Minggu, 31 Juli 2022 16:33 WIB

Covid-19 Bukan Aib!

Responsive image
257
Nugroho Eko Prasetyo - RS Jiwa Prof.Dr.Soeroyo Magelang

Sudah hampir 2 tahun ini Indonesia diserang wabah covid-19, namun masih ada saja segelitir orang yang berpikiran sempit bahwa covid-19 itu adalah aib yang harus ditutupi. Selama perjalanan wabah penyakit Covid-19 ini tidak sedikit orang-orang yang tidak percaya dengan penyakit ini, banyak dari mereka yang menganggap bahwa wabah penyakit ini adalah akal-akalan pemerintah untuk mencairkan dana APBN, ada juga yang menganggap bahwa serangan wabah covid-19 ini adalah konspirasi elite global untuk menguasai dunia, ada juga yang berpikir bahwa serangan wabah ini adalah taktik untuk mengurangi populasi di muka bumi ini. Well, apapun sangkalan mereka, tidak satupun dari anggapan mereka itu memiliki bukti, jadi mereka juga sebenarnya bingung tetapi tidak tau mau berpikir kearah mana. Sebagian masyarakat juga ada yang tidak menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan saat melakukan aktivitas di luar rumah, masih banyak diantara mereka yang enggan untuk menggunakan masker, mencuci tangan, tetap berkumpul walaupun sudah dilarang.

Seseorang yang menderita Covid-19 memerlukan pengelolaan stres dalam diri yang baik serta dukungan orang terdekat agar mampu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., PhD, mengatakan, secara psikologis, ada beberapa fase reaksi seseorang saat dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan
diagnosis swab PCR. 

Fase pertama adalah penyangkalan bahwa seseorang positif Covid-19. Penyangkalan tersebut selanjutnya melahirkan respons diri berupa marah atau sedih. Sikap ini merupakan fase di mana kondisi mental seseorang mulai terganggu. Penurunan mental akan melahirkan sikap sedih, stres, hingga menutup diri.

Fase terakhir adalah ketika seseorang mulai menerima bahwa ia terkena Covid-19. Namun bukan suatu aib jika seseorang terkena Covid-19, karena wabah ini menyasar siapapun tanpa terkecuali. Bisa saja orang yang terkena covid-19 itu sudah menerapkan protocol kesehatan yang baik , tetapi ternyata dia tertular oleh anggota keluarga yang tidak menerapkan protocol kesehatan yang baik. Seseorang yang positif Covid-19 berdasarkan hasil swab PCR untuk membuka diri dengan menerima keadaan. Adaptasi tubuh yang cepat akan lebih mudah menentukan rencana selanjutnya. 

Konsultasi dengan Satgas atau tim medis harus segera dilakukan untuk menentukan upaya penanganan terbaik. Jika penyintas tidak mengalami gejala, ia bisa melakukan isolasi mandiri dengan pemantauan yang ketat. Mau tidak mau kita harus patuh dengan protokol isolasi mandiri, jika ada kendala silakan konsultasikan dengan satgas. Jangan pernah menutupi kejadian yang sebenarnya, karena itu bukan hanya merugikan diri sendiri tetapi juga bisa merugikan orang lain. Coba bayangkan seseorang yang positif Covid-19 dan ternyat dia memberitahukan kepada orang lain dan tetap beraktivitas seperti biasa, dan tidak menerapkan protokol kesehatan, berapa banyak orang tidak bersalah yang ditulari penyakit tersebut, dan tentu itu akan sangat merepotkan bagi petugas untuk melakukan tracing. 

Dan isolasi mandiri bukan berarti seseorang tersebut terpenjara, positif Covid-19 harus dibarengi dengan pikiran positif. Yakinkan bahwa proses isolasi ini hanya sementara. Menjadi penyintas Covid-19 bukan berarti suatu aib. Ada yang beranggapan bahwa isolasi mandiri sama halnya dengan dipenjara. 

Padahal, isolasi hanya membatasi aktivitas fisik penyintas dengan dunia luar. Penyintas Covid-19 bisa melakukan berbagai aktivitas rutin di dalam ruang isolasi. Penyintas juga membutuhkan dukungan dari orang terdekat, baik morel maupun materiel. Keluarga, kerabat/kolega, hingga masyarakat sekitar harus mendukung perjuangan penyintas Covid-19. Masalahya tidak semua masyarakat bisa berpikiran jernih jika mengetahui salah satu dari mereka ternyata positif covid-19, kebiasaan buruk masyarakat Indonesia yang suka bergosip akan semakin memperburuk keadaan. Tak jarang kita lihat atau dengar adanya penyitas covid-19 yang meninggal di rumah. Hal ini diakibatkan karena mereka merasa malu untuk memberitahukan keadaan mereka sebenarnya. Mereka takut dikucilkan oleh masyarakat sekitar danakhirnya mereka memilih diam dan akhirnya keadaan kesehatan mereka samakin memburuk dan akhirnya meninggal karena tidak mendapatkan pertolongan apapun.

Masyarakat jangan beranggapan bahwa penyintas Covid-19 adalah orang yang mesti dijauhi. Stigma ini nyatanya masih melekat di sebagian masyarakat Indonesia. Padahal, seharusnya yang wajib dijauhi adalah penyakitnya. Bukan orangnya. Jika orang itu di-swab lagi dan hasilnya negatif, masyarakat harus menerimanya kembali. Sebagai makhluk sosial kita juga untuk membantu jika ada tetanggan atau saudara kita yang sedang menjalani isolasi mandiri. Dengan membantu mencukupi kebutuhan mereka saat menjalani isolasi mandiri, dan jangan pernah menyebarkan berita yang tidak benar tentang saudara kita yang sedang menjadi penyitas covid-19.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa stres ada kaitannya dengan menurunnya imun tubuh. Hal ini disebabkan oleh pikiran yang terlalu berlebihan seseorang kepada penyakit covid-19 itu sendiri, mereka akan berpikir aneh-aneh yang belum tentu menjadi kenyataan. Orang dengan stres berat cenderung memiliki imun tubuh yang rendah. Penyintas juga wajib menghindari stres saat tengah berjuang untuk sembuh saat Covid-19. Pikiran positif diupayakan terus dibangun oleh penyintas. 

Kekuatan diri jika digabungkan dengan dukungan sosial akan mampu melakukan pengelolaan stres yang lebih baik. Kalau berjuang sendiri, dia (penyintas) akan berat. Kalau pikirannya positif, lingkungannya juga positif, dia akan menjalani isolasinya dengan baik. Disinilah dibutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat dan juga masayarakat agar sesorang yang menjadi penyitas covid-19 tetap semangat untuk tetap menjalani pengobatan mereka sampai sembuh dan terhindar dari stress yang berlebihan. Dan diharapkan juga kepada masyarakat, jika mengalami gejala covid-19 ada ternyata pernah kontak erat dengan penderita covid-19 diharapkan untuk segera melaporkan kepada petugas untuk dilakukan pemeriksaan dan tracing karena hal tersebut sangat membantu untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. 

Ada berita dari Kelurahan Moodu, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo yang sempat di kucilkan oleh masyarakat akibat 4 orang warganya terpapar covid -19 kini mulai bangkit dari keterpurukan. Warga setempat membentuk kampung bangkit di salah satu kawasan padat penduduk yang menjadi tempat penyebaran covid -19, selain itu di sejumlah tembok rumah warga di buat mural  yang berisi kampanye tentang covid -19.

Sementara itu, babinsa, banbankantibas dan aparat kelurahan setempat juga terus memberikan semangat serta hibauan kepada warga untuk tetap mematuhi protokol Kesehatan. Kampung bangkit ini sengaja di bentuk oleh warga setempat untuk menumbuhkan kembali semangat dan menghilangkan stigma negatif dari masyarakat. Pasalnya, setelah 4 orang warga di RT II dan RW III kelurahan Moodu dinyatakan positif covid -19 warga setempat sempat memblokir akses jalan di sekitar rumah warga yang positif covid -19 karena khawatir terpapar virus corona.

Hingga saat ini, aktifitas warga di kelurahan Moodu telah berjalan normal setelah di berikan pemahaman oleh petugas gabungan baik dari aparat pemerintahan setempat, Banbinsa, Babinkantibmas.bahkan warga setempat saling memberikan dukungan dan semangat kepada warga yang saat sedang menjalani isolasi di rumah. Ini bisa kita jadikan contoh dan panutan untuk tetap saling mejaga satu sama lain di masa pandemic seperti ini.

 

Referensi:

https://www.unpad.ac.id/2020/12/penyintas-covid-19-bukan-aib-dukungan-keluarga-dan-masyarakat-
diperluka