Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran tinja lebih dari 2 minggu, yang konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang dapat menyebabkan nyeri ketika dikeluarkan (Loka, Sinuhaji, & Yudiyanto, 2014). Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan defekasi tinja secara sempurna yang tercermin dari tiga aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja lebih keras dari pada sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) (Muzal, 2017).
Penyebab tersering sembelit pada anak yaitu fungsional sekitar 95%, dan hanya 5% karena penyebab organik. Penyakit Hirschsprung merupakan penyebab organik paling banyak. Sembelit fungsional diawali adanya nyeri saat BAB yang menyebabkan anak menahan tinja karena ingin menghindari nyeri. Beberapa faktor seperti perubahan rutinitas, diet,peristiwa stres, tertunda BAB (sekolah pagi), tidak ada toilet (di perjalanan), latihan toilet terlalu dini menyebabkan tinja keras dan besar yang meregangkan saluran anal dan menimbulkan nyeri, akibatnya anak ketakutan dan menghindari BAB. Saat menahan BAB melalui kontraksi sfingter anal eksternal dan otot gluteal, terjadi stasis tinja berkepanjangan di rektum sehingga terjadi penyerapan cairan, akhirnya tinja menjadi lebih keras, dan retensi berturut-turut menyebabkan tinja membesar, dan bila melewati rektum timbul nyeri lebih besar, dengan demikian terjadi lingkaran setan. Anak melakukan “manuver menahan tinja” atau “postur retensi” yang sering disalahartikan orangtua sebagai usaha untuk mengeluarkan tinja, padahal anak berusaha menghentikan pengeluaran tinja. Sebagai respons atas dorongan tersebut, anak menolak duduk di toilet, namun berdiri sambil memegang kaki dan bokong dengan kaku dan seringbergoyang maju-mundur, berpegangan pada perabotan, menjerit hingga gerakan usus berlalu. Seiring waktu, perilaku retensi itu menjadi reaksi otomatis. Mereka sering melakukan ini sambil bersembunyi di pojok. Akhirnya, tinja cair dari kolon proksimal dapat merembes di sekitar tinja keras dan melewati rektum tanpa disadari (inkontinensia tinja). Terkadang inkontinensia tinja ini keliru dianggap diare. Hampir 30% anak dengan sembelit fungsional mengalami inkontinensia tinja. Oleh karena stasis tinja yang makin menumpuk, rektum melebar berlebihan, sehingga sensitivitas refleks BAB dan.
Gejala yang paling umum adalah riwayat berkurangnya frekuensi defekasi atau meningkatnya retensi feses, karena anak merasa kesulitan memulai dan menyelesaikan buang air besar. Selain karena meningkatnya retensi feses, manifestasi konstipasi yang lain bermunculan seperti nyeri dan distensi abdomen setelah defekasi. Pada pemeriksaan fisik, terdapat distensi abdomen dengan peristaltik kurang dari normal (3x/menit). Dapat dijumpai massa yang teraba di regio abdomen kiri dan kanan bawah serta suprapubis. Pada kasus yang berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium. Tanda penting lain dari konstipasi adalah fisura ani dan ampula rekti yang besar (Pranaka & Andayari 2009). Riwayat konstipasi akan mencakup frekuensi, konsistensi feses, nyeri, perdarahan saat buag air besar dan gejala lain termasuk mual, muntah, perubahan dalam nafsu makan, dan penurunan berat badan (Greenwald, 2010).
Menurut Loka et al., (2014) konstipasi kronis dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu, hemorrhoid (wasir) yang disebabkan karena pemaksaan untuk buang air besar, atau robeknya kulit di sekitar anus, ini terjadi ketika feses yang keras dapat melonggarkan otot sphincter. Dampak yang lain yaitu, divertikulosis atau penyakit yang ditandai dengan terbentuknya divertikula (kantong) pada usus besar dan biasanya juga disebabkan karena peningkatan tekanan intrakolon.
2.7 Pemeriksaan Penunjang Konstipasi Menurut Juffrie (2009) pada anak yang mengalami konstipasi bisa diperiksa dengan pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. Selain itu bisa dilakukan pemeriksaan fisik abdomen untuk mengetahui keadaan yang ada didalam perut, salah satunya untuk mengetahui peristaltik usus, apakah normal atau abnormal.
Penanganan konstipasi dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Terapi non-farmakologi terdiri dari pemberian edukasi, demistifikasi, toilet training, dan penjadwalan defekasi harian. Terapi farmakologis yaitu dengan pemberian perawatan yang terdiri atas tiga langkah : disimpaksi, perawatan pemeliharaan, dan penyapihan. Pada terapi farmakologi, pengobatan pertama yang biasa digunakan adalah pemberian obat pencahar oral seperti polietilen glikol (Koppen et al., 2015). Selain pemberian obat pencahar, pemberian probiotik juga bermanfaat untuk mengatasi anak dengan konstipasi.
Pencegahan Konstipasi
Beberapa pencegahan untuk mengatasi konstipasi menurut Claudina, Rahayuning, & Kartini (2018), sebagai berikut:
a. Diet makan banyak serat dan konsumsi air Serat akan memperlunak dan memperbesar masa feses. Serat banyak terkandung dalam sayuran, buah-buahan dan gandum. Batasi makanan yang tinggi lemak, makanan yang banyak mengandung gula dan makanan yang hanya mengandung sedikit serat seperti, es krim, keju, daging, dan makanan instan. Cairan membuat feses menjadi lunak dan mudah untuk dikeluarkan. Hindari cairan yang mengandung kafein, minuman tersebut dapat membuat saluran pencernaan menjadi kekurangan cairan. Jus yang mengandung sorbitol seperti, jus apel dan pear dapat mengurangi terjadinya konstipasi pada bayi dan usia lebih dari 6 bulan. Tetapi mengonsumsi jus buah dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal. Oleh karena itu, pastikan bahwa pemberiannya dalam jumlah yang sesuai dengan yang dibutuhkan.
b. Olahraga yang teratur dapat menjaga sistem pencernaan tetap sehat dan aktif. Dukung anak untuk berolahraga setiap hari.
c. Berikan Penjelasan pada anak untuk tidak menahan pergi ke toilet Menunggu dan menunda hanya akan memperparah terjadinya konstipasi. Maka jadilah orang tua yang sering membiasakan anak bangun pagi segingga anak memiliki waktu yang cukup untuk pergi ke toilet sebelum kegiatan.
Referensi :
https://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/550/335 Diakses pada 14 Juni 2022
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/897/830 Diakses pada 14 Juni 2022
https://repository.akperykyjogja.ac.id/307/1/GABUNGAN LENGKAP.pdf Diakses pada 14 Juni 2022
https://eprintslib.ummgl.ac.id/793/1/16.0601.0063_BAB 1_BAB 2_BAB 3_BAB 5_DAFTAR PUSTAKA.pdf Diakses pada 14 Juni 2022