Rabu, 26 April 2023 07:33 WIB

Rabun pada Mata? Hati-Hati Dapat Timbul pada Sifilis

Responsive image
1146
Dr. dr. I Gusti Ayu Agung Elis Indira, Sp.KK(K), F - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Rabun pada mata merupakan keluhan yang sering dialami hampir oleh setiap orang. Rabun mata dapat disebabkan berbagai macam hal, yang tersering adalah gangguan refraksi (mata minus, plus atau silinder) hingga yang terberat adalah akibat dari komplikasi berat seperti infeksi sifilis.

Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada abad ke-15 di yang menyerang tentara Perancis. Sifilis ditularkan melalui hubungan seksual, darah, dan penularan dari ibu ke janin selama masa kehamilan. Faktor risiko terjangkit sifilis adalah kelompok LSL (laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki), penderita HIV, dan sering berganti-ganti pasangan seksual.

Sifilis memiliki beberapa tahap infeksi, yang pertama adalah sifilis primer yang terjadi 10 – 90 hari setelah terpajan oleh bakteri, ditandai dengan munculnya luka pada alat kelamin yang tidak nyeri, yang kemudian dapat membaik walaupun tanpa diobati. Sifilis primer akan menjadi sifilis sekunder setelah 3 – 12 minggu kemudian, yang ditandai dengan berbagai macam gejala, dengan gejala tersering adalah munculnya bercak kemerahan pada tubuh, tangan dan kaki, dan umumnya tanpa disertai rasa gatal. Setelah 4 – 12 minggu dari sifilis sekunder, bakteri memasuki tahap laten, dimana tidak terdapat gejala kulit dan kelamin pada pasien, namun bakteri hanya bisa dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium dari darah. Bila sifilis tidak juga ditangani, beberapa tahun kemudian akan memasuki tahap sifilis tersier, dimana terdapat luka pada kulit yang dapat memberat hingga dapat menembus tulang, serta berbagai komplikasi pada organ dalam seperti jantung, hati, otak, saluran pencernaan dan saluran pernapasan.

Otak merupakan salah satu organ yang dapat diinfeksi oleh bakteri Treponema pallidum. Infeksi pada otak ini dapat terjadi dalam berbagai tahap sifilis, yang salah satunya dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf di mata, yang disebut sifilis okuler. Gejala dari sifilis okuler tidak khas, yaitu dapat berupa mata merah, mata berair, penurunan ketajaman penglihatan hingga kebutaan.

Untuk mendiagnosis sifilis okuler, dokter akan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya dan menanyakan faktor risiko tertentu yang mengarah ke sifilis. Kemudian dilakukan pemeriksaan mata secara menyeluruh, pemeriksaan darah terkait infeksi sifilis, dan pemeriksaan cairan otak, untuk menegakkan diagnosis sifilis okuler. Pasien juga disarankan untuk diperiksakan status HIV-nya bila sebelumnya belum pernah diperiksakan. Penyakit sifilis ini melibatkan multidisiplin dari bidang Spesialis Dermatologi dan Venereologi (Kulit dan Kelamin), Spesialis Mata, dan Spesialis Saraf.

Pada pasien yang telah didiagnosis sebagai sifilis, dokter akan memberikan pengobatan berupa antibiotik yang disuntikkan melalui infus, diberikan selama 14 hari berturut-turut. Pada penderita sifilis, pada umumnya dokter akan memberikan edukasi bahwa sangat penting untuk dipahami bahwa penyakit ini merupakan salah satu faktor risiko dalam penularan HIV, pasangan seksual harus diperiksa dan diobati jika terdiagnosis, pengobatan harus dilakukan secara paripurna dan tuntas mengingat banyaknya komplikasi yang dapat ditimbulkan. Sebagai pencegahan, terapkanlah perilaku seksual yang aman dengan cara ABCD, yaitu Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara waktu), Be Faithful (setia pada pasangan), Condom (gunakan kondom bila tidak dapat melaksanakan A dan B, termasuk menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya sembuh), dan no Drugs (tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya).

Bila Anda menemukan salah satu dari gejala di atas maupun memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya infeksi menular seksual, jangan berusaha mengobati sendiri, tapi segeralah periksa dan konsultasikan diri Anda ke Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi (Kulit dan Kelamin).

 

 

Refrensi:

Sewon Kang, Masayuki Amagai, Anna L. Bruckner, Alexander H. Enk, David J. Margolis, Amy H. McMichael, et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. Vol. 2. McGrawHill;

King K. Holmes, P. Frederick Sparling, Walter E. Stamm, Peter Piot, Judith N. Wasserheit, Lawrence Corey, et al. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. McGraw-Hill Education; 2008.

Indriatmi W, Pakassi T, Daili SF, Nilasari N. Pedoman Nasional Infeksi Menular Seksual. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.