Selasa, 10 Oktober 2023 09:26 WIB

Penilaian Perioperatif Pasien Alergi Lateks

Responsive image
1018
dr. IB. Krisna Jaya Sutawan, M.Kes, Sp.An-TI, Subs - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Lateks pada dasarnya terbuat dari sitosol intraseluler yang dikeluarkan dari pohon karet yang dikenal dengan Hevea brasiliensis (Hev b). Karena sifat elastisnya yang sangat baik, lateks sering digunakan banyak digunakan sebagai bahan dasar peralatan medis seperti stetoskop, sarung tangan, kateter hingga kondom. Pada beberapa orang bahan dasar dari lateks dapat menyebabkan alergi dari ringan hingga berat. Ini disebabkan karena bahan dasar lateks yang memiliki alergen Hev b1 hingga Hev b15. Alergi lateks pertama yang dilaporkan terjadi pada tahun 1927. Seiring perkembangan zaman pada tahun 1980 penggunaan lateks di bidang medis semakin banyak digunakan. Ini berbanding lurus dengan tingkat kejadian alergi yang meningkat pada beberapa pasien. Pada sebuah studi melaporkan beberapa kategori pasien dengan risiko alergi lateks antara lain, petugas medis (9,7% - 12,4%), pasien yang menjalani operasi berulang (7,2% - 30,4%), serta pada pekerja non medis yang menggunakan lateks dalam pekerjaannya.1,2

Seiring perkembangan waktu kategori pasien yang menjalani operasi berulang. Hal ini dikarenakan paparan lateks berulang pada pasien yang menyebabkan peningkatan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas. Selain itu, pada pasien dengan kateterisasi berulang karena kelainan urologis juga berisiko lebih tinggi mengalami alergi lateks. Maka dari itu, sebuah studi melaporkan bahwa alergi lateks merupakan penyebab syok anafilaksis paling umum kedua selama intraoperatif.2,3

Di seluruh dunia, diperkirakan dalam satu dari setiap 3.500 hingga 20.000 operasi terjadi reaksi anafilaksis, yang mewakili sekitar 9 - 19?ri semua komplikasi bedah, dengan kematian yang bervariasi antara 3 - 9%. Hal ini dikarenakan sekitar 50?ri peralatan medis berbahan dasar lateks, maka dari itu lateks dilaporkan menjadi penyebab kedua anafilaksis perioperatif dan bertanggung jawab pada 12 - 16,7% kasus. Sejak kebijakan bebas lateks di fasilitas kesehatan digunakan, kejadian alergi menurun secara signifikan. Akan tetapi alergi lateks masih menjadi masalah yang harus diperhatikan khususnya di negara berkembang. Dengan tingginya prevalensi pada pasien yang menjalani operasi berulang, penanganan perioperatif alergi lateks diperlukan guna menurunkan angka kejadian alergi hingga anafilaksis intraoperatif.4

Patofisiologi dan Gejala

Sensitisasi lateks dapat terjadi melalui udara, mukosa kulit sehat maupun kulit yang mengalami kerusakan. Paparan melalui udara merupakan sumber utama sensitisasi pada petugas kesehatan. Hal ini diperparah dengan penambahan bubuk maizena pada sarung tangan yang dapat meningkatkan risiko paparan udara. Pasien dengan prosedur pembedahan mudah terjadi reaksi alergi. Hal ini disebabkan karena mukosa kulit yang mengalami luka atau rusak, paparan lateks lebih mudah terjadi.1,2

Pada alergi lateks terjadi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai imunoglobulin E (IgE) biasanya terjadi dalam hitungan menit hingga jam setelah terpapar. Gejala yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat ringan hingga berat. Reaksi ringan termasuk rinitis, gatal, konjungtivitis dan urtikaria, tetapi ini dapat berkembang menjadi gejala berat berupa syok anafilaksis yang mengancam jiwa dan paling sering terjadi dalam konteks intraoperatif. Sementara itu pada reaksi hipersensitivitas tipe 4 yang dimediasi sel-T gejala yang ditimbulkan relatif lebih lama dengan reaksi ringan. Gejala biasanya berupa ruam kemerahan disertai gatal dan kasar pada kulit yang muncul 48-72 jam setelah terpapar. Maka dari itu, sering kali reaksi ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan.1,4

Diagnosa

Diagnosa alergi lateks dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun melalui uji diagnostik. Pada anamnesis penilaian riwayat medis adalah landasan untuk menegakkan diagnosis alergi lateks yang akurat. Mengetahui riwayat medis dapat mengidentifikasi faktor risiko serta korelasi antara paparan lateks dan munculnya gejala. Selain itu riwayat atopi, alergi makanan (terutama pisang dan buah kiwi), dan reaksi atau komplikasi yang tidak terdiagnosis selama perawatan gigi atau prosedur bedah merupakan poin penting untuk menegakkan diagnosa.1

Beberapa uji diagnostik juga dapat dilakukan antara lain tes serum dan tes tusuk kulit. Tes serum dilakukan untuk mendeteksi IgE menggunakan reagen enzimatik dalam uji in-vitro. Tes ini banyak dilakukan di seluruh dunia walaupun kelemahan dari tes serum yaitu memiliki peluang positif palsu yang tinggi. Alternatif lain yang dapat digunakan yaitu tes tusuk kulit yang dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis hipersensitivitas tipe I terhadap lateks. Hal ini dikarenakan sensitivitas dan spesifisitasnya yang tinggi.2,3

Penilaian Perioperatif

Penilaian perioperatif pada pasien yang dicurigai alergi lateks tidak terlepas dari penilaian riwayat alergi lateks sebelumnya. Sebelum melakukan operasi pasien akan diajukan beberapa pertanyaan terkait riwayat alergi, lamanya paparan dan gejala yang dapat ditimbulkan. Sebuah studi merekomendasikan pertanyaan - pertanyaan yang dapat digunakan untuk pasien sebelum melakukan operasi antara lain:4

  1. Apakah pasien sering terpapar lateks sebelumnya
    1. Kondisi medis (misalnya spina bifida atau disfungsi kandung kemih)
    2. Operasi urogenital berulang
    3. Kateterisasi berulang
  2. Apakah pasien menderita ruam, mata gatal, bersin, atau pilek saat berada di sekitar lateks atau di tempat kerja yang berhubungan dengan lateks?
  3. Apakah pasien alergi terhadap buah-buahan? Pernahkah Anda mengalami mulut terbakar atau gatal setelah makan buah seperti pisang, kiwi, atau alpukat?
  4. Apakah pasien memiliki riwayat asma atau eksim?
  5. Pernahkah Anda mengalami reaksi dengan salah satu dari berikut ini:
    1. Meniup balon
    2. Alat kontrasepsi lateks
    3. Sarung tangan karet
    4. Botol air panas
    5. Karet gelang
    6. Bendungan karet gigi
    7. Pita elastis

Selain riwayat operasi berulang dan riwayat alergi lateks sebelumnya, penting juga ditanyakan riwayat alergi buah tertentu. Menurut studi pasien dengan riwayat alergi buah pepaya, pisang, alpukat, pepaya, anggur dan kacang almond dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi alergi. Ini dikarenakan kandungan dalam buah tersebut memiliki protein yang sama dengan yang dimiliki oleh lateks. Selanjutnya jika pada pasien dicurigai alergi lateks, dapat dilakukan uji diagnostik berupa tes serum atau tes tusuk kulit yang sudah dijelaskan sebelumnya.4,5

Alergi lateks dapat menjadi masalah serius khususnya pada pasien dengan riwayat operasi berulang. Gejala yang ditimbulkan dapat ringan hingga berat. Penilaian perioperatif serta pencegahan yang optimal dapat mengurangi angka kejadian alergi lateks.

 

Referensi :

Nucera E, Aruanno A, Rizzi A, Centrone M. Latex Allergy: Current Status and Future Perspectives. J Asthma Allergy. 2020;13:385-398.

Nguyen K, Kohli A. Latex Allergy. [Updated 2021 Jul 13]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545164/.

Cabañes N, Igea JM, de la Hoz B, Agustín P, Blanco C, Domínguez J, Lázaro M, Lleonart R, Méndez J, Nieto A, Rodríguez A, Rubia N, Tabar A, Beitia JM, Dieguez MC, Martínez-Cócera C, Quirce S., Committee of Latex Allergy. SEAIC. Latex allergy: Position Paper. J Investig Allergol Clin Immunol. 2012;22(5):313-30.

Ahmed S, Savic L. Latex: a rare but important cause of perioperative allergic reactions. BJA Educ. 2020;20(12):398-399.

Vargas A, Foncea C, Astorga P. Latex Allergy: Overview and Recommendations for the Perioperative Management of High-Risk Patients. J Head Neck Spine Surg. 2017;1(1).