Kamis, 04 Agustus 2022 08:12 WIB

Menghadapi Duka dan Kehilangan

Responsive image
21608
Zaenab, S.Kep.,Ns. - RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

Selama hidup, kita mungkin saja mengalami berbagai masa berkabung atau berduka. Berduka atau bersedih dapat disebabkan karena kehilangan seseorang, perubahan situasi, hubungan, bahkan bisa karena penyalahgunaan zat. Anak-anak bisa bersedih karena perceraian kedua orangtuanya. Seorang istri bisa berduka karena kematian suaminya. Remaja bisa bersedih karena putus hubungan dengan kekasihnya. Atau bahkan kita bisa saja berduka setelah mendengarkan kabar bahwa kita menderita penyakit terminal dan sedang menunggu waktu saja hingga meninggal. Perasaan berduka ini merupakan hal yang wajar. Merasa sedih hingga marah karena kehilangan seseorang, atau terjadi situasi yang tidak kita harapkan seringkali membuat kita merasa tidak mampu melanjutkan hidup. Oleh karena itu, perasaan berduka walaupun merupakan fenomena humanis yang umum, tetap harus dipahami dan diperhatikan sebagai bentuk upaya mempertahankan kualitas hidup.

Secara umum, seseorang yang berduka bisa menunjukkan gejala baik secara fisik, sosial hingga spiritual. Seperti menangis, sulit tidur, sakit kepala, nyeri di sekujur tubuh, kehilangan nafsu makan menjauhkan diri dari teman dan keluarga, khawatir/cemas, frustasi, menyesal, marah, stress, hingga perilaku tidak normal. Seseorang juga dapat menunjukkan gejala spiritual seperti menanyakan tuhan, tujuan hidup dan sebagainya.

Seorang psikiatris asal Swiss, Kubler-Ross mengemukakan 5 fase berduka yang bisa terjadi pada orang yang berduka :

1.      Denial (Penolakan)

Penolakan merupakan fase awal kita untuk bertahan ketika dihadapkan oleh kehilangan. Bisa jadi kita merasa bahwa hidup tidak masuk akal, atau tidak ada artinya. Kita mulai menolak kabar yang kita dengar hingga di titik kita merasa lumpuh tidak ingin berpikir apa-apa. Secara umum pada fase ini kita menjadi bertanya-tanya bagaimana hidup kita kelak akan berjalan jika situasi berbeda terjadi. Kita tidak siap ketika tahu bahwa hidup yang kemarin kita lalui dengan baik bisa berubah dalam sekejap.

Sebagai contoh, Jika kita didiagnosis dengan penyakit mematikan, kita percaya bahwa berita itu tidak benar, menganggap bahwa bisa jadi terjadi kekeliruan pada hasil pemeriksaan diagnostik, dan bahkan menuduh tertukar dengan sampel orang lain. Contoh lain ketika mendengar kabar kematian orang yang kita sayangi, kita bisa saja mempercayai pada harapan palsu bahwa sosok yang meninggal itu bukan orang yang kita kenal, atau menganggap bahwa ia hanya tidur dan nanti akan bangun lagi.

Pada fase penolakan, kita tidak lagi hidup di realita yang sesungguhnya, melainkan pada realita yang kita harapkan. Menariknya, justru pada fase penolakan ini bisa  membantu kita untuk bertahan melawan rasa sedih dan kehilangan. Daripada merasakan luapan emosi karena kehilangan, kita justru menolaknya, tidak menerima hal tersebut hingga secara tidak sadar penolakan tersebut dapat menurunkan intensitas perasaan sedih yang melanda. Hal ini bisa disebut sebagai mekanisme pelindungan diri. Oleh karena itu, jika mendapati seseorang mengungkapkan penolakannya akan stuasi kehilangan, cukup kita dengarkan dan biarkan ia mengungkap perasaannya hingga penolakan dan keterkejutan yang ia rasakan memudar. Pada titik ini, apabila ia dapat melaluinya maka proses penyembuhan bisa dimulai.

2.      Anger (Marah)

Ketika kita sudah mulai hidup di realita yang sesungguhnya, kita mungkin akan mulai merasakan marah. Pada fase ini kita akan bertanya-tanya, ‘kenapa saya?’, ‘ hidup tidak adil!’. Kemudian kita mulai menyalahkan orang sekitar sebagai penyebab kita kehilangan, atau bahkan kita melampiaskan marah kita ke keluarga atau teman terdekat karena kita percaya bahwa kejadian tersebut tidak mungkin terjadi pada kita. Para profesional kesehatan jiwa mengatakan bahwa fase ini merupakan fase yang sangat penting dalam tahap berduka. Melampiaskan perasaan marah merupakan respon yang normal. Kita semua setuju bahwa memendam perasaan marah sangatlah tidak sehat. Semakin kita merasakan marah, maka semakin cepat perasaan marah itu akan hilang yang dsusul akan semakin cepat juga kita mulai dapat menerima. Pada fase ini, orang yang berduka beresiko melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain, oleh karena itu pertimbangkan untuk menjauhkan barang-barang yang berpotensi membahayakan dari jangkauan orang yang berduka.

3.      Bargaining (Tawar menawar)

Pernahkan kita melakukan penawaran dengan tuhan ketika sesuatu buruk terjadi? Sebagai contoh, ‘Tuhan, apabila penyakit ini Engkau sembuhkan, saya berjanji akan menjadi anak yang baik dan berbakti pada orang tua.’ Ini adalah fase penawaran, yaitu ketika kita percaya pada harapan palsu, berusaha melakukan negoisasi agar hal yang buruk tersebut benar-benar tidak terjadi. Kita dengan sangat putus asa berharap agar semua kembali normal meskipun harus melakukan perubahan besar dalam hidup. Pada fase ini, pikiran-pikiran kita akan dipenuhi oleh berbagai alternatif ‘bagaimana jika’ terhadap situasi yang terjadi saat ini. ‘bagaimana jika saya melarangnya pergi malam-malam, kalau begitu ia tidak akan kecelakaan’, atau ‘bagaimana jika saya tidak ikut percaya dengan kata-kata penipu itu, maka saya tidak akan kehilangan uang 1 milyar!’ dan sebagainya.

4.      Depression (Depresi)

Depresi seringkali diartikan sebagai kesedihan. Padahal depresi dan kesedihan merupakan hal yang berbeda. Pada fase depresi, seseorang tidak hanya merasa sedih, tapi juga merasa buntu, tidak mau beraktivitas serta tidak berdaya dalam hidup. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya ia melanjutkan hidup yang tidak lagi sama setelah kehilangan. Pemikiran untuk bunuh diri perlu diwaspadai pada fase ini, karena tidak sedikit pikiran mereka akan dipenuhi oleh keinginan menyelesaikan hidup dengan jalan pintas. Oleh karena itu, sebagai pendamping sebaiknya kita jauhkan seseorang yang sedang depresi dari benda-benda yang berpotensi membahayakan diri maupun orang lain.

5.      Acceptance (Penerimaan)

Fase paling terakhir adalah fase penerimaan, dimana seseorang akan mulai menyadari realita baru dan bersiap untuk melanjutkan hidup. Pada fase ini, penerimaan yang dimaksud bukanlah tentang ‘iya benar istriku meninggal’, atau ‘ya sudah saya bentar lagi mati’ dan sebagainya. Tapi lebih ke meyakini bahwa ia akan baik-baik saja dengan kenyataan ini. ‘saya akan melawan penyakit ini sebaik mungkin, dan meninggal tanpa penyesalan’. Seseorang yang sudah menerima, bisa jadi akan tetap teringat dan bersedih kembali, namun ia yakin bahwa dibalik hari buruk pasti ada hari bahagia, sehingga tidak ada kesedihan yang berlarut-larut.

Dengan memahami 5 fase diatas diharapkan kita baik sebagai yang merasakan sendiri maupun sebagai pendamping, akan lebih menghargai proses seseorang dalam berkabung, tidak menghakimi serta tidak semena-mena. Kita akan lebih mengerti bahwa yang mereka rasakan itu wajar dan valid, tidak berlebihan. Pada kasus yang berat, ketika seseorang itu tidak bisa beranjak ke fase penerimaan dalam jangka waktu yang lama, maka kita bisa meminta bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater untuk dilakukan konseling, terutama apabila kita menemukan gejala-gejala keinginan untuk bunuh diri hingga perubahan perilaku yang tidak seperti biasanya. Terapi konseling, dukungan keluarga dan lingkungan akan menjadi kombinasi yang tepat untuk membantu kita melalui kondisi ini dengan baik sehingga kita bisa melanjutkan hidup yang berkualitas.

 

Sumber Foto: dreamstime.com

Referensi: https://www.psycom.net