Selasa, 28 Februari 2023 15:31 WIB

ART Therapy dalam Mengurangi Tingkat Kesepian pada Lansia

Responsive image
1508
Ns.Chairina Ayu Widowati,S.Kep - RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

Menua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologi yang terkait dengan usia (Azizah, 2011). Proses menua juga dapat munurunkan kemampuan kognitif (Handayani dkk, 2013).

Kesepian adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa jauh atau tersisih dari suatu lingkungan sosial(Rahmi, 2015). Kesepian merupakan keluhan yang bersifat subjektif pada orang tua atau lansia (Eloranta dkk, 2015). Isolasi sosial akibat perubahan fisik pada lansia dapat menimbulkan perasaan kesepian pada lansia (Crewdson,2016). Selain itu kesepian merupakan kondisi yang sering mengancam kehidupan para lansia, ketika lansia hidup terpisah dengan keluarganya, kehilangan pasangan hidup, dan ketidakberdayaan untuk hidup mandiri (Damayanti,2013).

Kesepian yang terjadi pada lansia dibedakan menjadi kesepian emosional dan kesepian sosial (Eloranta dkk, 2015). Kesepian emosional dapat disebabkan karena kurangnya hubungan emosional dengan keluarga, sedangkan kesepian sosial dapat terjadi karena lansia tidak memiliki jaringan sosial (Eloranta dkk, 2015). Kesepian berdampak pada kesehatan fisik dan kesehatan psikologis lansia. Kesepian pada lansia dapat menimbulkan stres sehingga dapat mempengaruhi kerja jantung dan muncul penyakit kardiovaskuler. Stres yang meningkat dapat menyebabkan lansia menjadi gelisah, sedih, kesepian dan menarik diri dari lingkungan (Crewdson,2016 dan Cherry,2016).

Klien dengan masalah mood yang serius, kesepian  umumnya kesulitan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran menggunakan komunikasi verbal. Hal tersebut dapat menyulitkan psikoterapis untuk mengatasi masalah mood tersebut jika hanya menggunakan terapi verbal. (Schore, 2009)

Art therapy merupakan salah satu pendekatan psikoterapeutik nonverbal yang mendapatkan banyak perhatian karena efikasinya dalam mengatasi kesepian. Art therapy mampu mengatasi kesepian dan meningkatkan fungsi di berbagai macam aspek kehidupan klien penderita kesepian. Selain itu art therapy juga dapat mengurangi gejala trauma pada anak-anak yang mengalami post-traumatic stress disorder, meningkatan ekspresi emosional dan kesejahteraan pasien kanker, yang menunjukkan tanda-tanda kesepian, kecemasan, dan masalah emosional lain. Art therapy juga dapat mengurangi tanda-tanda kesepian pada lansia yang menderita demensia.

Art therapy adalah gabungan pendekatan psikoterapi berbasis mind-body. Jika dibandingkan dengan terapi verbal, art therapy membuat klien lebih mampu mengekspresikan perasaan pada level sensori dan kinestetik. Berbeda dengan terapi verbal yang mengekspresikan perasaan pada level afektif dan kognitif. Banyak klien dengan masalah mood mempunyai kesamaan tanda dan gejala emosional, yang meliputi pesasaan ketidakberdayaan yang kuat, keputusasaan, kemarahan, frustasi dan kehilangan kontrol diri. Terapis seni dapat membantu klien untuk terlibat dalam proses pembuatan seni dengan melibatkan tubuhnya secara aktif. Pada proses tertentu, misalnya pembuatan seni dengan media baku (tanah liat atau kayu), klien harus menggunakan banyak tenaga dan kekuatan fisik. Aktifitas fisik ini dapat melepaskan ketegangan fisik dan membantu mengurangi stres, kecemasa, dan perasaan tidak berdaya.

Hubungan antara media seni dan proses otak kanan/kiri dapat membantu menentukan pemilihan treatment art therapy yang tepat bagi klien. Klien dengan kesepian kemungkinan besar memproses informasi pada level affektif. Klien tersebut lebih memilih media yang cair atau yang mudah dibentuk daripada media yang baku, dan klien berpartisipasi lebih aktif pada terapi pembuatan seni yang spontan dan tidak terstruktur. (Hind, 2009)

Melibatkan diri dalam seni dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu menjadi penonton atau turut serta dalam proses pembuatan seni tersebut, baik dalam bentuk seni tari, drama, film, seni visual, dan lainnya. Kedua cara ini akan membuat lansia kontak dengan individu lain dan membuka peluang untuk berinteraksi dan membangun pertemanan baru. Namun, lansia yang turut serta dalam proses pembuatan seni akan merasa lebih puas, memiliki ikatan yang lebih kuat, dan lebih cepat mengurangi isolasi dan kesepian.

Interaksi sosial merupakan aspek yang paling penting bagi lansia saat melakukan terapi seni. Hal ini membutuhkan waktu dan sensitifitas, dengan menciptakan suasana yang nyaman dan menciptakan suasana yang mendukung untuk bersosialisasi. Lansia yang tinggal di institusi atau panti jompo dapat mengalami kesepian, meskipun mereka tinggal bersama orang banyak. Seni merupakan media yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dan cerita, hal ini dapat mendukung lansia untuk memahami satu sama lain. Seni dapat memperdalam dan mengembangkan hubungan. Beberapa proyek atau aktivitas memiliki tujuan secara khusus untuk mengatasi kesepian. Meskipun demikian, semua case studies menunjukkan bahwa semua seni, baik yang memiliki tujuan khusus ataupun tidak, dapat membuat orang menjadi bersama, dan tetap berhubungan.

 

Referensi:

Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Crewdson., Crewdson, J. The effect of loneliness in the elderly population: a review. Healthy Aging & Clinical Care in the Elderly. 2016;1.

Damayanti, Y., Sukmono, AC. Perbedaan tingkat kesepian lansia yang tinggal di panti werdha dan di rumah bersama keluarga. E-jurnal. 2013;1–10.

Eloranta, S., Arve, S., Isoaho, H., Lehtonen, A., Viitanen, M. Loneliness of older people aged 70: A comparison of two Finnish cohorts born 20 years apart. Archives of Gerontology and Geriatrics. Elsevier Ireland Ltd; 2015;61(2):254–60.

Handayani 2013, Pesantren Lansia sebagai Upaya Meminimalkan Risiko Penurunan Fungsi Kognitif pada Lansia di Balai Rehabilitasi Sosoal Lanjut Usia Unit II Pucang Gading Semarang. Jurnal Keperawatan Komunitas, vol 1, no. 1.

Rahmi. Gambaran tingkat kesepian pada lansia di Panti Tresna Werdha Pandaan. Seminar Psikologi Kemanusiaan. 2015;257–61.