Senin, 12 Juni 2023 09:16 WIB

Mengenali Gangguan Komunikasi Pasca Cedera Otak Traumatik

Responsive image
1128
Frida Handayani, SST - RS Ortopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta

Beberapa waktu yang lalu kita sempat dikejutkan dengan berita kasus penganiayaan yang dilakukan seorang pemuda terhadap seorang remaja pria karena dugaan latar belakang peristiwa di masa lampau. Penganiayaan berat itu mengakibatkan korban mengalami koma di Rumah Sakit selama kurang lebih 1 bulan lamanya. Benturan di kepala dan otak korban yang sangat keras, membuat ia mengalami cedera kepala berat. Dari berita di media sosial pun kita terus mendapatkan update informasi mengenai kondisi korban yang terus berupaya untuk sembuh dan dapat kembali beraktifitas seperti semula dengan rutin melakukan terapi rehabilitasi berupa fisioterapi dan terapi wicara.

Pengertian  

Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury) adalah bentuk cedera otak yang di dapat dan bersifat non-degeneratif akibat benturan, pukulan, goncangan keras ataupun penetrasi kepala yang akan mengganggu fungsi otak (America Centers for Disease Control and Prevention/CDC, 2015). Berdasarkan identifikasi CDC tahun 2019, penyebab cedera kepala bisa karena akibat jatuh (52%), kecelakaan kendaraan bermotor (20%), akibat pukulan penganiayaan/kekerasan (17%), maupun cedera terkait olahraga, ledakan/pertempuran militer (11 %).

TBI dapat menyebabkan kerusakan otak yang bersifat fokal (contohnya akibat tembakan senjata) maupun meluas (karena kecelakaan kendaraan bermotor). Gejala yang muncul dapat bervariasi mulai dari ringan, sedang hingga berat tergantung pada lokasi lesi, tingkat kerusakan otak dan usia atau tahap perkembangan anak. Efek TBI dapat bersifat sementara atau permanen, dan tidak ada dua individu yang memiliki pola yang sama. Dampak fungsional TBI antara anak-anak dengan orang dewasa akan berbeda, sebab otak anak masih akan terus berkembang.

Tanda dan Gejala Gangguan Komunikasi Terkait Cedera Otak Traumatis

Gangguan komunikasi yang dapat dialami pasca cedera kepala akan berdampak buruk pada hubungan komunikasi verbal dan non verbal dalam kehidupan keluarga, komunitas maupun bermasyarakat, keberhasilan akademik di sekolah maupun keberhasilan dalam melakukan pekerjaan yang kompetitif.

Lalu apa saja tanda gejala gangguan komunikasi yang bisa muncul pada pasien dewasa pasca terjadinya cedera kepala? Berikut sedikit penjelasannya :

·      Aspek Kognitif, dapat mengalami gangguan atensi/perhatian baik secara selektif maupun berkelanjutan. Gangguan fungsi eksekutif berupa kesulitan memproses informasi dan merespon informasi yang masuk dengan cepat sehingga muncul kebingungan pada pasien, kesulitan dalam pengambilan keputusan, penalaran dan pemecahan masalah. Gangguan memori jangka pendek sehingga mempengaruhi proses pembelajaran baru, defisit memori kerja yang berdampak negatif dalam penyelesaian tugas, kesulitan mengingat untuk melakukan tindakan yang direncanakan, amnesia pasca trauma. Gangguan Metakognisi berupa berkurangnya kemampuan untuk mendeteksi kekuatan, kelemahan, kemampuan fungsional, situasi masalah pada seseorang. Maupun Defisit Kognitif Lainnya yakni kesulitan  dalam orientasi diri, situasi, lokasi, waktu, spasial yang dapat mempengaruhi kemampuan navigasi.

·      Aspek Pragmatik/komunikasi sosial, pasien biasanya kesulitan untuk memulai percakapan dan mempertahankan topik, kesulitan gilir bicara (turn talking) dalam percakapan, kesulitan menahan perilaku atau bahasa yang tidak pantas digunakan, terjadi banjir kata (banyak penggunaan kata yang tidak semestinya), kesulitan dalam menggunakan komunikasi nonverbal secara efektif misalnya pengaturan nada suara, ekspresi wajah maupun bahasa tubuh, kesulitan dalam ketrampilan kognisi sosial (misal dalam mengatur emosi, mengekspresikan emosi dan memahami emosi orang lain, kemampuan mengambil perspektif orang lain), ketidakmampuan untuk menginterpretasikan komunikasi nonverbal orang lain.

·      Aspek Bahasa Ujaran/verbal, dapat mengalami kesulitan menemukan kata, menurunnya kemampuan merumuskan percakapan, kesulitan mengikuti perintah, kesulitan merumuskan ujaran, kesulitan membuat kesimpulan, kesulitan memahami konsep bahasa abstrak.

·      Bahasa Tulisan, beberapa mengalami kesulitan memahami teks tertulis terutama dengan sintaksis yang rumit dan bahasa kiasan, kesulitan dalam merancang, mengatur, menulis dan mengedit produk tertulis.  

·      Aspek Bicara, mengalami disartria (pengucapan artikulasi vokal/konsonan yang tidak tepat), apraksia verbal (gangguan pemrograman bicara ditandai dengan bila diminta menirukan kata tidak mampu namun pasien dapat mengucapkannya secara spontan), terkadang bicara menjadi hipernasal/sengau.

·      Aspek Suara, mengalami gangguan suara (disfonia) akibat paska trakeostomi atau penggunaan ventilator mekanik.  Cedera pada persyarafan pita suara, gangguan suara psikogenik akibat stress paska trauma.

·      Aspek Menelan, dapat mengalami gangguan menelan (disfagia), resiko terjadinya aspirasi dikaitkan demgan adanya gangguan kognitif.   

Tanda gejala khusus pada kelompok umur balita ke bawah

Tanda dan gejala diatas akan sulit terlihat pada kelompok umur bayi dan balita karena kemampuan perkembangan komunikasi mereka yang masih terbatas. Sehingga keluarga maupun dokter perlu menyadari tanda-tanda berikut ini yang mungkin saja terjadi pasca terjadinya TBI. Yakni terjadinya perubahan dalam kemampuan memperhatikan suatu benda, perubahan kebiasaan makan/menyusui, perubahan dalam minat kepada mainan/aktivitas favorit, perubahan kebiasaan tidur, Iritabilitas, menangis terus menerus dan sulit untuk dihibur, lesu, hilangnya kemampuan berbahasa/ketrampilan yang sudah dikuasai sebelumnya, sensitif terhadap cahaya/bunyi, berjalan tidak stabil, kehilangan keseimbangan.

Intervensi

Dengan demikian, setelah mengetahui tanda gejala gangguan komunikasi pada anak dan dewasa pada kasus cedera otak traumatik, berharap agar mereka segera mendapatkan penanganan sedini mungkin guna mencegah gejala sisa yang lebih buruk di masa depan. Terapis wicara akan membantu untuk meningkatkan kemampuan atensi, memori, komunikasi sosial, pemahaman membaca serta fungsi eksekutif (proses kognitif atau berpikir tingkat tinggi berupa perencanaan, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, pengurutan tindakan, penugasan dan organisasi tugas) dan metakognisi (kesadaran, keyakinan dan pengetahuan seseorang tentang proses dan cara berpikir pada hal-hal yang mereka lakukan sendiri sehingga meningkatkan proses belajar dan memori).

 

Referensi:

https://www.asha.org/practice-portal/clinical-topics/pediatric-traumatic-brain-injury/#collapse_6

https://www.asha.org/practice-portal/clinical-topics/traumatic-brain-injury-in-adults/

Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Report to Congress on traumatic brain injury in the United States: Epidemiology and rehabilitation. Atlanta, GA: Author.

https://osmose-it.s3.amazonaws.com/jPcJP2YETOuESgwGiNzwjdfhSi2gm3aW/_.jpg

https://osmose-it.s3.amazonaws.com/d_Q4Ck8GThW4wIZKsV1DzR3TTJaDTKNe/_.jpg

https://cdn.majalahpama.my/2018/10/2-23.jpg

https://res.cloudinary.com/dk0z4ums3/image/upload/v1643870357/attached_image/cme-skp-menilai-bayi-dengan-cedera-otak-traumatik.jpg