Selasa, 18 April 2023 10:23 WIB

Peroneal Nerve Compression Syndrome

Responsive image
1549
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Peroneal nerve compression syndrome adalah gangguan fungsi atau struktur saraf tepi yang biasa disebut neuropati, akibat penekanan pada tungkai bawah yang paling umum terjadi dan harus dipertimbangkan pada pasien dengan foot drop, nyeri tungkai bawah, atau rasa baal pada tungkai bawah. Kondisi ini seringkali terjadi pada atlet, akan tetapi pekerjaan atau kegemaran yang melibatkan gerakan menjongkok (squatting) atau berlutut berkepanjangan; kebiasaan duduk dengan postur menyilangkan tungkai; pasca operasi osteotomi tibia atau fibula; penggantian sendi lutut total; trauma yang menyebabkan dislokasi lutut atau fraktur fibula; perubahan struktur seperti pengapuran, kista ganglionik atau kista sinovial; dan lainnya.<!--[if supportFields]><![endif]-->

Saraf peroneus komunis merupakan salah satu cabang dari saraf ischiadicus dan berjalan mulai dari bagian pangkal lipat lutut menuju ujung tungkai dengan mengitari sepanjang tungkai bawah kaki. Saraf ini kemudian bercabang menjadi saraf peroneus profundus dan saraf peroneaus superfisialis. Peroneal Nerve Compression Syndrome ini terjadi akibat penekanan pada saraf peroneus komunis, peroneus profundus, ataupun peroneus superficialis, sehingga gejala yang dirasakan menjadi bervariasi bergantung pada lokasi terjepitnya.<!--[if supportFields]><![endif]-->

Saraf peroneus komunis yang terjepit menyebabkan kelemahan dalam gerakan mengangkat kaki (dorsifleksi), mengangkat ibu jari kaki (ekstensi), menggerakkan kaki ke luar (eversi), serrta gangguan sensorik pada punggung kaki seperti rasa baal, terbakar, dan kesemutan yang dapat menjalar ke betis bagian depan dan luar. Kelemahan yang berat dapat menyebabkan foot drop, yang dapat mengganggu penderita dalam berjalan dan menaiki tangga. Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah tanda Tinel positif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi (USG), elektromyografi (EMG), kecepatan konduksi saraf, dan pencitraan seperti MRI.<!--[if supportFields]><![endif]-->

Terapi kondisi ini bergantung pada penyebab dan beratnya gejala, karena bila tidak diterapi dapat berakhir dengan komplikasi seperti foot drop, disabilitas tungkai, dan deformitas tungkai permanen. Seringkali terjadi perbaikan fungsi seiring dengan berjalannya waktu, sehingga terapi awal biasanya dengan mengenakan penyangga (brace), perubahan gaya hidup dengan menghindari gerakan yang memicu. Terapi alternatif non-operatif yang dapat dipertimbangkan adalah injeksi kortikosteroid dan anestesi. Operasi dekompresi dapat dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan dengan terapi konservatif dalam 3 – 4 bulan atau bergejala berat.<!--[if supportFields]><![endif]-->

 

 

Referensi :

Fortier LM, Markel M, Thomas BG, Sherman WF, Thomas BH, Kaye AD. An Update on Peroneal Nerve Entrapment and Neuropathy. Orthop Rev. 13(2):24937.

Pecina MM, Krmpotic-Nemanic J, Markiewitz AD. Peroneal Tunnel Syndrome. In: Tunnel Syndromes Peripheral Nerve Compression Syndromes. 3rd ed. Florida, United States: CRC Press LLC; 2001.

Trescot AM, editor. Peripheral Nerve Entrapments Clinical Diagnosis and Management. 1st ed. Switzerland: Springer International Publishing AG Switzerland; 2016.

<!--[if supportFields]><![endif]-->