Minggu, 31 Juli 2022 09:47 WIB

Manajemen Bencana pada Fase Pra Bencana

Responsive image
2386
Ardiansyah, SKM, MM - RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

Bencana Hidrometeorologi terjadi di sejumlah wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) akibat cuaca ekstrem. Banjir bandang terjadi di Kabupaten Soppeng dan angin kencang di Luwu Utara.pada awal Desember 2021 ini dikarenakan hujan deras yang mengguyur sejak sore 5 Desember 2021 (https://www.merdeka.com/peristiwa/sulawesi-selatan-diterjang-banjir-bandang-dan-puting-beliung. html).

Sementara di Lumajang, Jawa Timur, terjadi erupsi gunung Semeru pada hari sabtu, 4 Desember 2021 mengakibatkan 15 orang meninggal, 27 orang hilang, dan 1.707 warga mengungsi. Erupsi Gunung Semeru juga membuat 2.970 unit rumah, fasilitas pendidikan, dan jembatan rusak. Mengutip pernyataan Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Prof Nana Sulaksana, beliau mengatakan, letusan yang terjadi pada Sabtu sore pekan lalu ternyata tidak terjadi tiba-tiba. “Jadi letusan kemarin bukan tiba-tiba, tapi memang sudah terjadi letusan kegiatan magmatisme jauh sebelumnya. Hanya kemarin saat letusan besar, secara kebetulan bersamaan dengan curah hujan tinggi,” ungkap Nana (https://regional.kompas.com/read/2021/12/ 06/174702878/ternyata-erupsi-gunung-semeru-tak-terjadi-tiba-tiba-alam-telah-memberi?page=all).

Munculnya korban pada bencana erupsi Semeru ini juga membuat beberapa pihak bertanya apakah tidak dilakukan peringatan dini atau melakukan langkah – langkah pencegahan bencana. Dari halaman kompas.com, warga di Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengaku tidak mendapatkan peringatan dini saat erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12/2021). Namun, warga sudah memperkirakan Gunung Semeru akan memuntahkan awan panas. Perkiraan warga itu didasarkan pada tanda-tanda alam. Salah satu warga Desa Supit Urang, Marsid (50), mengatakan, empat hari sebelum erupsi biasanya muncul goresan putih. Marsid menambahkan, tanda alam lainnya yang menjadi patokan warga adalah aliran air. Biasanya, sesaat awan panas turun dari kawah Gunung Semeru, seluruh aliran air di desa itu kotor (https://regional.kompas.com/read/2021/12/06/164030578/warga-supit-urang-lumajang-sudah-perkirakan-erupsi-semeru-ini-tandanya).

Dalam tahapan manajemen bencana, sebagai sebuah proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan aman, maka fase pra bencana menjadi hal yang sangat penting untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh sebuah Bencana. Pada tahapan pra bencana ini harus melibatkan kesiagaan, peringatan dini, dan mitigasi.
1. Kesiagaan

Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiagaan adalah unsur penting, namun tidak mudah dikakukan karena menyangkut kesiapan mental dan budaya serta disiplin ditengah masyarakat.

2. Peringatan Dini.

Peringatan dini diperlukan untuk memberi peringatan pada masyarakat tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadian, seperti banjir, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, atau badai.
Peringatan dini harus disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya yang berpotensi terkena bencana. Peringatan harus dasari dengan informasi teknis dan ilmiah, diolah atau diterima oleh pihak berwenang sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang akurat dan dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum bencana terjadi. 

3. Mitigasi

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2008, Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mencegahatau mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Dari batasan ini sangat jelas bahwa mitigasi bersifat pencegahan sebelum kejadian. Mitigasi bencana harus dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan pendekatan (Ramli, 2010), antara lain :
a. Pendekatan Teknis. Pendekatan teknis dilakukan untuk mengurangi dampak sebuah bencana, mislnya dengan: membuat rancangan bangunan yang kokoh (anti gempa), membuat material tahan api, membuat rancang teknis pengaman seperti tanggul banjir atau lumpur, atau tanggul tangki untuk mengendalikan tumpahan bahan berbahaya. 

b. Pendekatan Manusia. Pendekatan ini ditujukan untuk membentuk manusia yang paham dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu manusia harus merubah perilaku dan cara hidupnya sesuai dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadapinya.

c. Pendekatan Administratif. Pendekatan administratif dapat dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pengelolaan tata ruang atau tata lahan dengan memperhitungkan aspek resiko bencana, termasuk melakukan analisa resiko bencana pada sistem perijinan. Pemerintah juga harus mengembangkan program pembinaan dan pelatihan bencana, serta harus menyiapkan prosedur tanggap darurat bencana disetiap organisasi baik pemerintahan maupun industri berisiko tinggi. 

d. Pendekatan Kultural. Pendekatan ini dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bencana dan dampaknya. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat yang telah membudaya

 

Referensi

Ramli, Soehatman, 2010, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (disaster manajemen), Dian Rakyat, Jakarta

https://www.merdeka.com/peristiwa/sulawesi-selatan-diterjang-banjir-bandang-dan-puting-beliung.html, diakses tanggal 07 desember 2021

https://regional.kompas.com/read/2021/12/06/174702878/ternyata-erupsi-gunung-semeru-tak-
terjadi-tiba-tiba-alam-telah-memberi?page=all, diakses tanggal 07 desember 2021

https://regional.kompas.com/read/2021/12/06/164030578/warga-supit-urang-lumajang-sudah-
perkirakan-erupsi-semeru-ini-tandanya, diakses tanggal 07 desember 2021

DOC, PROMKES, RSMH