Senin, 28 Agustus 2023 15:59 WIB

Benarkah Narsistik Berpengaruh pada Kesehatan Mental

Responsive image
1029
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Pada abad ke 20 ini, teknologi dan informasi telah memudahkan keberlangsungan hidup manusia. Pemanfaatan teknologi saat ini membantu setiap pekerjaan manusia menjadi lebih mudah dan cepat. Salah satu teknologi mutakhir yang banyak digunakan adalah internet dan media sosial. Dengan bantuan internet, penggunaan media sosial memberikan dambak positif dan negatif. Dampak positif dari media sosial adalah terhubungnya interaksi manusia tanpa batas. Orang-orang bisa saling berhubungan dari satu benua ke benua lainnya. Hal ini juga membuat manusia mendapatkan limpahan informasi lainnya tanpa sekat jarak dan waktu.

Dalam sebuah penelitian disampaikan bahwa intensitas mengakses media sosial, dilakukan survey durasi penggunaan media sosial di berbagai negara dunia dengan demografi usia 19 sampai 24 tahun. Hasilnya, Indonseia adalah negara ke-enam terbanyak setelah Pilipina, Brazil, Colombia, Nigeria, Argentina dalam menghabiskan waktu untuk mengakses media sosial. Waktu yang dihabiskan warga Indonesia berselancar di media sosial adalah 195 menit setiap harinya.

Mendapati bahwa Indonesia merupakan negara yang mengalami peningkatan jumlah pengguna internet dengan durasi mengakses media sosial yang tinggi memberikan kewaspadaan. Ada dampak yang dihasilkan oleh penggunaan internet atau media masa yang berlebihan, baik secara fisik maupun mental. Berdasarkan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa mengakses media sosial berhubungan positif terhadap insomnia. Semakin tinggi intensitas menggunakan media sosial semakin tinggi pula tingkat insomnia yang dialami.

Selain itu, media sosial yang berlebihan bisa berdampak negatif lainnya, seperti gangguan narsistik. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan atau bersifat adiktif dapat membentuk kecenderungan seseorang memiliki gangguan narsistik. Penelitian lainnya memperkuat bahwa adanya hubungan positif antara narsisme dan pengguna media sosial.

Secara epistimologi narsistik berasal dari kata narcissistic. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin : Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis.

Narsistik merupakan gangguan kepribadian yang ditandai dengan sikap yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Orang-orang yang narsis meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih unggul daripada orang lain dan kurang bisa menghargai perasaan orang lain. Namun di balik rasa percaya dirinya yang teramat kuat, sebenarnya orang narsis memiliki penghargaan terhadap diri sendiri yang lemah, mudah tersinggung meskipun terhadap kritikan kecil.

Dewasa ini internet dan media sosial adalah alat bagi individu gangguan kepribadian narsistik untuk mengaktualkan dirinya sendiri, membesar-besarkan diri mereka dengan memposting foto atau video prestasi dan berbagai potensi ke media sosial dengan harapan mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari orang lain. Selain itu, individu narsistik memanfaatkan hubungan sosial untuk mencapai popularitas, selalu asyik dan hanya tertarik dengan hal-hal yang menyangkut kesenangan diri sendiri. Tindakan seperti ini bisa merugikan diri sendiri dan orang lain jika dilakukan secara intens dan hal ini bisa diindikasi sebagai gangguan kepribadian.

Dalam sebuah ulasan lainnya disampaikan bahwa narsistik digunakan untuk menggambarkan orang yang mencintai dirinya sendiri. Dalam batas tertentu, kecintaan pada diri sendiri bisa dianggap normal, tetapi bila berlebihan dan bersifat mengganggu orang lain ataupun diri sendiri maka dianggap penyimpangan atau gangguan kepribadian. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bagi individu yang suka bersolek, suka berdandan dan suka mengagumi dirinya sendiri dapat dikatakan sebagai narsis. Narsistik merupakan cinta diri, perhatian yang sangat berlebihan kepada diri sendiri; satu tingkat awal dalam perkembangan manusiawi, dicirikan secara khas dengan perhatian yang sangat ekstrim kepada diri sendiri, dan kurang atau tidak adanya perhatian pada orang lain.

Dalam pandangan psikoanalisa, narsistik ditandai dengan adanya gejala infatil dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Individu yang memiliki gangguan kepribdian narsistik akan bertingkah kekanak-kanakan atau tidak matang. Maka dari itu, narsistik termasuk dalam gangguan kepribadian karena dianggap tidak mampu beradabtasi secara baik dengan orang lain. Sedangkan dalam pandangan psikologi sosial kepribadian, narsistik merupakan memanfaatkan hubungan sosial untuk mengatur harga diri, dan konsep diri. Narsistik tidak fokus pada keintiman interpersonal, kehangatan, atau hubungan jangka panjang positif lainnya, tetapi mereka sangat terampil dalam memprakarsai hubungan dan memafaatkan hubungan tersebut untuk terlihat populer, sukses, dan memiliki status tinggi dalam jangka pendek.

Dalam sebuah penelitian yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association seseorang yang memiliki 5 atau lebih dari gejala di bawah ini dapat diindikasikan sebagai gangguan kepribadian narsistik :

1.      Merasa diri sendiri paling hebat dibading orang lain. Melebih-lebihkan prestasi dan bakat,  berharap untuk diakui sebagai pribadi yang unggul namun tidak sesuai dengan potensi dan pencapain yang dimiliki.

2.      Sibuk dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati.

3.      Percaya bahwa dirinya spesial dan unik. Sehingga hanya bisa dipahami dan bergaul dengan orang-orang istimewa atau berstatus tinggi.

4.      Memiliki kebutuhan yang ekspresif untuk dikagumi.

5.      Merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa.

6.      Mengeksploitasi hubungan interpersonal untuk mencapai tujuan pribadi.

7.      Kurang empati, tidak peduli dengan perasaan dan kebutuhan orang lain.

8.      Sering kali merasa iri terhadap orang lain atau menganggap orang lain iri terhadap dirinya.

9.      Angkuh

Menurut ulasan lainnya mengatakan bahwa selain ada beberapa ciri individu narsistik dalam media sosial, pertama, tingkat aktivitas sosial yang lebih tinggi dalam komunitas online daripada offline. Kedua banyak konten membanggakan diri dalam berbagai aspek. Narsistik individu akan meningkat jika banyaknya orang lain melihat atau mengapresiasi konten yang dipostingnya.

Individu yang narsistik suka memamerkan tentang komentar dari orang lain yang mengakui keunikannya, keberhasilannya ataupun idealisme yang dijunjung tinggi oleh dirinya. Hal tersebut dilakukan ketika individu narsis merasa harga dirinya mulai terancam saat menerima masukan atau kritikan yang mengoreksi kebiasaan atau pola pikirnya. Tuntutan akan perhatian yang terus menerus bukan berasal dari keegoisannya namun dari kebutuhannya untuk menyingkirkan perasaan tidak adekuat dan harga diri yang rendah.

Ada beberapa konsekuensi gangguan kepribadian narsistik di antaranya :

1.      Agresi

Agresi merupakan salah satu perilaku sosial yang paling melekat pada individu narsisitik. Diungkapkan bahwa narsistik melakukan respon agresif terhadap kritik dan ancaman lain dengan cara menghina argumentasi, marah dan melakukan tindakan agresif lainnya seperti kekerasan yang tidak terkontrol.

Narsitistik cenderung menyalahkan situasi atau orang lain jika apa yang diinginkan tidak tercapai. Penderita narsistik akan selalu terfokus pada dirinya sendiri. Mereka beranggapan mereka lebih baik di atas rata-rata dalam hal kecerdasan dan daya tarik. Mereka sangat percaya bahwa dirinya unggul dari pada kebanyakan orang terutama pada kecerdasan dan ketegasan. Narsistik memiliki kebutuhan yang eksesif terhadap pujian dan pengakuan dari orang lain.

2.      Merusak suatu Hubungan

Efek narsisme yang paling substansial adalah berkaitan dengan fungsi interpersonal. Secara umum, orang yang narsis sibuk dengan bagaimana menampilkan performa yang unggul sedemikian rupa sehingga orang asing suka dan terkesan dengan dirinya dalam pertemuan awal. Dalam hubungan interpersonal, individu narsistik dapat membangun hubungan interpersonal dengan baik, yaitu cenderung disukai pada interaksi awal, dianggap menarik, dianggap mampu jadi pemimpin kelompok tertentu, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Namun begitu, individu narsistik gagal menciptakan hubungan jangka panjang yang memiliki kualitas kedekatan empati atau kehangatan emosional. Ini dikarenakan sikapnya yang suka mengeksploitasi hubungan interpersonal hanya untuk menunjukkan kepada publik dalam setiap kesempatan bahwa dirinya paling hebat daripada orang lain. perilaku ini bisa menjadi gangguan interpersonal jika hubungan sudah lebih intim. Narsistik akan mengelabui orang asing dengan penilaian yang singkat. Secara signifikan narsistik terkait dengan perilaku yang mendominasi, dan suka berdendam.

3.      Muncul Perilaku yang Menyimpang dari Proses Internalisasi

Internalisasi merupakan proses pembelajaran selama hidup di dunia yaitu berupa melewati berbagai peristiwa dan kondisi-kondisi tertentu yang kemudian membentuk suatu keyakinan seseorang baik itu norma, prinsip dan cara pandang. Secara sederhana narsistik bisa merangsang tumbuhnya perilaku yang menyimpang dari proses internalisasi yang dibentuk dari kegagalan individu narsistik dalam berbagai bidang, seperti gagal membangun hubungan personal, gagal dalam beradabtasi sebagai bagian fungsi sosial, gagal dalam pekerjaan dan lain sebagainya. Gangguan kepribadian narsistik berpotensi mengalami depresi dan kecemasan. Hal ini disebabkan oleh gangguan fungsional yang berdampak pada tekanan psikologis bagi penderita narsistik.

4.      Kurang Wawasan Mengenal Kepribadian Diri Sendiri

Banyak literatur yang menemukan bahwa gangguan kepribadian memang memiliki wawasan yang rendah tentang dirinya sendiri. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kurangnya wawasan ini memengaruhi kemampuan individu narsistik untuk menilai kepribadian orang lain secara akurat. Narsistik hanya memiliki kemampuan berfantasi bahwa dirinya adalah orang yang sangat menarik, penuh prestasi dan layak diistimewakan. Sedangkan orang yang mengenal mereka akan menilai narsistik adalah seorang pembual, tukang pamer dan jauh dari kenyaatan yang disampaikan oleh narsistik itu sendiri. Walaupun narsistik tidak lebih parah daripada gangguan kepribadian lainnya, narsistik merupakan sebuah patologi yang berkaitan dengan agresi, pengembangan diri, hubungan intrpersonal, bias kognitif, dan perilaku disregulasi internalisasi.

Selain ada beberapa konsekuensi gangguan kepribadian narsistik, perlu kita ketahui ada beberapa sebab munculnya gejala narsistik di antaranya :

1.      Kesepian

Bahwa adanya hubungan antara kesepian dengan gangguan kepribadi. Semakin tinggi seseorang merasa kesepian semakin tinggi tingkat narsistik yang diperlihatkan di media sosial. kesepian salah satu merupakan faktor penyebab narsistik, bahwa komunikasi online yang dilakukan pada media sosial bisa meningkatkan dukungan sosial, harga diri sekaligus mengurangi kondisi kesepian dan depresi.

2.      Self-esteem yang rendah

Kecenderungan narsistik sangat sensitif terhadap kritik atau kegagalan, karena sebenarnya memiliki harga diri (self-esteem) yang rapuh. Penderita gangguan kepribadian narsisitik memiliki masalah pada self-esteem yang sangat tergantung dengan interaksi sosial. Individu yang memiliki self-esteem yang rendah, ia akan berusaha untuk meningkatkannya dalam berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menunjukkan eksistensinya kepada orang lain lewat media sosial dengan menampilkan sisi terbaik dalam kehidupannya lewat foto, status atau video dan beberapa fitur lainnya.

3.      Subjective Well-Being

Faktor pendukung dari narsistik adalah mereka mendapatkan kesejahteraan yang bersifat hedonik. Mereka akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan, bebas stres, dan bebas dari tekanan apapun. Kesenangan seperti ini akan membentuk sebuah perilaku adiktif, jika seseorang mendapat umpan balik dari media sosial tentang postingannya yang dianggap menarik oleh orang lain dan ia merasa tersanjung dan bangga atas diri dan apa yang telah ia lakukan. Dalam kajian psikologi, suatu kegiatan yang menyenangkan akan terus diulang-ulang. Individu akan berusaha mendapatkan kembali kesenangan yang pernah dialami dengan mengakses media sosial secara terus menerus dengan memposting status, photo dan fitur lainnya di dalam media sosial dengan harapan mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain. Jika hal ini terjadi, ada potensi individu akan mengalami gangguan kepribadian narsistik.

Narsistik ditelaah dari berbagai perspektif kebanyakan disimpulkan sebagai perilaku yang merusak diri  dan orang lain. Kecenderungan manusia sebagai makhluk yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang menjadi alasan narsistik meluas di media sosial secara sadar maupun tidak. Memajang foto, video dan status berbagai aktivitas keseharian yang mengundang orang lain yang melihat untuk melakukan hal yang sama. Berlomba-lomba memperlihatkan sisi-sisi kehidupannya yang kadang tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mirisnya, kehidupan privasipun menjadi konsumsi publik di media sosial. Kehidupan digital saat ini, menjadikan mudah untuk kita saling melihat, menyapa antara satu dan yang lainnya tanpa terhalang jarak dan waktu. Kita akan banyak menemukan akun-akun yang selalu update yang terlihat terindikasi mengalami narsistik. Membagikan foto pasangan, anak dan keluarganya; pekerjaan dan instansi yang dimilikinya, foto-foto liburan dan lain sebagainya. Namun begitu, bukanlah hal yang bijaksana jika kita langsung menghakimi mereka dengan foto, video dan status yang mereka bagikan di media sosial. Narsistik merupakan penyimpangan perilaku yang kompleks yang membutuhkan penanganan daripada ahli. Ada banyak hal yang harus dianalisa sebelum seseorang dikatakan memiliki gangguan narsistik seperti menjalani pengukuran alat tes narsistik, analisa riwayat hidup oleh ahli, dan lain sebagainya. Seyogyanya, kita harus berhati-hati dalam menilai seseorang apalagi hanya dinilai dari foto, video dan status yang diunggah di media sosial. Untuk itu, bijaklah dalam berselancar di media sosial, jangan ada prasangka terhadap orang lain atas narsistik, sebaliknya, kitalah yang harus selalu memeriksa diri dan hati kita sendiri agar terhindar dari narsistik dan gejalanya.

 

Referensi :

Buffardi, Laura E. & Campbell, W. 2008. Narcissism and social networking web sites. Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 34, 2008.

Engkus, Hikmat, Karso Saminnurahmat. 2017. Perilaku Narsis Pada Media Sosial di Kalangan Remaja dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 20 No. 2, Desember 2017.

Fatmasari Widyastuti. 2017. Perbedaan Tingkat Kecenderungan Narsistik pada Siswa Introvert dan Ekstrovert di SMA Piri 1 Yogyakarta. E-Journal Bimbingan dan Konseling Edisi 3 Tahun Ke-6, 2017.

Hikmat. 2016. Bimbingan Akhlaqul Karimah Terhadap Perilaku Narsisme Remaja. Aktualisasi Nuansa Ilmu Dakwah, Vol. 15, No. 2, Desember 2016.

Jelang Hardika, IGAA Noviekayati, Sahat Saragih. 2019. Hubungan Self-Esteem dan Kesepian dengan Kecenderungan Gangguan Kepribadian Narsistik pada Remaja Pengguna Sosial Media Instagram. Psikosains,Vol. 14, No.1, Februari 2019.

Kembaren Dianelia R. Sembiring. 2017. Hubungan Antara Kesepian dan Kecenderungan Narsisistik pada Pengguna Jejaring Sosial Media Instagram. Jurnal Psikologi Vol. 16 No. 2 Oktober 2017

Maria, H., Prihanto, S. & Sukamto, E. 2001. Hubungan antara Ketidakpuasan Terhadap Sosok Tubuh (Body Satisfaction) dan Kecenderungan Kepribadian Narsistik dengan Gangguan Makan (Kecenderungan Anorexia Nervosa dan Bulimia Nervosa). Anima, Vol. 16, No. 3, 2001.

Novi Nitya Santi. 2017. Dampak Kecenderungan Narsiscisme Terhadap Self Esteem pada Pengguna Facebook Mahasiswa PGSD UNP. Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 5 No. 1 Januari 2017.

Ria Sabekti, Ah Yusuf, Retnayu Pradanie. 2019. Aktualisasi Diri dan Kecenderungan Narsisme pada Remaja Akhir Pengguna Media Sosial. Psychiatry Nursing Journal (Jurnal Keperawatan Jiwa), Vol. 1, No. 1, 2019.

Wydia Khristianty Putriny Syamsoedin Hendro Bidjuni Ferdinand Wowiling. Hubungan Durasi Penggunaan Media Sosial dengan Kejadian Insomnia pada Remaja di SMA Negeri 9 Manado. E-journal keperawatan (e-Kp) Vol. 3. No. 1, Februari 2015.

Umul Sakinah, M. Fahli Zatrahadi, Darmawati. Fenomena Narsistik di Media Sosial Sebagai Bentuk Pengakuan Diri.