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu epilambanein yang berarti merenggut, merasuki, atau menjangkiti. Orang Yunani Kuno menganggap epilepsi sebagai polusi atau racun atau udara yang bau yang menjangkiti jiwa seseorang. Mereka juga menganggap epilepsi sebagai kutukan bagi pendosa. Epilepsi di sini masih sangat erat dengan mistik, dan takhayul.

Perlu dipahami bahwa kejang tidak sama dengan epilepsi, tidak semua kejang akan menjadi epilepsi, hanya sekitar 2-3% yang berkembang menjadi epilepsi. Kejang merupakan salah satu dari gejala epilepsi. Epilepsi dapat diartikan sebagai kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terus menerus untuk menimbulkan bangkitan (serangan/ gejala) epilepsi, yang dapat mengakibatkan kerusakan sel otak, gangguan kecerdasan, dan permasalahan sosial bagi penderitanya.

Gejala epilepsi biasanya muncul sepintas, beberapa detik saja, dan akan berhenti dengan sendirinya, namun akan muncul berulang-ulang. Gejala tersebut muncul akibat aktivitas listrik di sel otak yang tidak normal, dan berlebih-lebihan.

Gejalanya yang paling sering adalah kejang, kejang dapat berupa kaku, dan atau menyentak-nyentak pada tangan, kaki, dan bahkan badan, yang juga dapat disertai dengan kesadaran yang menurun. Gejala yang lain berupa gangguan kesadaran saja, seperti pingsan yang tejadi sepintas, dan berulang-ulang. Dapat pula berupa gangguan sensorik (sensasi rasa) di kulit, seperti rasa kebas pada tangan, kaki atau sebagian badan. Dan dapat juga berupa gangguan emosi, dan prilaku penderitanya.

 PENYEBAB EPILEPSI

            Epilepsi dapat disebabkan 6 hal: (1). Kerusakan struktur otak (seperti stroke, cedera kepala, tumor otak, dll.); (2). Kelainan genetik (akibat mutasi pada gen); (3). Infeksi otak; (4). Gangguan metabolik di tubuh; (5). Gangguan imunitas (kekebalan tubuh); dan (6). Tidak diketahui apa penyebabnya

MITOS DAN FAKTA TENTANG EPILEPSI

1. MITOS EPILEPSI PENYAKIT KUTUKAN ATAU KERASUKAN

Di Indonesia, epilepsi dianggap sebagai gangguan yang bersifat mistis. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki pandangan yang keliru, dimana mereka menganggap bahwa epilepsi bukanlah penyakit tapi terjadi karena masuknya roh jahat, kesurupan, guna-guna atau suatu kutukan. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2.288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1.801 kasus lama. Hasil penelitian tsb. mendapati 15,3% orang dengan epilepsi masih berobat ke dukun dan tidak berobat. Faktanya tidak demikian, epilepsi merupakan suatu penyakit pada otak yang terjadi akibat aktivitas listrik di otak penderitanya yang abnormal dan berlebihan, dengan penyebab seperti yang telah dijelaskan di atas

2. MITOS EPILEPSI PENYAKIT MENULAR

Epilepsi yang berkembang di tengah masyarakat adalah semacam penyakit yang ditandai dengan kejang-kejang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur berwarna putih seperti busa, terjadi di tempat umum, disaksikan oleh banyak orang. Namun masih banyak yang tidak berani menolong orang yang kejang tsb. karena busa yang ada di mulut penderita dianggap bisa menularkan epilepsinya. Faktanya sebenarnya penyakit epilepsi tidak menular. Busa di mulut penderita epilepsi disebabkan oleh kelenjar air liur yang ada di mulut setiap orang. Jika penderita mengalami kejang, dan kelenjar liur sedang penuh isinya, kejang yang dialami penderita akan mendorong isi kelenjar liur ke luar mulut dalam bentuk busa. Hal yang sama terjadi jika kandung kemih penderita dalam keadaan terisi, kejang yang dialami penderita akan mendorong isi kandung kemih penderita dan mengalami ngompol. Jadi tidak ada kaitannya antara air liur dengan penularan epilepsi

3. MITOS EPILEPSI TIDAK DAPAT DIOBATI

Penelitian yang dilakukan PERDOSSI pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 15,3% dari 2.288 pasien epilepsi masih berobat ke dukun dan tidak berobat. Hal ini mungkin dikarenakan mitos di masyarakat bahwa epilepsi merupakan penyakit mistis dan tidak dapat diobati secara medis. Faktanya epilepsi dapat diobati dan terkontrol dengan "meminum obat secara teratur dan rutin setiap hari". Umumnya penderitanya harus meminum obat epilepsi sampai serangan epilepsi tidak muncul lagi, dan obat tsb. tetap diminum 3 s.d. 5 tahun ke depannya, meskipun sudah tidak ada lagi serangan epilepsinya, setelah itu obat akan diberhentikan secara bertahap dalam 3 s.d. 6 bulan. Namun demikian, ada jenis epilepsi yang harus meminum obat seumur hidup, atau bahkan memerlukan tindakan  operatif untuk mengontrol bangkitannya. Di samping itu, ia juga harus menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan kumatnya epilepsi, seperti demam, lapar, kurang tidur, lelah, dan stress. Dengan pengobatan yang teratur dan rutin, serta menghindari pencetus serangan, maka epilepsi dapat terkontrol.

4. MITOS HARUS OVER-PROTEKSI ATAU DIJAUHKAN DARI MASYARAKAT

Keluarga yang terlalu over-proteksi, penolakan, dimanjakan, dsb., dan atau perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi berupa penolakan, direndahkan, diisolasikan/ dijauhkan dari masyarakat. Faktanya, penderita epilepsi dapat hidup di masyarakat sebagaimana biasa, bila diobati dengan benar, dan bebas serangan epilepsinya.

5. MITOS EPILEPSI DAN KETERBATASAN DI DALAM SEGALA HAL

Masih ada mitos kalau ODE pasti akan ada keterbatasan di dalam segala hal seperti pendidikan, pekerjaan dan olahraga. Faktanya, jika serangan tidak muncul lagi (dengan meminum obat epilepsi yang teratur dan rutin), maka dapat hidup normal, dapat sekolah, bekerja (kecuali pada saat awal pengobatan, dimana serangan epilepsi masih muncul, maka tidak boleh kerja yang berbahaya seperti memanjat di ketinggian, mengendarai mobil, dll.), dan dapat berolahraga (namun tidak boleh yang berbahaya seperti panjat tebing, adapun berenang boleh dilakukan jika serangan epilepsi sudah tidak muncul dan dengan pengawasan).

6. MITOS ORANG DENGAN EPILEPSI TIDAK BISA MENIKAH DAN HAMIL

Ini juga mitos yang keliru. Orang dengan epilepsi dapat menikah, hamil dan mempunyai keturunan. Epilepsi tidak berpengaruh pada kemampuan perempuan untuk memiliki anak dan hamil. Hanya saja perlu diketahui bahwa ketika ibu hamil mengonsumsi obat epilepsi, maka risiko cacat lahir pada bayi meningkat 2 s.d. 3 kali lipat. Jika ODE akan berencana hamil, sebaiknya diskusikan terlebih dahulu pada dokter saraf mengenai penggunaan obat-obatan.

7. MITOS ORANG DENGAN EPILEPSI TIDAK BOLEH DIVAKSIN COVID 19

Hal ini sangat penting disampaikan, vaksin COVID 19 merupakan upaya untuk mengakhiri pandemi baik di Indonesia maupun di dunia, maka sebenarnya (sesuai rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia) epilepsi bukan kontra indikasi vaksin COVID 19. Baik yang sudah bebas bangkitan/ kejang (terkontrol) dengan minum obat atau tidak, maupun yang masih muncul bangkitan/ kejang diindikasikan untuk diberikan vaksin COVID dengan pengawasan dokter spesialis saraf.

Demikian tulisan ini disampaikan, dengan harapan pembaca dapat mengenal epilepsi, mitos dan fakta seputar epilepsi, sehingga dapat meminimalkan dampak negatif bagi orang dengan epilepsi, dan masyarakat senantiasa memberikan dukungan bagi mereka.

 

Referensi:

Gelgel AM, Meidiary AAA, Karema W, Lestari ND, Rumantir C. 2019. Aspek Psikososial Dan Medikolegal Epilepsi. Dalam: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E (Ed.). Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Edisi Ke-6. Airlangga University Press. Surabaya. Hal. 105-110.

Kementerian Kesehatan Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5  Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 231. Jakarta. Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Hal. 227-228.

Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. (Ed.). Pedoman Tatalaksana Epilepsi Untuk Dokter Umum. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016. Airlangga University Press. Surabaya.

Magiorkinis E, Sidiropoulou K, Diamantis A. 2009. Hallmarks in the history of epilepsy: Epilepsy in antiquity. Epilepsy & Behavior 17 (2010) 103–108

Maryanti NCW. 2016. Epilepsi dan Budaya. Buletin Psikologi, Vol. 24, No. 1, 22 – 31. DOI: 10.22146/bpsi.16358.

Ropper AH, Samuel MA, Klein JP, Prasad S. 2019. Epilepsy and Other Seizure Disorders. In: Adams and Victor's. Principles of Neurology, Eleventh Edition. McGraw-Hill. New York. p.332-373.

Sumber gambar: hellosehat.com