Jumat, 19 Mei 2023 08:59 WIB

Efektivitas Pelayanan Gawat Darurat di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr.R. Soeharso Surakarta

Responsive image
823
YUNUS, S.Kep, Ners - RS Ortopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta

Salah satu pengukuran layanan penanganan sebagai standar tindakan penanganan untuk melayani pasien menurut Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor : HK.02.03/I/2630/2016 yaitu ukuran waktu yang relatif singkat yang segera dilakukan tindakan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang kurang dari 120 menit yaitu saat pasien datang dari mulai mengurus kebutuhan administrasi dahulu kemudian baru dilakukan pemeriksaan dan tindakan.

Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN dengan akumulasi kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat yang tinggi. Data menunjukkan jumlah pasien yang berkunjung ke Instalasi Gawat Darurat mencapai 4.402.205 pasien pada tahun 2017 (Kementrian Kesehatan RI, 2019). Angka tersebut merupakan akumulasi dari 12% kunjungan Instalasi Gawat Darurat yang berasal dari rujukan RSU yaitu 1.033 unit dan 1.319 unit RS lainnya. Kemudian, pada tahun 2018, di Jawa Tengah terdapat kunjungan pasien ke RS sebanyak 1.990.104 Pasien (Kementrian Kesehatan RI, 2019).

Waktu tanggap yang tepat dan efesien memiliki peran yang besar pada pengambilan keputusan dimulai pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat hingga dipindahkan dari Instalasi Gawat Darurat. Keberhasilan waktu tanggap dibagi dalam beberapa kategori. Kategori P1 (Prioritas 1) response pelayanan dengan waktu 0-5 menit, kategori P2 (Prioritas 2) response pelayanan 45 menit, kategori P3 (Prioritas 3) response time pelayanan 60 menit, kategori P4 (Prioritas 4) dengan response time pelayanan 120 menit dengan meningkatkan sarana dan prasarana serta performa dari manajemen Instalasi Gawat Darurat rumah sakit sesuai standar (Mercier et al., 2013)

Kegawatdaruratan Patah Tulang berdasarkan Kondisi sebagai berikut :

1.      Pendarahan pada Arteri Besar

Trauma arteri dapat terjadi karena adanya trauma tumpul maupun tajam yang merusak tulang atau sendi yang berada di sekitar pembuluh darah arteri. Trauma yang terjadi pada pembuluh darah arteri dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif dan terbuka pada luka atau pada jaringan lunak. Gangguan aliran darah arteri dapat ditunjukkan dengan gejala ekstrimitas dingin, dan menghilangnya pulsasi ekremitas. Trauma vascular dapat ditunjukkan dengan pembesaran hematoma yang cepat. Kondisi cedera ini dapat menjadi berbahaya jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik pasien (Diwan et al., 2018b)

2.      Crush Syndrome

Rhabdomyolysis atau crush syndrome dapat terjadi karena adanya kerusakan otot yang dapat menyebabkan kegagalan ginjal akut apabila tidak segera ditangani. Crush syndrome diakibatkan oleh crush injury di sejumlah otot, bagian betis dan paha sering mengalami kejadiaan ini (Rajagopalan, 2010).

Crush syndrome dapat mengakibatkan komplikasi antara lain adalah Disseminated Intravaskular Coagulation, hyperkalemia, asidosis metabolik, hipovolemi dan gagal ginjal akut (Blom et al., 2018b).

Crush syndrome memerlukan tindakan manajemen kegawatdaruratan cepat dan tepat untuk mencegah munculnya komplikasi. Hal yang dapat dilakukan di Instalasi Rawat Darurat adalah (Zutt et al., 2014):

a)      ABC Evaluation (Evaluasi ABC)

b)      Resusitasi cairan dengan pemberian cairan IV yang dibutuhkan pada kasus hipovolemia. Menghindari cairan dengan kandungan potassium dan lakat karena dapat memperburuk asidosis dan hiperkalemia.

c)      Bikarbonat diberikan untuk meredakan asidosis

d)      Melakukan terapi definitif setelah keadaan hemodinamik stabil.

3.      Sindrom Kompartemen

Kejadian ini merupakan kondisi dimana otot dibatasi oleh rongga fasia dengan keadaan tertutup. Lengah bawah, tungkai bawah, tangan, kaki, paha dan region glutea adalah bagian tubuh yang rentan dan sering terdampak oleh sindroma kompartemen (Gardner et al., 2008b).

Tanda-tanda khusus dari sindroma kompartemen adalah :

a)      Adanya asimetris pada daerah kompartemen

b)      Terdapat penurunan sensasi fungsi saraf

c)      Bertambahnya nyeri dengan gerakan pasif yang melibatkan peregangan otot Pengembalian patahan ke posisi awal atau semula dan mempertahankan posisi

pada masa penyembuhan patah tulang merupakan prinsip utama dalam menangani fraktur. Terdapat 8 cara / metode dalam melakukan penanganan fraktur.

1.        Proteksi menggunakan mitela tanpa melakukan reposisi

2.      Melakukan imobilisasi keluar tanpa melakukan reposisi

3.      Melakukan reposisi menggunakan manipulasi diikuti imobilisasi.

4.      Melakukan reposisi secara bertahap dan terus menerus dengan traksi dalam rentang waktu tertentu.

5.      Reposisi dengan melakukan imobilisasi diikuti dengan fiksasi luar.

6.      Melakukan prosedur reposisi yang non operatif yaitu melalui penggunaan fiksator tulang melalui tindakan bedah.

7.      Reposisi yang dilakukan secara operatif kemudian diikuti dengan prosedur Open Reduction Internal Fixation (ORIF) atau fiksasi tulang pada bagian interna.

8.      Melakukan eksisi fragmen patah tulang menggunakan prosthesis (Schlickewei

et al., 2019).

Terdapat beberapa hal terkait dengan penatalaksanaan medis antara lain adalah :

1)      Penilaian dan diagnosis

2)      Reduksi

3)      Retensi

4)      Rehabilitasi

Emergency Response time merupakan sebuah prinsip penanganan pasien dalam keadaan gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit yang dinilai dari pasien datang sampai pasien mendapatkan bantuan medis dari tim medis. Penanganan memiliki peranan sangat penting dalam prinsip penyelamat pasien, perlu juga dipertimbangkan dalam penanganannya bagaimana penyakit pernyerta pasien dan derajat keparahan penyakit atau cidera pasien. Dalam penanganan kasus gawat darurat perlu dilakukannya klasifikasi prioritas sehingga dapat segera dilakukan pertolongan pasien dalam emergensi (Lulie and Hatmoko, 2017).

Penanganan kasus emergensi mempunyai motto: Time Saving it’s Live Saving, yang memiliki arti secara harfiah bahwa dalam penanganan kasus gawat darurat harus dilakukan pertolongan secara efektif dan efisien untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Perlu menjadi perhatian bahwa, dalam keadaan gawat darurat, nyawa pasien sangatlah krusial untuk menjadi prioritas tim medis, misalkan pasokan oksigen yang terlambat beberapa menit saja dapat mengakibatkan hipoksia kronis dan bahkan kematian pasien. Sehingga dalam hal ini emergency response time menjadi suatu prinsip penting dalam penangan kasus emergensi di Instalasi gawat darurat rumah sakit (Haryatun and Sudaryanto, 2009).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menjelaskan bagaimana pentingnya pelaksanaan pertolongan pertama dalam kasus emergensi yang tertuang dalam konsep Basic Life Support, dimana layanan darurat medis harus memiliki prinsip pertolongan secara efektif dan efisien dalam menangani penyakit dan cidera dan dapat menyediakan layanan medis yang berkualitas demi keselamatan pasien. Emergency response time adalah hal yang mendasar dalam faktor perawatan sehinggaperlu adanya kontrol untuk meningkatkan peluang bertahan hidup dan mengurangi bertambahnya derajat keparahan suatu penyakit (Cabral et al., 2018).

Emergency Response Time dibagi menjadi 2 yaitu Pre Decision Time dan Emergency Response Time 2. Pre Decision Time adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan tindakan operasi cito sejak diputuskan oleh dokter spesialis anestesi (setelah seluruh pemeriksaan penunjang dilakukan) sampai dimulainya insisi dikamar operasi (from decision to incision) (Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.03/I/2630/2016), dalam pelaksanaannya waktu pre decision ini agar sesuai dengan SPO waktu maksimalnya adalah selama 90 menit sejak pasien datang IGD sampai mendapatkan keputusan tindakan (DPJP Ortopedi, Spesialis Anestesi dan keluarga). Pre decision time ini diusahakan juga secepat mungkin, jadi lebih cepat lebih baik dengan waktu maksimal jika dimungkinkan adalah 90 menit.

Emergency response time 2 adalah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan tindakan operasi cito sejak diputuskan oleh dokter spesialis anestesi (setelah seluruh pemeriksaan penunjang dilakukan) sampai dimulainya insisi dikamar operasi (from decision to insision) (Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.03/I/2630/2016). Triage merupakan sebuah usaha dalam melakukan prioritas terhadap pasien berdasarkan derajat kegawat daruratan atau penyakit sehingga dapat dilakukan skala prioritas dalam penanganan pasien gawat darurat di IGD (Hull et al., 2014). Sesuai dengan pendapat AHCA (America Hospital Association) tahun 2017 mengatakan bahwa masyarakat bergantung pada pelayanan IGD sebagai pusat pertolongan pertama dalam kasus emergensi yang membutuhkan penanganan medis secara cepat sehingga dapat mengurangi kesakitan dan menyelamatkan nyawa (Harper et al., 2018).

Layanan kegawatdaruratan menurut Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: HK.02.03/I/2630/2016, perlu adanya kriteria dalam menentukan pasien tersebut termasuk dalam pasien gawat darurat (Cito) atau tidak yaitu berdasarkan:

1.      Tatalaksana pasien gawat darurat sesuai dengan prioritas kegawatan

2.      Pasien yang diputuskan mendapatkan tindakan operasi cito dilakukan operasi dalam waktu 120 menit dihitung dari saat pengambilan keputusan (decision DPJP) sampai dengan insisi.

3.      Kriteria inklusi: pasien IGD yang diputuskan tindakan cito

4.      Kriteria ekslusi: kasus patah tulang terbuka yang melebihi golden period (8 jam). Pasien disertai kegawatan organ lain yang memerlukan regulasi / perbaikan kondisi dan pasien yang diputuskan memerlukan puasa lebih dari 2 jam.

Tatakelola pelaksanaan Emergency Response Time ( ERT) :

1.      Persiapan pra operasi meliputi pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang (radiologi, laboratorium), konsultasi DPJP (Ortopedi, Anestesi, Spesialis lain) dan informed consent dilakukan selama 90 menit

2.      IGD berkoordinasi dengan IBS untuk pendaftaran rencana operasi cito

3.      IBS melakukan penjadwalan dan persiapan sarana prasarana serta SDM dengan prioritas operasi cito

4.      Persiapan saran prasarana cito minimal 2 set operasi bedah dasar, seta aktifasi SDM siaga apabila diperlukan

5.      Emergency Response Time (ERT 2) operasi cito yaitu 120 menit dimulai dari saat pengambilan keputusan operasi cito sampai dengan insisi di meja operasi (from decision to incision)

6.      Pengumpulan data dilakukan satu bulan, dilaporkan kepada Direktur Medik dan Keperawatan

7.      Sumber data dari catatan rekam medis pasien

8.      Formula Emergency Response Time 2 yaitu jumlah waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapat tindakan operasi cito (numerator) dibagi jumlah seluruh pasien IGD yang diputuskan operasi cito (denumerator)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 856/MENKES/SK/IX/2009 mengenai Standar Pelaksanaan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Rumah Sakit, pasien dalam kasus emergensi yang di IGD wajib mendapat pertolongan medis kurang dari 5 menit. Ketika pasien diterima oleh perawat di triase IGD harus segera di lakukan pertolongan setelah pasien datang sampai dilakukan triase untuk melihat derajat gawat darurat dan akan dilakukan prioritas pasien sesuai dengan kasusnya.

Kebutuhan untuk penerapan waktu tanggap respon emergensi yang efektif dan efesien sangat krusial dalam memutuskan pemberian pertolongan tindakan medis dimana sejak pasien datang di IGD sampai pasien masuk ke ruang operasi atau bangsal rumah sakit. Pelaksanaan waktu respon yang cepat dan tepat dan sesuai dengan standar operasional akan sangat membantu proses perawatan dan pelayanan medis sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Keterlambatan dalam pelayanan dan penanganan medis di IGD dapat mengakibatkan derajat keparahan luka atau penyakit semakin parah dan juga bahkan dapat menyebabkan kematian. Waktu tanggap emergensi yang memanjang dapat menyebabkan perburukan kondisi pasien dan bahkan dapat menyebabkan kematian pasien (Maatilu et al., 2014).

Penerapan triase yang kurang efektif dan efisien dan belum sesuai dengan standar operasional dapat membahayakan keselamatan pasien. Apabila pasien tidak dilakukan skala prioritas berdasarkan derajat keparahan penyakit atau cidera pasien dalam prioritas triase maka dapat kondisi yang kritis dan dapat menyebabkan kematian (Aloyce et al., 2014).

Keberhasilan atau keefektifan dan efisiensi dalam pelaksanaan triase di rumah sakit ditentukan oleh beberapa faktor antara lain faktor performance, faktor keadaan pasien, faktor perlengkapan di unit triase, dan faktor ketenagakerjaan yang berada di instalasi gawat darurat (Christ et al., 2010). Studi lain yang dilakukan oleh Anderson, Omberg, dan Svedlund (Andersson et al., 2006) menjelaskan beberapafaktor yang mempengaruhi pelayanan emergensi di rumah sakut dibagi menjadi dua faktor. Faktor pertama yaitu faktor internal dimana hal ini mencakup keterampilan tim medis dan kapasitas kinerja dari tim medis. Faktor kedua yaitu adalah faktor eksternal, dimana hal ini mencakup kapasitas lingkungan kerja, yang didalamnya juga termasuk beban kerja, shift kerja, dan kondisi penyakit penyerta atau komorbid dari pasien. Apabila kedua faktor tersebut diabaikan maka pelayanan dan pelaksanaan layanan emergensi di Standar Prosedur Operasional tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pasien (Gerdtz et al., 2009).

Layanan kegawatdaruratan cedera pasien apabila tidak segera ditangani dengan cepat, akan menimbulkan masalah dikemudian hari dengan adanya infeksi maupun kemunculan penyakit lanjutan akibat ketidakseriusan dalam menangani dan lambatnya prosedur penerapan tindakan yang dilakukan oleh petugas medis dalam menjalankan tugasnya, khususnya di ruang IGD rumah sakit. Agar efektifitas layanan IGD tercapai dengan baik, maka perlu untuk meminimalkan penyakit yang berkelanjutan baik itu karena timbulnya infeksi tersebut atau hal lain, maka diperlukan :

1.      Profesional Pemberi Asuhan tetap patuh dan disiplin dalam melaksanakan Standar Prosedur Operasional Emergency Response Time. Selain itu juga diperlukan jadwal operasi sesuai waktu yang telah ditentukan dengan adanya persiapan-persiapan seperti ruang operasi khusus, dan ruang yang memadai untuk menampung beberapa pasien dalam satu ruang kegawatdaruratan (IGD).

2.      Tim Jaga malam perlu ada cadangan agar jika ada pasien bersamaan datang operasi dapat dilakukan bersamaan pula, prioritas penanganan operasi fokus pada yang patah tulang terbuka, misal dengan diagnose multiple fraktur dengan salah satu patah tulang terbuka maka tindakan operasi diprioritaskan pada operasi dengan patah tulang terbuka saja, untuk menghindari operasi yang lama yang akan mempengaruhi kesembuhan luka operasi, sehingga kejadian angka infeksi akan menurun dengan instrumen yang steril dan satu pasien satu set instrumen.

3.      Edukasi yang maksimal dari petugas kesehatan dan kontrol dengan teratur paska operasi juga diperlukan untuk mengatasi kendala-kendala yang mungkin terjadi selama mempersiapkan tindakan operasi emergensi.

 

Referensi:

 Aloyce, R., Leshabari, S. and Brysiewicz, P. (2014), “Assessment of knowledge and skills of triage amongst nurses working in the emergency centres in Dar es Salaam, Tanzania”, African Journal of Emergency Medicine, available at:https://doi.org/10.1016/j.afjem.2013.04.009.

Andersson, A.K., Omberg, M. and Svedlund, M. (2006), “Triage in the emergency department--a qualitative study of the factors which nurses consider when making decisions.”, Nursing in Critical Care, Vol. 11 No. 3, pp. 136–145.

Blom, A.W., Warwick, D. and Whitehouse, M.R. (2018b), Apley and Solomon’s System of Orthopaedics and Trauma Tenth Edition, CRC Press Taylor & Francis Group.

Cabral, E.L.D.S., Castro, W.R.S., Florentino, D.R. de M., Viana, D. de A., da Costa Junior, J.F., de Souza, R.P., Rêgo, A.C.M., et al. (2018), “Response time in the emergency services. Systematic review”, Acta Cirurgica Brasileira, available at:https://doi.org/10.1590/s0102- 865020180120000009.

Christ, M., Grossmann, F., Winter, D., Bingisser, R. and Platz, E. (2010), “Triage in der notaufnahme”, Deutsches Arzteblatt, Deutscher Arzte Verlag, Vol. 107 No. 50, pp. 892–898.

Diwan, A., Eberlin, K.R. and Smith, R.M. (2018b), “The principles and practice of open fracture care, 2018”, Chinese Journal of Traumatology - English Edition, available at:https://doi.org/10.1016/j.cjtee.2018.01.002.

Gardner, M.J., Boraiah, S., Helfet, D.L. and Lorich, D.G. (2008b), “The anterolateral acromial approach for fractures of the proximal humerus”, Journal of Orthopaedic Trauma, available at:https://doi.org/10.1097/BOT.0b013e3181589f8c.

Gerdtz, M.F., Chu, M., Collins, M., Considine, J., Crellin, D., Sands, N., Stewart, C., et al. (2009), “Factors influencing consistency of triage using the Australasian Triage Scale: Implications for guideline development”, Emergency Medicine Australasia, Vol. 21 No. 4, pp. 277–285.

Harper, K.D., Quinn, C., Eccles, J., Ramsey, F. and Rehman, S. (2018), “Administration of intravenous antibiotics in patients with open fractures is dependent on emergency room triaging”, PLoS ONE, available at:https://doi.org/10.1371/journal.pone.0202013.

Haryatun, N. and Sudaryanto, A. (2009), “Perbedaan waktu tanggap tindakan keperawatan pasien cedera kepala kategori I – V di instalasi gawat darurat rsud dr. moewardi”, Berita Ilmu Keperawatan.

Kementrian Kesehatan RI. (2019), “Profil Kesehatan Indonesia 2019”, Kementrian Kesehatan RI. Lulie, Y. and Hatmoko, J.T. (2017), “Respon Time (Waktu Tanggap) Perawat Dalam Penanganan

Kegawatdaruratan Di Instalasi Gawat Darurat Rsu Pku Muhammadiyah Di Kabupaten Kebumen”, Interdisciplinary Journal Of Linguistics; University of Kashmir , Srinagar,J&K,INDIA ,190006.

Maatilu, V., Mulyadi, N. and Malara, R. (2014), “FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RESPONSE TIME PERAWAT PADA PENANGANAN PASIEN GAWAT DARURAT DI IGD RSUP PROF. DR . R. D. KANDOU MANADO”, Jurnal Keperawatan UNSRAT.

Mercier, F.J., Augè, M., Hoffmann, C., Fischer, C. and Le Gouez, A. (2013), “Maternal hypotension during spinal anesthesia for caesarean delivery”, Minerva Anestesiologica, available at:https://doi.org/10.1007/s40140-013-0036-3.

Rajagopalan, C.S. (2010), “Crush injuries and the crush syndrome”, Medical Journal Armed Forces India, available at:https://doi.org/10.1016/S0377-1237(10)80007-3.

Schlickewei, C.W., Kleinertz, H., Thiesen, D.M., Mader, K., Priemel, M., Frosch, K.H. and Keller, J. (2019), “Current and future concepts for the treatment of impaired fracture healing”, International                                   Journal              of              Molecular              Sciences,              available at:https://doi.org/10.3390/ijms20225805.

Zutt, R., van der Kooi, A.J., Linthorst, G.E., Wanders, R.J.A. and de Visser, M. (2014), “Rhabdomyolysis: Review of the literature”, Neuromuscular Disorders, available at:https://doi.org/10.1016/j.nmd.2014.05.005.

https://www.ocalagazette.com/wp-content/uploads/2021/09/WEBResponseTimesSIG.jpg

https://www.canterbury.ac.nz/support/emergency/red-sign-with-white-emergency-lettering_6691226542060494085.jpg