Minggu, 31 Juli 2022 10:02 WIB

Mengenal Botulisme

Responsive image
10249
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Botulisme adalah penyakit serius yang disebabkan oleh toksin botulinum. Toksin menyebabkan kelumpuhan yang dimulai dari wajah dan menyebar ke anggota badan lainnya. Apabila mencapai otot-otot pernapasan, kegagalan pernapasan dapat terjadi. Toksin diproduksi oleh Clostridium botulinum (C. botulinum), yakni sejenis bakteri. Toksin ini tersebar di tanah dan ada di air yang tidak diolah. Selain itu, juga dapat bertahan hidup di lingkungan ini sebagai spora yang resisten. Semua jenis Botulisme pada akhirnya menyebabkan kelumpuhan, sehingga setiap kasus Botulisme diperlakukan sebagai keadaan darurat medis. 

Meskipun sangat jarang terjadi, Botulisme termasuk kondisi serius yang mengancam nyawa. Racun yang dihasilkan bakteri Clostridium botulinum dikenal sebagai salah satu racun paling kuat. Racun ini
menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan  paralisis  atau kelumpuhan otot. Pada sebagian besar kasus, penderita Botulisme dapat sembuh dengan pengobatan yang tepat. Namun, jika penanganannya terlambat, racun dapat menyebar ke otot yang mengontrol pernapasan dan menyebabkan kelumpuhan. Hal ini dapat berujung pada kematian.

Penyebab dan Faktor Risiko Botulisme
Botulisme disebabkan oleh racun dari bakteri Clostridium botulinum. Bakteri ini bisa ditemukan di tanah, debu, sungai, dan dasar laut. Sebenarnya, bakteri Clostridium botulinum tidak berbahaya bila berada di kondisi lingkungan yang normal. Namun, bakteri tersebut akan melepaskan racun ketika kekurangan oksigen, misalnya jika berada di bawah lumpur dan tanah, di dalam kaleng tertutup, botol, atau tubuh manusia.

Masing-masing jenis Botulisme dipicu oleh faktor yang berbeda.
Berikut ini adalah penjelasannya :
1. Foodborne Botulism. 

Botulisme jenis ini terjadi akibat konsumsi makanan yangterkontaminasi bakteri C. Botulinum, terutama makanan kalengan yang tidak diproses dengan baik. Jenis-jenis makanan yang diketahui dapat mengandung bakteri ini adalah :

  • Sayur atau buah rendah asam yang dikalengkan
  • Ikan kalengan
  • Ikan yang difermentasi, diasapkan, atau diasinkan
  • Daging kalengan

2. Wound Botulism

Botulisme ini terjadi ketika bakteri C. botulinum masuk ke luka. Kondisi ini banyak terjadi pada orang yang  menyalahgunakan NAPZA , terutama jenis suntik. Bakteri pemicu Botulisme dapat mengontaminasi zat terlarang, seperti heroin. Ketika NAPZA masuk ke dalam tubuh, bakteri di dalam zat tersebut akan berkembang biak dan menghasilkan racun.

3. Infant Botulism

Infant Botulism terjadi ketika bayi mengonsumsi makanan yang mengandung spora bakteri C. botulinum (biasanya madu atau sirup jagung) atau akibat terpapar tanah yang terkontaminasi bakteri tersebut. Spora bakteri yang tertelan oleh bayi akan berkembang biak dan melepaskan racun di saluran pencernaan. Meski demikian, spora bakteri ini tidak berbahaya pada bayi berusia di atas 1 tahun. Hal ini karena tubuhnya sudah membentuk kekebalan dalam melawan bakteri.

Gejala Botulisme
Gejala Botulisme muncul dalam hitungan jam atau beberapa hari setelah seseorang terpapar racun dari bakteri Clostridium botulinum. Gejala awal yang timbul akibat Botulisme meliputi kram perut, mual, muntah, diare, atau sembelit sampai dengan menyebabkan kelumpuhan otot. Gejala lain yang dapat muncul antara lain :

  • Disfagia  (sulit menelan)
  • Sulit berbicara atau bicara menjadi cadel
  • Mulut kering
  • Kelemahan pada otot wajah
  • Penglihatan ganda atau kabur
  • Kelopak mata terkulai
  • Sulit menarik napas
  • Lumpuh atau sulit menggerakkan badan

Pada kasus infant botulism, gejala muncul 18-36 jam setelah racun masuk ke tubuh. Keluhan yang muncul pada infant botulism meliputi :

  • Sembelit atau  konstipasi
  • Rewel
  • Mengiler
  • Tampak mengantuk
  • Gerakan terlihat terkulai
  • Kesulitan mengontrol gerak kepala
  • Tampak kesulitan untuk mengisap ASI atau mengunyah makanan
  • Suara tangisan lemah
  • Lemas
  • Lumpuh (tidak bergerak sama sekali)

Pemeriksaan Botulisme
Untuk memastikan bahwa gejala yang terjadi benar-benar disebabkan oleh Botulisme dan bukan karena penyakit lain, dokter dapat melakukan pemeriksaan penunjang, seperti :

  • Tes sampel darah, muntah, atau feses, untuk memastikan keberadaan racun yang dihasilkan bakteri penyebab Botulisme.
  • Elektromiografi , untuk memeriksa fungsi saraf dan otot.
  • Pemindaian dengan CT scan atau MRI scan kepala, untuk menyingkirkan kemungkinan gejala disebabkan oleh penyakit lain, seperti stroke.
  • Pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan otak dan tulang belakang), untuk memeriksa apakah gejala disebabkan oleh infeksi atau akibat cedera pada otak dan tulang belakang.

Penanganan Botulisme
Penanganan utama Botulisme adalah pemberian antitoksin untuk mencegah racun berikatan dengan saraf dan merusaknya. Terapi ini dapat mencegah perburukan gejala dan mengurangi risiko komplikasi. Namun, antitoksin tidak dapat melepaskan ikatan yang sudah terjadi antara saraf dengan racun. 

Penanganan selanjutnya tergantung pada jenis Botulisme dan kondisi pasien. Pada kasus foodborne botulism, dokter akan meresepkan obat untuk merangsang pasien muntah dan obat pencahar guna membuang racun di sistem pencernaan. Hal ini dilakukan jika makanan yang dicurigai menyebabkan Botulisme baru dikonsumsi beberapa jam sebelumnya.

 

Referensi :
Hendriati. 2016. Efektifitas Toxin Botulinum untuk Manajemen Spasme Hemifasial. Jurnal Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Albiner Siagian. 2018. Mikroba Pathogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannnya. Jurnal Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

Rao, A. et al. 2021. Clinical Guidelines for Diagnosis and Treatment of Botulism, 2021. Morbidity and Mortality Weekly Report, 70(2), pp. 1-36. 

Palma, N. et al. 2019. Foodborne Botulism : Neglected Diagnosis. European Journal of Case Reports in Internal Medicine, 6(5), pp. 001122.

Mayo Clinic. 2020. Diseases & Conditions. Botulism. 

Coffee, M. 2020. Verywell Health. Heroin Use and Infections. 

Moores, D. Healthline. 2018. Electromyography (EMG). 

Rice, S. Healthline. 2018. Cerebral Spinal Fluid (CSF) Analysis.