Senin, 17 April 2023 10:17 WIB

Managemen Nyeri Kronis dengan Opioid VS Non Opioid

Responsive image
1836
Dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS, FCC - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Seperti yang kita ketahui, nyeri merupakan keluhan utama dari sebagian besar pasien yang datang untuk berobat, momok yang ditakuti dan merupakan sebuah perasaan yang tidak menyenangkan yang membuat seorang pasien memutuskan untuk berobat ke dokter. Nyeri sendiri dibagi menjadi 2 yaitu, nyeri akut dan nyeri kronis. Pada pembahasan kali ini kita akan membahas tentang nyeri kronis yang sering dihadapi sebagian besar pasien yang menderita kanker, bagaimana tatalaksananya dan apakah harus selalu menggunakan obat-obatan narkotik  sebagai tatalaksana nyeri kronis, ataukah ada pilihan obat lain ?

Studi menunjukkan manajemen nyeri kronis menggunakan prinsip pain relief ladder dari WHO sama efektifnya dengan pemberian langsung morfin, serta memiliki tingkat efek samping yang lebih rendah. Prinsip WHO ini memerlukan modifikasi berupa penyesuaian dengan tingkat nyeri pasien. Nyeri kronis, khususnya nyeri kanker merupakan masalah yang timbul dan sangat mempengaruhi kualitas hidup bersifat lintas dimensi yaitu pada dimensi fisik, emosi, sosial dan spiritual. Evaluasi nyeri pada awal diagnosis dan evaluasi nyeri berkala cukup penting untuk dilakukan agar dapat menentukan tata laksana yang tepat. Numerical rating scale merupakan metode yang paling sering digunakan untuk evaluasi. Evaluasi dilakukan degan mengukur intensitas nyeri dari 0-100 dengan 0 tidak nyeri dan 10 sangat nyeri.

Penatalaksanaan nyeri kronis menggunakan prinsip manajemen nyeri dengan WHO  Step Ladder dapat menjauhkan pasien dari penggunaan opioid yang tidak atau belum perlu serta mengurangi kemungkinan adanya efek samping dari opioid pada nyeri kronis.

Pemilihan pemberian obat antinyeri diberikan melalui 3 tahap:

  • Tahap 1.

Nonopioid, contoh: aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS atau NSAID) dan paracetamol. Obat ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya

  • Tahap 2.

Opioid lemah untuk nyeri ringan–sedang, contoh: codeine. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya. Obat yang umum diberikan di tahap 2 ini adalah codeine atau tramadol, baik yang dikombinasikan dengan paracatemol atau tidak.

  • Tahap 3

Opioid untuk nyeri sedang-berat, contoh: morfin, methadone, oxycodone, hydromorphone, buprenorphine, fentanyl sistem transdermal. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan

Terapi Ajuvan / Tambahan

Terapi ajuvan atau terapi tambahan yang dapat diberikan berdasarkan kondisi klinis, antara lain:

Sebagai tata laksana dari efek samping dari analgesik (contoh: antimuntah dan laksatif/pencahar), peningkatan efek dari antinyeri (contoh: kortikosteroid pada nyeri kompresi saraf), sebagai tata laksana dari gangguan psikologis (contoh: obat-obatan sedatif, ansiolitik dan antidepresan, cognitive behavioral therapy dan edukasi). Terapi non medikamentosa dapat pula digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengatasi nyeri, contohnya seperti akupuntur, fisiotherapi, terapi music, dan lain sebagainya.

Panduan dari WHO ini masih dianggap sebagai patokan untuk penatalaksanaan nyeri kanker yang digunakan secara luas. Setelah kita mengetahui ini, dapat kita simpulkan tidak semua nyeri kronis ditatalaksana dengan obat obatan opioid / narkotik, pemilihan obat yang diberikan dokter didasarkan pada intensitas nyerinya dan kenyamanan pasien.

 

 

Referensi :

Anekar A, Cascella M. WHO Analgesic Ladder. STATPearls Publishing.NIH, 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554435/

Yang J ,Bauer BA, Wahner DL. The Modified WHO Analgesic Ladder: Is It Appropriate for Chronic Non-Cancer Pain?. Journal of Pain Research, Vol 2020:13 Pages 411-417